Akhir-akhir ini, dunia kesehatan khususnya bidang kedokteran gigi diramaikan dengan isu maraknya praktik perawatan gigi ilegal di Indonesia. Praktik-praktik ilegal tersebut dilakukan oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan dirinya sebagai "Ahli Gigi" atau yang biasa kita sebut sebagai "Tukang Gigi".Â
Menjamurnya tempat-tempat praktik tukang ggi di Indonesia membuat masyarakat awam tergiur dengan kemudahan akses dan harganya yang terjangkau.
Namun, hal itu tidak disertai dengan kompetensi yang memadai dan prosedur perawatan yang sesuai.
Profesi tukang gigi sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan belanda. Adanya profesi ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya jumlah dokter gigi pada saat itu. Pun dokter gigi yang ada hanya melayani orang-orang Eropa.
Di masa itu, sulit sekali bagi orang pribumi untuk menimba ilmu kedokteran. Pun banyak yang menganggap kesehatan gigi bukanlah hal yang terlalu dianggap serius1. Hingga maraklah profesi tukang gigi di Indonesia.
Legalitas Tukang Gigi di Indonesia
Akhirnya pemerintah mengeluarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi. Artinya, profesi tukang gigi ini menjadi legal dan diatur oleh pemerintah.Â
Dua puluh tahun kemudian, dikeluarkanlah Permenkes No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang kewajiban tukang gigi yang telah teregistrasi dan memiliki izin untuk melakukan pembaharuan izin untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali hingga usia 65 tahun.Â
Selain itu, peraturan tersebut menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan tidak menerbitkan izin baru bagi tukang gigi selain yang sudah mendapatkan izin berdasarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969.
Lalu di tahun 2004 terdapat Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang mengundang "keributan", dimana pasal 73 ayat 2 di undang-undang tersebut berbunyi:
"Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik." dengan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) seperti yang tercantum pada pasal 78 dalam undang-undang tersebut.
Kemudian di tahun 2011, Kementerian Kesehatan mencabut peraturan sebelumnya dan menggantinya dengan Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011.
Peraturan ini juga memuat tentang pencabutan izin praktik tukang gigi di Indonesia.2
Proses legalitas tukang gigi dari tahun ke tahun ini berujung pada pencabutan izin praktik tukang gigi di Indonesia, yang mana hal tersebut merugikan pihak profesi tukang gigi.
Maka di tahun 2012, para tukang gigi ini melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menggugat permenkes no.1871 tersebut.Â
Demonstrasi ini dilakukan di berbagai daerah seperti Surabaya dan Bandung. Para tukang gigi ini berasal dari berbagai organisasi profesi mereka, seperti PTGI (Persatuan Tukang Gigi Indonesia) dan Astagiri (Asosiasi Tukang Gigi Mandiri).
Mereka juga beralasan bahwa adanya peraturan ini hanyalah upaya agar profesi tukang gigi tidak tersaingi oleh tukang gigi.
"Kalau pasang gigi palsu di tukang gigi hanya Rp 50 ribu, sementara di dokter gigi dengan bahan yang sama bisa mencapai Rp 400 ribu,'' ujar M Budi Anta, ketua PTGI Jawa Timur.3
"Kami sebagai putra Indonesia yang juga punya kewajiban berpartisipasi dalam membangun negeri ini, keberatan. Karena kami yang sudah tidak merepotkan pemerintah dan bahkan membantu membuka lapangan pekerjaan, kenapa kami harus dibasmi? Padahal, pekerjaan kami sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah," kata Jufri, tukang gigi asal Bandung, dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (12/6/2012).4
Para tukang gigi dibawah organisasi PTGI kemudian mengajukan judicial review ke MK. Pada 15 Januari 2013, MK memenangkan gugatan judicial review yang dilakukan PTGI. Ketua MK pada saat itu, Mahfud MD, mengatakan bahwa pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak berlaku lagi. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," katanya di gedung MK, Selasa (15/1/2013).5
Amar putusan MK tersebut akhirnya melahirkan Permenkes No. 39 Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan pekerjaan tukang gigi.
Di dalam peraturan ini juga tukang gigi didefinisikan sebagai orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan.Â
Pemerintah tetap memberi izin kepada para tukang gigi untuk berpraktik, namun hanya untuk membuat dan memasang gigi tiruan akrilik lepasan sebagian atau penuh dengan proses heat curing. Pemasangannya pun diatur agar tidak menutupi sisa akar gigi.6
Yang Terjadi Saat Ini
Kurang lebih sudah berjalan empat tahun sejak dikeluarkannya Permenkes No. 39 yang mengatur segala kewenangan praktik tukang gigi.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak tukang gigi yang tidak mengindahkan peraturan tersebut dan akhirnya melakukan tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam Permenkes No. 39, seperti mencabut gigi, memasang behel, dan melakukan promosi secara online.
Terdapat lebih dari enam ratus kasus yang sudah didokumentasikan oleh akun instagram @korbantukanggigi dan masalah yang ditimbulkan sangat bermacam-macam, bahkan sampai mengakibatkan korban meninggal.Â
Akun @korbantukanggigi telah mendokumentasikan bahwa setidaknya ada empat kasus korban praktik tukang gigi yang berujung pada kematian.
Selain itu, terdapat permasalahan kondisi rongga mulut lainnya seperti langit-langit yang berlubang, gigi depan yang maju, hingga menimbulkan bengkak dan bernanah.7
Saran dan Masukan
Masalah malpraktik tukang gigi ini seharusnya menjadi perhatian besar bagi pemerintah, terutama kementerian kesehatan dalam menjalankan setiap peraturan yang sudah dikeluarkan.
Berkaca pada fakta yang terjadi semenjak empat tahun dikeluarkannya permenkes tersebut, fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap profesi tukang gigi dapat dikatakan tidak membuahkan hasil.Â
Bukti maraknya malpraktik tukang gigi ini menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh kementerian kesehatan maupun dinas kesehatan di setiap daerah belum optimal.
Oleh karena itu, optimalisasi pengawasan dan pembinaan terhadap tukang gigi harus ditingkatkan lagi. Pun permenkes no. 39 ini merupakan peraturan yang jelas dan tegas dalam mengatur praktik tukang gigi di Indonesia.
Maka yang diperlukan saat ini adalah komitmen dan ketegasan dari pemerintah, khususnya dinas kesehatan untuk mengatur dan menertibkan para tukang gigi yang melakukan tindakan ilegal dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Bahkan, menurut salah satu dewan pembina PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), drg. Zaura Rini Matram, tukang gigi harus dihapus dan dihilangkan dari masyarakat. Pun masyarakat juga harus tahu bahwa ada batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan oleh tukang gigi.
"Tukang gigi sangat merugikan masyarakat, PDGI minta agar peraturan ini dilaksanakan dan ditegakkan. Untuk masalah kesehatan masyarakat, PDGI tidak mau kompromi," ujar drg. Zaura.8
***
Referensi
1. Inilah Sejarah Tukang Gigi di Indonesia - BeritaSatu.com [Internet]. [cited 2018 Sep 1].
2. Haris R Al. Fenomena Pahit Praktik Gigi Ilegal Batasan. 2018;
3. Dilarang Beroperasi, Tukang Gigi Protes Permenkes - Kompas.com [Internet]. 2012 [cited 2018 Sep 1].
4. Tukang Gigi: Kenapa Kami Dibasmi? - Kompas.com [Internet]. 2012 [cited 2018 Sep 1].
5. Putra EP, Rahadi F. MK: Tukang Gigi Boleh Berpraktik! | Republika Online [Internet]. 2013 [cited 2018 Sep 1]. 6. Putri AW. Mewaspadai Risiko Memakai Jasa Tukang Gigi - Tirto.ID [Internet]. 2018 [cited 2018 Sep 1].
7. Dagelan Drama Kortugi (@korbantukanggigi) * Instagram photos and videos [Internet]. [cited 2018 Sep 1].
8. Candra A. Tukang Gigi dan Risiko Infeksi - Kompas.com [Internet]. 2011 [cited 2018 Sep 1].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H