Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Seorang Mbambung (Edisi Februari 2015 - Bagian Dua)

13 Desember 2021   17:39 Diperbarui: 13 Desember 2021   17:40 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh AliceKeyStudio dari Pixabay

Patah Hati

(untuk pecinta yang dikhianati)

wangimu tiada tersentuh.

syaraf-syaraf otakku kian melepuh.

rinduku semakin jenuh.

dinding hatiku seakan runtuh.

cintaku merapuh.

jauh, luluh, tak bertubuh.

rupanya kini engkau harus dituduh

berselingkuh.

bersetubuh tanpa badan,

hati yang trenyuh.

cintamu luluh,

benci separuh.

hangat tak lagi di tujuh.

panas bisa tiba-tiba memburuh,

walau dingin menyeluruh.

kau sudah tidaklah butuh.

pergi sajalah,

menjauh.

(Trenggalek, 6 Februari 2015)

Warisan

warisan,

harta yang disimpan,

suatu saat akan dibagikan,

bisa begitu menyentosakan,

tapi, dapat pula menghancurkan.

hilang remuk redam

segala kasih sayang.

warisan,

harta yang diperebutkan,

menghilangkan sendi persaudaraan

manusia yang penuh ketamakan.

dan kematian yang meninggalkan

menjadi sebuah kebahagiaan.

cinta tak lagi bersemayam.

warisan,

harta pusaka yang ditinggalkan,

mati dalam kubur hanya sendirian

dan tiada yang 'kan menjadi teman,

terpendam oleh tanah, kesepian,

menunggu waktu kekekalan

dalam kebahagiaan yang tak berkesudahan

atau malah  dalam derita

yang tak tertanggungkan.

(Trenggalek, 10 Februari 2015)

Cinta Orang Tua

kasih sayang yang demikian dalam.

namun pikiran manusia

teramatlah dangkal

untuk menerjemahkan kehidupan.

keserakahan telah merasuk.

anak ke orang tua membesuk,

pura-pura hangat hendak dipeluk

sebelum dikutuk.

kedamaian tiadalah boleh

jika tidak ada oleh-oleh.

sungguh begitu aneh.

padahal lelah kian mendera.

lemah tubuh semakin terasa.

berharap tulus diberikan cinta

buah hati yang demikian dewasa,

namun manja ketika ingin berharta

begitu tega saat mampu menggenggam dunia.

namun cinta tetaplah cinta

orang tua tiada akan binasa.

(Trenggalek, 10 Februari 2015)

Bagai Candi

kuburan bagai candi,

kemegahan untuk orang mati,

bermewah-mewahan menghamburkan materi,

simbol keindahan duniawi.

namun jiwa tiada terisi,

padahal ia senantiasa menanti.

katanya untuk menghormati,

katanya supaya tidak bersedih hati,

anak-anak mau mengasihi.

darimana manusia tahu pasti.

bilakah bertanya pada bumi.

tapi bumi tiada mampu bersandi.

bumi bisu sebagai saksi.

ataukah dari bisikan mimpi,

bisikan mimpi anugerah ilahi.

tiada mungkinkah setan mencampuri.

banyak manusia hanya mengikuti

leluhur-leluhur yang sudah lama pergi.

kebiasaan yang menancap dalam di hati

tiada terganti walau cahaya menerangi.

kebodohan belum berhenti.

(Trenggalek, 11 Februari 2015)

Menanti Direstui

'ku menunggu

walau tak tahu

siapakah yang 'ku tunggu.

aku menanti

waktu yang hanya berlalu pergi,

namun dikasihi,

dicintai sepenuh hati

belahan jiwa yang mendampingi

sampai mati.

aku melamun,

membayangkan wajah cantik

yang tersenyum.

senyum manis yang mampu merangkum

perasaan dalam tiada terbendung.

sepi tiada lagi merundung.

tapi,

aku biasa tergagap

ketika cinta datang menderap,

tak mampu melangkah walau sekejap.

kasih sayang hanya terendap.

(Trenggalek, 11 Februari 2015)

Kapankah Kau Pulang

hujan rintik merecih,

menyanyi dengan nada sedih,

membisikkan hati yang perih.

kekasih,

kenapa kau tidak tinggal.

aku sudah terlampau gagal.

rinduku tiada pernah terpenggal.

aku terkapar,

menggelepar karena lapar,

merinding oleh udara dingin.

aku kehausan.

aku merindukan kehangatan,

kapankah kau pulang?

(Trenggalek, 11 Februari 2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun