"Mengapa siswa di sekolah tidak bisa seperti santri di Pesantren?"
Pertanyaan diatas pernah ditanyakan oleh teman saya kepada saya, ketika melihat siswa di sekolah dan membandingkan dengan santri di ponpes. Menurut teman saya itu sangat jomplang banget terutama dalam hal sopan santun kepada guru dengan indikator beberapa siswa jika ketemu guru tidak cium tangan, apa dan mengapa bisa begitu?
Saya pun jadi berfikir dan kemudian coba menganalisa akar perbedaan dan problemnya, saya berkesimpulan bahwa akar masalahnya ada pada "kepercayaan" dan "prinsip yang diusung" siswa.
Bicara soal sopan santun adalah berbicara soal hilir masalah, jika ditarik keatas, siswa tidak cium tangan itu karena mungkin saja menurut siswa itu cium tangan tidak menjadi cerminan nilai sopan (etiket) dan tidak ada landasan "kepercayaan" untuk melakukan itu. Maka, wajar siswa tidak cium tangan guru di sekolah.
Berbeda dengan di ponpes, cium tangan pada ustadz/kyai adalah sebuah etiket yang merupakan cerminan etika yang berlandaskan kepercayaan/agama. Prinsip takut kualat sangat kuat disitu, disamping itu cium tangan dipandang sebagai cara untuk mendapat keberkahan.
Mengapa guru di sekolah tidak dipandang seperti ustadz / kyai di pondok saja?
Saya rasa itu pendapat yang akan sulit terjadi karena ponpes dari dulu memang dibangun untuk pendidikan agama yang kental dengan konsep-konsep dosa-pahala, keberkahan, azab dsb. Sedang sekolah umum dipandang sebagai tempat untuk mencari ilmu dunia. Yang tidak mengenal konsep kualat. Sehingga sulit untuk menyamakan guru dengan ustadz/kyai.
Terlebih dikalangan masyarakat terjadi dikotomi yang tajam antara ilmu dunia dan ilmu agama. Seorang tidak dianggap alim kalau dia pintar matematika, bahasa, jago fisika, kimia, filsafat, nuklir dsb bahkan dianggap ilmu-ilmu itu tidak begitu penting. Tapi seorang dianggap alim jika dia menguasai ilmu tafsir, hadits, fiqh dsb ilmu itu dianggap lebih dekat dengan syurga dan keberkahan.
Maka sepertinya mustahil untuk bisa menyamakan guru sekolah dan guru ponpes. Karena guru sekolah dianggap hanya untuk mencari dunia, sedangkan guru ponpes dianggap untuk mencari akhirat. Maka porsi akhirat akan lebih diagungkan dibandingkan porsi dunia.
Selama dikotomi itu ada, selama itu pula sekolah dan pondok akan berjalan di rel yang berbeda. Dan selama itu pula perilaku warga sekolah dan warga pondok akan mengalami perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H