Mohon tunggu...
Ghofar Ismoyo Aji
Ghofar Ismoyo Aji Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah satu tanda bahwa manusia masih berpikir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenaikan Peserta Didik

11 Juni 2024   20:51 Diperbarui: 11 Juni 2024   21:45 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi para guru akan dihadapkan dengan suatu dilema dalam urusan menaikkan atau tidak menaikkan peserta didik ke jenjang diatasnya.

Tentu terjadi dilema apakah anak yang belum mencapai ketuntasan yang diharapkan guru harus dinaikkan? Atau tetap tinggal kelas? Ketika anak karakter nya masih dibawah standar, apa bisa tidak dinaikkan?

Fungsi sekolah akan diuji oleh kasus ini. Guru akan dihadapkan dengan anak-anak yang memiliki kekurangan ini-itu. Dan harus mengambil cara yang bijak untuk mengambil keputusan. Memutuskan anak naik atau tetap tinggal kelas tidak boleh diputuskan dengan emosional dan parsial. Pertimbangan harus matang dan perlu kejelian dalam mengambil keputusan, agar tidak blunder dan justru menjadi catatan buruk untuk lembaga pendidikan (sekolah).

Selama masuk ke sekolah, anak adalah tanggungjawab guru dan sekolah. Apalagi di kurikulum sekarang seolah ada kesan anak tetap naik kelas walaupun tidak bisa membaca/menulis diberbagai jenjang, dengan catatan anak itu masuk sekolah.

Jika anak tidak masuk sekolah, atau hanya ada namanya secara administrasi tentu tidak ada diskusi lagi anak tersebut dapat dipastikan layak dan wajib tidak naik tingkat / tinggal kelas. Karena anak tidak datang dan merasakan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas / sekolah.

Masalahnya jika ada anak yang masuk sekolah tapi Kompetensi Dasar / Capaian Pembelajarannya  tidak tercapai apakah anak tersebut layak naik kelas?
Kenapa tidak dianalisa, mengapa bisa demikian?

Saya pernah mendapatkan teguran bahwa "Setiap pekerjaan harus ada target yang seharusnya dicapai, entah itu kuli bangunan, karyawan pabrik, marketing dsb. Jika seorang kuli bangunan tidak mampu menyelesaikan bangunan dalam waktu tertentu maka akan kena teguran, ketika karyawan pabrik tidak menyelesaikan target produksi pasti kena teguran. Kalau guru bagaimana? Jika anak tidak mencapai Capaian Pembelajaran kenapa yang kena teguran & yang tidak naik malah murid? Bukan gurunya yang berefleksi atas kekurangan dari pembelajaran yang diberikan di kelas?"

Sesekali kita perlu renungi itu, sehingga kita mampu memahami alasan dibalik kenaikan siswa berdasar absensi/frekuensi masuknya siswa ke sekolah.

Di sekolah anak mampu ter-sibghah dengan budaya intelektual, karakter, dan kreativitas. Sehingga ada semacam perbedaan daripada anak yang tidak sekolah. Celupan ini yang kini dikejar oleh pemerintah, genjotan kemudahan akses dalam pendidikan (termasuk naik kelas) itu hanya untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah di setiap wilayah dan setiap jenjang.

Singkat kata kualitas pendidikan sedang dikejar dengan tidak meninggalkan kuantitas. Diharapkan dengan kemudahan akses itu banyak siswa yang tidak putus sekolah, mereka akan terus ter-shibghah oleh lembaga pendidikan selama 12 tahun. Tidak ada siswa patah hati karena tidak naik kelas, tidak ada siswa malu karena belum menguasai ilmu pengetahuan tertentu sehingga selama 12 tahun itu anak-anak negeri dikondisikan untuk terus belajar dan belajar sampai bisa, sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing anak.

Dan guru diperintah untuk terus mengingatkan, mengajarkan dan membimbing anak-anak sampai muncul kemauan / motivasi belajar secara mandiri. Agar anak menjadi seorang pembelajar sejati.

Ini memang tidak mudah, tapi fungsi sekolah sejatinya memang untuk itu. Perlahan tapi pasti perubahan paradigma pendidikan di sekolah memang amat terasa, dan sekarang sedang masa transisi.

Terus semangat, mendidik dan mengajar anak dengan sungguh-sungguh bapak/ibu guru, beradaptasi dengan kondisi saat ini adalah jalan terbaik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun