Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Catatan Seorang Mbambung (Edisi 2014-Part III)

22 Oktober 2021   12:52 Diperbarui: 22 Oktober 2021   12:55 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nona

sialan,

aku masih belum ingin berhenti

menuliskan ungkapan hati ini

hati yang lama sepi

jiwa yang tersiksa sunyi

sendiri..


aku tak peduli, nona

walau kau telah mencinta

dan kau begitu memujanya

kau tahu,

aku telah gila

tergila-gila oleh indahnya cinta


ya,

aku telah jatuh cinta

jatuh cinta untuk ketiga kalinya

kini,

aku punya harapan untuk melepasnya

tanpa kesedihan

tanpa duka lara

kekosongan telah diganti oleh kehampaan.


terima kasih untukmu Nona.

(Trenggalek, 28 Oktober 2014)

Hilang

kekecewaan yang tiada terungkapkan

tujuanku telah hilang

aku gagal karena sebuah paksaan

bukan karena bebasnya keinginan.

(Trenggalek, 29 Oktober 2014)

Visualisasi

visualisasi yang teramat indah

dari bunga yang sedang merekah

dia memang terlihat lemah

namun dia tidaklah payah


ia mampu membuatku gundah

ia sanggup membuatku lelah

tapi aku tiada akan jengah

menunggu saat melepaskan panah.


imajinasiku memang parah

fantasiku tidak pernah searah

pikiranku tiada akan menyerah

kepada emosi cinta yang menjajah.


namun perasaan ini ingin kalah

karena visualisasi itu begitu indah.

(Trenggalek, 29 Oktober 2014)

Mbambung

mbambung,

berjalan sambil merenung

tidak diam seperti patung

berjuta pikiran menggunung

tanpa sekalipun memikirkan untung.


mbambung,

jiwa ini sedang murung

melihat mereka semua terkurung

terkurung terkatung-katung.


mbambung,

jalan ini masih panjang tersambung

lautan itu pasti pula berpalung

burung-burung itu tidak ingin terkurung

di udara mereka ingin bebas bersenandung

tak mungkin ada batu yang menyandung.


mbambung,

terlihat nestapa kian merundung

tangan kaki banyak yang buntung

lidah tidak mampu menyambung

walau masih bisa meraung

mata telah menjadi bakung

hati tak lagi punya relung.


mbambung,

di setiap awal pasti ada ujung

setelah ujung itu tiada lagi akan berujung

sungguh bahagia orang yang selalu merenung

merenung kemudian tidak henti-hentinya menyanjung

menyanjung Yang Maha Agung.


mbambung,

di setiap awal pasti ada ujung

setelah ujung itu tiada lagi akan berujung.

(Trenggalek, 4 November 2014)

Cemburu Lapis Baja

kecemburuan ini dilapisi baja

baja setebal-tebalnya

kau tidak akan mampu menembusnya

kau tidak mungkin melihatnya.


kecemburuan ini sungguh nikmat kurasa

melihat kau bergurau senda

tapi kau tidak akan melihatnya

karena ia dilapisi baja

baja setebal-tebalnya.


kecemburuan tumbuh karena cinta

cinta yang terbakar api asmara

api itu, akankah meluluhkan baja

baja yang setebal-tebalnya

mungkin akan butuh waktu yang sangat lama

dan kau akan melihatnya.


kecemburuan ini tidaklah buta

karena pikiranku masih bekerja

bekerja untuk membuat baja

baja berlapis yang kokoh tertempa

dan kau tidak mampu menembusnya

apalagi melihat isi di dalamnya

tapi kau masih bisa

mendengar dan merasakannya.


kecemburuan ini dilapisi baja

membentuk sebuah ruang kedap suara

kau tidak mungkin melihatnya

kau tidak akan mendengar apapun dari luarnya

kau tidak akan tahu apa-apa

kau tidak tahu

aku cemburu karena cinta.


kecemburuan ini membuatku merana

walau tidak membikinku gila

tapi sampai kapan rasa itu menyala

sampai kapan ia sembunyi di balik baja

aku hanya ingin kau merasa


kecemburuan ini akan lebih berharga

jika kau merasa dan membalas dengan cinta

tanpa kau harus menembus baja

karena baja itu tidak ada.

(Trenggalek, 11 November 2014)

Renungan Jiwa


apa yang kulihat

apa yang kudengar

dan apa yang kurasa

kucoba untuk mencernanya dalam jiwa

kucoba merenungkannya walau tak berharga


karena setiap yang dilihat mata

didengar oleh telinga

dan yang hati merasa

pasti terdapat hikmah yang

menyemarakkan semesta.

(Trenggalek, 15 November 2014)

Kasihan Para Kondektur

kasihan para kondektur

mereka sedikit-sedikit ditegur

oleh penumpang yang tak berbaur

karena uang mereka tercukur


bbm naik, ongkos bis pun naik

dan kasihan, karena kondektur pun juga naik

naik darah karena dituduh tidak baik


kenapa bbm harus naik?

tak tahukah, kasihan itu para kondektur yang baik

setidaknya mereka menjalankan prosedur dengan laik,

tapi penumpang-penumpang itu memang picik

mereka sungguh-sungguh licik

beraninya cuma mengumpat wong cilik


kenapa mereka tidak mendamprat wong politik

wong politik yang berkuasa dengan menggelitik

mereka itu picik

mereka itu licik

mereka tidak seperti kondektur yang baik

(Trenggalek, 1 Desember 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun