Patah Hati
(untuk pecinta yang dikhianati)
wangimu tiada tersentuh.
syaraf-syaraf otakku kian melepuh.
rinduku semakin jenuh.
dinding hatiku seakan runtuh.
cintaku merapuh.
jauh, luluh, tak bertubuh.
rupanya kini engkau harus dituduh
berselingkuh.
bersetubuh tanpa badan,
hati yang trenyuh.
cintamu luluh,
benci separuh.
hangat tak lagi di tujuh.
panas bisa tiba-tiba memburuh,
walau dingin menyeluruh.
kau sudah tidaklah butuh.
pergi sajalah,
menjauh.
(Trenggalek, 6 Februari 2015)
Warisan
warisan,
harta yang disimpan,
suatu saat akan dibagikan,
bisa begitu menyentosakan,
tapi, dapat pula menghancurkan.
hilang remuk redam
segala kasih sayang.
warisan,
harta yang diperebutkan,
menghilangkan sendi persaudaraan
manusia yang penuh ketamakan.
dan kematian yang meninggalkan
menjadi sebuah kebahagiaan.
cinta tak lagi bersemayam.
warisan,
harta pusaka yang ditinggalkan,
mati dalam kubur hanya sendirian
dan tiada yang 'kan menjadi teman,
terpendam oleh tanah, kesepian,
menunggu waktu kekekalan
dalam kebahagiaan yang tak berkesudahan
atau malah  dalam derita
yang tak tertanggungkan.
(Trenggalek, 10 Februari 2015)
Cinta Orang Tua
kasih sayang yang demikian dalam.
namun pikiran manusia
teramatlah dangkal
untuk menerjemahkan kehidupan.
keserakahan telah merasuk.
anak ke orang tua membesuk,
pura-pura hangat hendak dipeluk
sebelum dikutuk.
kedamaian tiadalah boleh
jika tidak ada oleh-oleh.
sungguh begitu aneh.
padahal lelah kian mendera.
lemah tubuh semakin terasa.
berharap tulus diberikan cinta
buah hati yang demikian dewasa,
namun manja ketika ingin berharta
begitu tega saat mampu menggenggam dunia.
namun cinta tetaplah cinta
orang tua tiada akan binasa.
(Trenggalek, 10 Februari 2015)
Bagai Candi
kuburan bagai candi,
kemegahan untuk orang mati,
bermewah-mewahan menghamburkan materi,
simbol keindahan duniawi.
namun jiwa tiada terisi,
padahal ia senantiasa menanti.
katanya untuk menghormati,
katanya supaya tidak bersedih hati,
anak-anak mau mengasihi.
darimana manusia tahu pasti.
bilakah bertanya pada bumi.
tapi bumi tiada mampu bersandi.
bumi bisu sebagai saksi.
ataukah dari bisikan mimpi,
bisikan mimpi anugerah ilahi.
tiada mungkinkah setan mencampuri.
banyak manusia hanya mengikuti
leluhur-leluhur yang sudah lama pergi.
kebiasaan yang menancap dalam di hati
tiada terganti walau cahaya menerangi.
kebodohan belum berhenti.
(Trenggalek, 11 Februari 2015)
Menanti Direstui
'ku menunggu
walau tak tahu
siapakah yang 'ku tunggu.
aku menanti
waktu yang hanya berlalu pergi,
namun dikasihi,
dicintai sepenuh hati
belahan jiwa yang mendampingi
sampai mati.
aku melamun,
membayangkan wajah cantik
yang tersenyum.
senyum manis yang mampu merangkum
perasaan dalam tiada terbendung.
sepi tiada lagi merundung.
tapi,
aku biasa tergagap
ketika cinta datang menderap,
tak mampu melangkah walau sekejap.
kasih sayang hanya terendap.
(Trenggalek, 11 Februari 2015)
Kapankah Kau Pulang
hujan rintik merecih,
menyanyi dengan nada sedih,
membisikkan hati yang perih.
kekasih,
kenapa kau tidak tinggal.
aku sudah terlampau gagal.
rinduku tiada pernah terpenggal.
aku terkapar,
menggelepar karena lapar,
merinding oleh udara dingin.
aku kehausan.
aku merindukan kehangatan,
kapankah kau pulang?
(Trenggalek, 11 Februari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H