Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Catatan Seorang Mbambung (Edisi Maret 2015 - Bagian Tiga)

17 Januari 2022   09:27 Diperbarui: 17 Januari 2022   09:29 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menandai Restu

pelita tengah terpejam

tapi indah langit kian terpancar

cahayanya terang mengilhami harapan

menandai restu yang tidak akan memudar.

jiwa terasa begitu tenteram

tiada akan jaya gelap menghadang

hati tiada lagi berharap kencana,

sumber ketinggian dunia,

harta fana pembawa segala derita,

bertabur puspa bermacam aneka.

(Trenggalek, 11 Maret 2015)

Hipotensi

hipotensiku tengah menjadi.

kepalaku berat menghabisi.

langkahku pelan tak berenergi.

denyut nadiku tak terdeteksi.

mataku bergelayut,

ingin terpejam,

mati.

jantungku bersusah payah bereaksi

hingga sadarku terjaga

sampai saat ini.

biasanya,

aku tak mampu bertahan

saat serendah ini.

biasanya,

aku akan pingsan

tak sadarkan diri,

sejenak bermimpi,

sekejap tertidur seperti mati.

sekilas menyadari

betapa lemah diri ini.

tapi kenapa arogansi tetap saja meninggi.

aku tak mengerti.

hipotensi pernah membawaku mati

karena darah dalam otak tiada terisi.

tapi jantung memaksakan diri

berjuang sekuat tenaga,

memompa darah melawan gravitasi

supaya aku menyadarkan diri.

dan aku belum lagi mati.

tampaknya belumlah waktuku

meninggalkan dunia ini.

tetapi mati selalu teringat di hati.

aku menanti,

mengisi hidupku dengan yang berarti.

dan hipotensi,

jangan pernah menjauh lagi.

(Trenggalek, 12 Maret 2015)

Hilangnya Gairah Muda

sudah lama,

dia tidak menampakkan

wajahnya yang ayu.

begitu lama,

dia enggan menyapaku,

menyunggingkan senyum

dengan tatapan rindu.

dia menjauhiku,

memalingkan parasnya

kemudian melangkah berlalu.

tapi, aku juga tidak rindu

untuk kembali bertemu.

aku semakin menua.

dan dia akan selalu tampak baru.

mati saja yang 'ku tunggu.

dan dia pasti menyelimutiku,

menghangatkan jasadku

yang tiada lagi merasakan pilu.

entah dengan jiwaku.

Dia tidak mungkin ingin tahu.

(Trenggalek, 13 Maret 2015)

 

Cinta yang Dalam

terbalut putih jiwa yang memancar

tercerabut hitam hingga serendah kelam

tampak pandangan menitis angan

mata berkaca memantulkan perasaan

menembus kedalaman hati yang kesepian.

kata-kata dilalui dengan penuh perhatian

cerita lama seorang penyair kenamaan

seorang yang mati muda menantang zaman

mengisi waktu yang telah bosan akan kehidupan

menanti gerbong-gerbong kematian datang menderam

mengantarkan selamat sampai tujuan.

sampaikanlah pada ibuku

terkadang aku ini menangis menggugu

ke tempatnya ingin sekali aku menuju

secepatnya.

katakanlah pada bapakku.

hidup selalu terbatas oleh waktu.

maafkanlah,

karena dunia hanyalah khayalku.

aku belum sempat memberikan sesuatu

karena kematian terfikirkan terlalu.

perdengarkanlah kepada saudara-saudaraku

terima kasihku hanyalah perasaan sendu

kebaikan mereka ingin sekali 'ku tiru.

namun menatap dunia, tersisa hanyalah nafsu.

daya tahanku belum mampu.

hembuskanlah pada wanita itu,

yang tadi naik, tapi tidak turun bersamaku.

kecantikannya sungguh menentramkan kalbu.

tiupkanlah pada jiwanya

dialah cintaku yang semestinya

karena wajahnya menggetarkan hati

seorang yang menunggu mati saja.

Tuhan,

aku bahagia telah melihatnya.

Tuhan,

lampu seringkali padam

tapi pelitamu senantiasa terang

engkaulah pemilik segala kekuasaan

aku tidak akan mampu menantang

walaupun seluruh alam menggalang.

berikanlah kepadaku cinta yang dalam

kehidupan yang indah setelah kematian.

(Tulungagung, 15 Maret 2015)

Pedagang Asongan Kereta

pedagang asongan kereta,

mereka entah apa kabarnya.

masihkah mereka bekerja.

mereka tiada lagi terlihat mondar-mandir

menjajakan dagangannya.

sudah makmurkah kehidupan mereka,

atau mereka sedang begitu sengsara

karena diusir sia-sia,

imbas kebijakan penguasa

yang merasa rugi

tidak memperoleh keuntungan yang meraksasa.

mungkinkah mereka kembali ke desa,

mengolah sawah dan tanah warisan orang tua.

lalu bagaimana yang tidak memiliki keduanya

untuk bekerja,

untuk penghasilannya,

untuk kehidupannya.

haruskah mereka menggelandang terlunta,

menjadi pengemis meminta-minta,

menjadi perampok atau pencuri yang meresahkan warga.

lantas, dosakah mereka?

semoga Tuhan mengampuni mereka.

mereka dulu giat sekali,

sudah bersiaga bahkan sedari pagi,

di stasiun mereka menanti.

jika kereta datang

mereka akan sabar mengantri.

mereka mempersilakan penumpang turun

dan naik terlebih dulu.

barulah giliran mereka setelah itu.

tak jarang mereka 'lah yang menertibkan penumpang

lebih dari petugas yang mendapat sangu.

petugas bergaji cukup, tapi kerjanya redup.

tapi itu dulu.

pedagang asongan kereta,

mereka adalah pekerja yang tak kenal lelah,

berjalan dari gerbong satu ke gerbong berikutnya

tanpa mendesah,

membawakan aneka makanan dan barang dagangan

dengan keuntungan berat sebelah,

karena harus dibagi dengan yang punya rumah.

namun, banyak penumpang yang justru resah.

sebenarnya, apa yang perlu diresahkan

apa yang hendak digelisahkan.

penumpang itu,

hanya pedulikah mereka dengan kenyamanan.

tidakkah mereka lihat merajalelanya kemiskinan.

kenapa mereka tidak mau menumbuhkan kesadaran.

kenapa enak saja yang ingin didapatkan.

tiadakah mereka itu berperasaan.

tentu, mereka sebenarnya tahu

pedagang asongan itu sedang mengais penghidupan

tanpa harus merugikan orang,

apalagi menjadi orang rendahan

seperti para pencuri dan perampok berkekuasaan.

tetapi,

selalu saja ada penumpang yang baik

orang-orang yang menonjolkan perasaan dan kemanusiaan.

pedagang asongan adalah juga kawan.

kita sama-sama hidup di bumi tuhan.

(Trenggalek, 17 Maret 2015)

 

[20:53]

Ibu,

Gelap di sini sungguh nyaman, ibu.

Di sini hangat walau aku tak berbaju.

Karena engkau, ibu

Sungguh hanya karena engkau.

Tubuhmu 'lah yang menyelimutiku.

Dari dalamnya pula aku menyusu,

menyesap sari makanan untuk diriku.

Hanya untuk diriku,

tak peduli dengan keadaanmu, ibu.

Sungguh maafkanlah aku,

tanpa dirimu aku tak 'kan berdaya ibu.

Ibu,

Kasihan sekali engkau, wahai ibu.

Engkau pasti berat,

Engkau pasti merasakan sakit,

Engkau pasti memendam perih.

Tapi sudah saatnya ibu.

Aku harus keluar

melihat dunia dengan langitnya yang biru.

Maafkan aku ibu,

Sekali lagi maafkan

Karena ini adalah puncak deritamu.

Sesungguhnya aku belum rela, ibu

Melepaskan kenyamanan ini.

Aku terbiasa dalam gelapmu.

Terangnya dunia luar

pasti akan menyakitkan bagi mataku,

terlalu silau.

Hingga aku lebih suka memejamkan mataku.

Tapi, kasihan engkau ibu

Badanku ini terus membesar

Di sini mulai terasa sempit

Andai saja aku tidak usah besar, ibu

Pasti engkau tidak usah menanggungkan

derita besar ini.

Maafkan ibu,

Sungguh sekali lagi, maafkan!

Ibu,

Di mana bapak, ibu?

Kenapa aku tidak mendengar suaranya.

Suara itu ibu,

suara yang menyenangkanku, ibu

tentu suara itu juga menentramkanmu,

Iya kan ibu?

Suara kekasih yang tidak akan mengkhianatimu.

Aku rindu dia, ibu.

Saat ini,

Engkau pasti ingin dia ada di sampingmu,

membelaimu,

meringankan derita jiwamu, ibu.

Bapak,

Cepatlah pulang bapak!

Ibu merasa sesak dan terisak

Aku bayi dan aku juga anak

Anakmu bapak!

Anak yang 'kan meneruskan perjuanganmu kelak.

Pulanglah bapak!

Pulanglah!

Ibu menjadi kian resah

Ketakutannya lebih dari sekedar gelisah

Rasanya menjadi kurang indah

Tapi ibu pasrah,

Ibu tetap tabah

Ibu tahu engkau bukanlah bedebah.

Engkau harus mengabdi kepada pemerintah

Untuk kebaikan kami semua di rumah.

Semoga kau tidak diperah!

Sebentar lagi, sebentar lagi.

(Trenggalek, 18 Maret 2015)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun