Menandai Restu
pelita tengah terpejam
tapi indah langit kian terpancar
cahayanya terang mengilhami harapan
menandai restu yang tidak akan memudar.
jiwa terasa begitu tenteram
tiada akan jaya gelap menghadang
hati tiada lagi berharap kencana,
sumber ketinggian dunia,
harta fana pembawa segala derita,
bertabur puspa bermacam aneka.
(Trenggalek, 11 Maret 2015)
Hipotensi
hipotensiku tengah menjadi.
kepalaku berat menghabisi.
langkahku pelan tak berenergi.
denyut nadiku tak terdeteksi.
mataku bergelayut,
ingin terpejam,
mati.
jantungku bersusah payah bereaksi
hingga sadarku terjaga
sampai saat ini.
biasanya,
aku tak mampu bertahan
saat serendah ini.
biasanya,
aku akan pingsan
tak sadarkan diri,
sejenak bermimpi,
sekejap tertidur seperti mati.
sekilas menyadari
betapa lemah diri ini.
tapi kenapa arogansi tetap saja meninggi.
aku tak mengerti.
hipotensi pernah membawaku mati
karena darah dalam otak tiada terisi.
tapi jantung memaksakan diri
berjuang sekuat tenaga,
memompa darah melawan gravitasi
supaya aku menyadarkan diri.
dan aku belum lagi mati.
tampaknya belumlah waktuku
meninggalkan dunia ini.
tetapi mati selalu teringat di hati.
aku menanti,
mengisi hidupku dengan yang berarti.
dan hipotensi,
jangan pernah menjauh lagi.
(Trenggalek, 12 Maret 2015)
Hilangnya Gairah Muda
sudah lama,
dia tidak menampakkan
wajahnya yang ayu.
begitu lama,
dia enggan menyapaku,
menyunggingkan senyum
dengan tatapan rindu.
dia menjauhiku,
memalingkan parasnya
kemudian melangkah berlalu.
tapi, aku juga tidak rindu
untuk kembali bertemu.
aku semakin menua.
dan dia akan selalu tampak baru.
mati saja yang 'ku tunggu.
dan dia pasti menyelimutiku,
menghangatkan jasadku
yang tiada lagi merasakan pilu.
entah dengan jiwaku.
Dia tidak mungkin ingin tahu.
(Trenggalek, 13 Maret 2015)
Â
Cinta yang Dalam
terbalut putih jiwa yang memancar
tercerabut hitam hingga serendah kelam
tampak pandangan menitis angan
mata berkaca memantulkan perasaan
menembus kedalaman hati yang kesepian.
kata-kata dilalui dengan penuh perhatian
cerita lama seorang penyair kenamaan
seorang yang mati muda menantang zaman
mengisi waktu yang telah bosan akan kehidupan
menanti gerbong-gerbong kematian datang menderam
mengantarkan selamat sampai tujuan.
sampaikanlah pada ibuku
terkadang aku ini menangis menggugu
ke tempatnya ingin sekali aku menuju
secepatnya.
katakanlah pada bapakku.
hidup selalu terbatas oleh waktu.
maafkanlah,
karena dunia hanyalah khayalku.
aku belum sempat memberikan sesuatu
karena kematian terfikirkan terlalu.
perdengarkanlah kepada saudara-saudaraku
terima kasihku hanyalah perasaan sendu
kebaikan mereka ingin sekali 'ku tiru.
namun menatap dunia, tersisa hanyalah nafsu.
daya tahanku belum mampu.
hembuskanlah pada wanita itu,
yang tadi naik, tapi tidak turun bersamaku.
kecantikannya sungguh menentramkan kalbu.
tiupkanlah pada jiwanya
dialah cintaku yang semestinya
karena wajahnya menggetarkan hati
seorang yang menunggu mati saja.
Tuhan,
aku bahagia telah melihatnya.
Tuhan,
lampu seringkali padam
tapi pelitamu senantiasa terang
engkaulah pemilik segala kekuasaan
aku tidak akan mampu menantang
walaupun seluruh alam menggalang.
berikanlah kepadaku cinta yang dalam
kehidupan yang indah setelah kematian.
(Tulungagung, 15 Maret 2015)
Pedagang Asongan Kereta
pedagang asongan kereta,
mereka entah apa kabarnya.
masihkah mereka bekerja.
mereka tiada lagi terlihat mondar-mandir
menjajakan dagangannya.
sudah makmurkah kehidupan mereka,
atau mereka sedang begitu sengsara
karena diusir sia-sia,
imbas kebijakan penguasa
yang merasa rugi
tidak memperoleh keuntungan yang meraksasa.
mungkinkah mereka kembali ke desa,
mengolah sawah dan tanah warisan orang tua.
lalu bagaimana yang tidak memiliki keduanya
untuk bekerja,
untuk penghasilannya,
untuk kehidupannya.
haruskah mereka menggelandang terlunta,
menjadi pengemis meminta-minta,
menjadi perampok atau pencuri yang meresahkan warga.
lantas, dosakah mereka?
semoga Tuhan mengampuni mereka.
mereka dulu giat sekali,
sudah bersiaga bahkan sedari pagi,
di stasiun mereka menanti.
jika kereta datang
mereka akan sabar mengantri.
mereka mempersilakan penumpang turun
dan naik terlebih dulu.
barulah giliran mereka setelah itu.
tak jarang mereka 'lah yang menertibkan penumpang
lebih dari petugas yang mendapat sangu.
petugas bergaji cukup, tapi kerjanya redup.
tapi itu dulu.
pedagang asongan kereta,
mereka adalah pekerja yang tak kenal lelah,
berjalan dari gerbong satu ke gerbong berikutnya
tanpa mendesah,
membawakan aneka makanan dan barang dagangan
dengan keuntungan berat sebelah,
karena harus dibagi dengan yang punya rumah.
namun, banyak penumpang yang justru resah.
sebenarnya, apa yang perlu diresahkan
apa yang hendak digelisahkan.
penumpang itu,
hanya pedulikah mereka dengan kenyamanan.
tidakkah mereka lihat merajalelanya kemiskinan.
kenapa mereka tidak mau menumbuhkan kesadaran.
kenapa enak saja yang ingin didapatkan.
tiadakah mereka itu berperasaan.
tentu, mereka sebenarnya tahu
pedagang asongan itu sedang mengais penghidupan
tanpa harus merugikan orang,
apalagi menjadi orang rendahan
seperti para pencuri dan perampok berkekuasaan.
tetapi,
selalu saja ada penumpang yang baik
orang-orang yang menonjolkan perasaan dan kemanusiaan.
pedagang asongan adalah juga kawan.
kita sama-sama hidup di bumi tuhan.
(Trenggalek, 17 Maret 2015)
Â
[20:53]
Ibu,
Gelap di sini sungguh nyaman, ibu.
Di sini hangat walau aku tak berbaju.
Karena engkau, ibu
Sungguh hanya karena engkau.
Tubuhmu 'lah yang menyelimutiku.
Dari dalamnya pula aku menyusu,
menyesap sari makanan untuk diriku.
Hanya untuk diriku,
tak peduli dengan keadaanmu, ibu.
Sungguh maafkanlah aku,
tanpa dirimu aku tak 'kan berdaya ibu.
Ibu,
Kasihan sekali engkau, wahai ibu.
Engkau pasti berat,
Engkau pasti merasakan sakit,
Engkau pasti memendam perih.
Tapi sudah saatnya ibu.
Aku harus keluar
melihat dunia dengan langitnya yang biru.
Maafkan aku ibu,
Sekali lagi maafkan
Karena ini adalah puncak deritamu.
Sesungguhnya aku belum rela, ibu
Melepaskan kenyamanan ini.
Aku terbiasa dalam gelapmu.
Terangnya dunia luar
pasti akan menyakitkan bagi mataku,
terlalu silau.
Hingga aku lebih suka memejamkan mataku.
Tapi, kasihan engkau ibu
Badanku ini terus membesar
Di sini mulai terasa sempit
Andai saja aku tidak usah besar, ibu
Pasti engkau tidak usah menanggungkan
derita besar ini.
Maafkan ibu,
Sungguh sekali lagi, maafkan!
Ibu,
Di mana bapak, ibu?
Kenapa aku tidak mendengar suaranya.
Suara itu ibu,
suara yang menyenangkanku, ibu
tentu suara itu juga menentramkanmu,
Iya kan ibu?
Suara kekasih yang tidak akan mengkhianatimu.
Aku rindu dia, ibu.
Saat ini,
Engkau pasti ingin dia ada di sampingmu,
membelaimu,
meringankan derita jiwamu, ibu.
Bapak,
Cepatlah pulang bapak!
Ibu merasa sesak dan terisak
Aku bayi dan aku juga anak
Anakmu bapak!
Anak yang 'kan meneruskan perjuanganmu kelak.
Pulanglah bapak!
Pulanglah!
Ibu menjadi kian resah
Ketakutannya lebih dari sekedar gelisah
Rasanya menjadi kurang indah
Tapi ibu pasrah,
Ibu tetap tabah
Ibu tahu engkau bukanlah bedebah.
Engkau harus mengabdi kepada pemerintah
Untuk kebaikan kami semua di rumah.
Semoga kau tidak diperah!
Sebentar lagi, sebentar lagi.
(Trenggalek, 18 Maret 2015)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H