Berbicara masalah karakter tentu tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter sudah menjadi slogan yang sangat mapan dan matang, namun tidak pada penerapannya.
Lembaga pendidikan dengan segala atributnya dipandang sebagai harapan tunggal dalam mengentaskan permasalahan karakter anak Indonesia, katanya agar tahun 2045 kita mampu menyongsong generasi emas yang bisa kita banggakan dan momentum kemajuan bangsa Indonesia. Tapi bagaimana dengan karakter anak sekarang?
Permasalahan guru dan siswa di Lamongan misalnya. Menjadi satu contoh betapa "menyebalkan" nya penyelesaian kasus "perbaikan karakter" di Indonesia. Kasus itu bermula ketika siswa memanggil nama guru tanpa kata "ibu" istilah Jawanya "njangkar". Secara hukum adat itu tidak sopan, konsekuensinya tentu adalah cemoohan dan dikucilkan. Namun, guru di Lamongan tidak melakukan itu, dia melakukan tamparan ke pipi siswa beberapa kali sambil berkata, "koe Anake sopo?" (kamu anaknya siapa?). Kejadian itu direkam oleh salah satu siswa, dan dibagikan dimedia sosial. Walhasil viral, dan berujung Guru dan Suaminya minta maaf dihadapan publik.
Oke, saya sepakat guru minta maaf karena tamparan berulang itu adalah bentuk kekerasan yang tidak bisa dinormalisasi. Tapi, bagaimana dengan orang tua siswa itu? Minta maaf kah dihadapan publik? Apakah ada sanksi? Atau remidi dalam mendidik anak? Siapa yang menilai? Siapa yang bereaksi? Dan siapa yang menghakimi orang tuanya? Nyaris tidak ada konsekuensi apapun, padahal anak tidak sopan adalah produk gagal keluarga dalam membina. Tapi ketika guru bereaksi kurang tepat atas "ngaco"nya perilaku anak, seolah guru disudutkan dan dipojokkan bahkan dihakimi habis-habisan, sampai lupa bahwa guru juga manusia yang memiliki kekhilafan dan emosi yang naik turun.
Sedang latarbelakang anak dan keluarga? Nyaris tidak terbahas oleh netizen. Walhasil, guru yang awalnya pekerjaan yang mulia kini menjadi pekerjaan yang menguji adrenalin, penuh tantangan dan menguji kesabaran. Anak yang setiap hari menurun nilai sopan santun dan karakternya hanya boleh dikasih pemahaman melalui dialog, perenungan tanpa menghadirkan sanksi dan hukuman. Jelas sebenarnya hal ini sedikit kurang tepat, karena dilapangan tidak semua anak bisa diajak berdiskusi, tidak semua anak berfikiran terbuka dan tidak semua anak mampu diajak mencari jalan tengah.
Itulah mengapa muncul teori Behaviorisme, yang intinya menciptakan ruang belajar yang kondusif untuk "mencetak generasi ideal" sesuai harapan guru, orang tua dan masyarakat dengan menghadirkan penghargaan dan hukuman atas perilaku anak.
Namun, gegara gagap dan latah secara sembrono kita seolah menafikkan adanya teori itu. Dan yang muncul hanya "menuntun dan menuntun". Ya itu benar, tapi di kurikulum kita saja ingin mencetak generasi yang berprofil Pelajar Pancasila. Padahal jelas itu mencetak bukan menuntun.
Itulah mengapa penting untuk mengawinkan segala teori belajar untuk dihimpun menjadi satu pandangan yang utuh, bukan sepotong-sepotong dan berakibat kaburnya rasionalitas dan realitas.
Maka penting kiranya kita mengembalikan "budaya" negeri dalam mendidik anak. Selama ini kita dijejali dengan "budaya" luar dalam menuntun karakter anak. Entah; Finlandia, Thailand dsb. Seolah mereka sudah benar-benar sukses dalam mendidik karakter, padahal terlalu mengangungkan budaya luar juga tidak begitu baik. Dan, sejarah justru menuliskan bahwa pribumi Indonesia terkenal sebagai pribadi yang tangguh, ulet dan militan. Yang mana tidak semua bangsa memiliki karakter yang demikian.
Mari kita kembali berbenah, karakter harus dikedepankan dibanding nilai (skor) dan kepintaran. Karena sebagaimana kata Heraclitus; "Ethos anthropoi daimon" yang artinya karakter seseorang adalah takdirnya.
Jika hari ini karakter anak-anak negeri minus maka takdirnya negeri ini akan diisi oleh orang-orang minus, jika anak-anak negeri ini memiliki karakter yang agung maka takdirnya negeri ini akan menjadi negeri yang agung.
Apakah kita semua siap mengantarkan negeri ini menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur? Berpulang kepada kesungguhan kita dalam mendidik karakter anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H