Mohon tunggu...
Humaniora

Tanggapan Artikel "Menyikapi Klaim Sumbar dan Jambi tentang Gunung Kerinci" oleh Hafiful Hadi

20 Februari 2018   08:59 Diperbarui: 20 Februari 2018   09:53 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket : Lukisan Regalia Kerajaan Sungai Pagu

Saya mengucapakan ribuan terima kasih karena artikel tanggapan saya di respon dengan sangat cepat oleh saudara Hafiful Hadi Suliensyar di tengah-tengah kesibukan beliau sehari - hari. 

Adalah tanggapan kepada artikel saudara Hafiful Hadi Suliensyar yang berjudul "Menyikapi Klaim Sumbar dan Jambi tentang Gunung Kerinci" Oleh karena pembuka dari artikel saudara Hafiful ini dimulai dengan pepatah lama, "gayung bersambut, Andai Bertingkah, kata berjawab" saya tidak paham apa yang dimaksudkan dengan andai bertingkah seperti yang dinukilkan dalam penggalan pepatah di atas. Terus terang, tidak bersua ianya dalam perbendaharaan pepatah lama yang ada di Minangkabau oleh saya. Baiklah, karena da'wa bertimbang jawab saya jawab pula kata-kata pepatah itu dengan perumpamaan lama pula.  

"Anggang tabang bamangkuto

Rajo Bajalan badaulaik

Alang sariknyo bakato - kato

Tiok kato baalamaik" 

A. Pertimbangan Gunung Berapi Hilir

Dalam pada artikel tersebut saudara Hafiful menulis sebagai berikut :  "Pertama, Ghiovani menyebutkan bahwa nama Gunung Kerinci dahulu kala bukan hanya Gunung Berapi tetapi Gunung Berapi Hilir, bahkan disajikan beberapa data hasil alih aksara naskah piagam kaum adat Kerinci oleh Voorhoeve (1941) dan alihaksara cap mohor Sultan Abdul Djalil. Namun, agaknya Ghiovani keliru dalam menginterpretasikan alihaksara teks naskah karena hanya dipenggal beberapa kata saja sehingga lepas dari konteks aslinya. Oleh sebab itu marilah kita tinjau alih aksara teks secara keseluruhan."

Oleh karena saya dianggap keliru menginterpretasikan TK 173 dan TK 171 tersebut maka sebaiknya saya kutip pula Tambo - Tambo itu secara keseluruhan.  Tambo Kerinci No. 171 yang disimpan oleh Depati Mangkoe Boemi Toeo Soetan Nanggalo di Dusun Siulak Gedang : 

"(lihat gambar N. B 50) Disertai dua salinan, tulisan Melayu juga, pada kertas Bunyinya:

Cap: Ini cap Pangeran Suta Wijaya

(1) Bahwa ini piagam daripada duli Pangeran Sukarta Negara yang digaduhkan kepada Depa(ti).................ngk....................

(2) singga kaki gunung Berapi hilir sehingga Tebing Tinggi mudik dan sehelai daun kayu dan seekor....................(menurut salinan: dan setitik air sebatang laras sekepal tanah ialah Depati Mangku Bumi Tuo Suta Nenggala)

(3) di dalam kurung itu melainkan kepada Depati Nangku Bumilah empunya suka (menurut salinan: segala) daripada tanah airnya dan kayu....................

(4) secupak segantangnya semerah sementerinya seanak jantan seanak betinanya (tambahan pada salinan: sepadinya jatah jati).................

(5) denda setianya indah pelak jatah jati rupa taring mustika.................

(6) melindungkan..........setia oleh raja serta denda panjat..........menterinya atau (?) cupak gantangnya........

(7) melingungkan terdenda oleh Depati Mangkubumi Suta Menggala. Hubaya2 jangan dilalui. Tammat al kalam."

Tambo Kerinci No. 173 Pusaka Depati Radjo Simpan Goemi Toenggoen Satio Doesoen Sioelak Gedang

"Salinan surat lama. Lihat gambar No. B 51

Bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Gumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Gumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang batiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Gumi, Depati Intan, Depati Mangku Gumi. Itulah gedang yang bertiga berat sama2 dipikul, ringan sama2 dijinjing adanya.

Perihal perintah Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara yang dijunjungkan baginda atas dipati yang bertiga sekedudukan, barang yang kusut beselesaikan, surang beragih, harta orang jangan diambil, harta diri jangan diberikan kepada orang. Barang siapa membunuh memberi bangun, barang siapa melukai memberi pampas. Barang siapa kepanjing ke dalam sepancung sulanya dipati yang bertiga. Barang perintahnya dan barang hukumnya yang dilakukannya itu, hukum Sultan dan Pangeran yang dijunjungnya itu adanya.

Hubaya2 jangan dilalui seperti yang di dalam cap piagam ini. Dan barang siapa melalui perintah dalam piagam ini atau beraja hitam beraja putih kena kutuk Pangeran Temenggung kebul di bukit, tiang rumahnya ke atas, bubungannya ke bawah. Demikian lagi sudah lama sumpah ini, barang siapa menyuri....................menyembunyikan kato rajo yaitu emas jatah jati serupa (?) pelak (?) indah taring mustiko, itulah larangan (?) dari Sultan dan Pangeran. Intaha tammat alkalam." Dari Naskah TK 171 tersebut, jika dibaca secara keseluruhan berulang kali maka saya tetap menginterpretasikan kata "Gunung Berapi Hilir" tersebut tetaplah sebagai sebuah kesatuan utuh, tidak sebagaimana pendapat yang di ambil oleh saudara penulis "Gunung Berapi (ke) Hilir". 

Jika kita melihat pada baris kesatu dan baris ketiga dalam naskah tersebut telah menggunakan kata-kata kepada dengan imbuhan "ke", artinya jika dimaksudkan penulisan celak piagam tersebut Gunung Berapi (ke) hilir maka sudah pasti ada "ke" yang disisipkan. Tambahan lagi pada baris ketiga TK 171 tersebut telah ada kata ganti "nya" pada kata-kata "Depati mangku Bumi empunya segala". Jika mengikut kepada tata tulis yang dibuat dalam naskah ini sendiri sudah barang tentu akan ditambahkan pula dengan kata ganti "Gunung Berapi (ke) hilir (nya)". Atas dasar ini, saya berkesimpulan tetap bahwa "Gunung Berapi Hilir"  adalah sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam TK 171. 

Tambahan lagi, mengikut pendapat saudara hafiful sendiri ditilik dari tulisan penulis sendiri "Kata "hilir" dan kata "mudik" di Kerinci (bahkan di Sumatra) umumnya digunakan untuk menunjukkan arah menggantikan sistem mata angin" maka seharusnya jika dari perspektif tersebut baik perspektif penerbit celak piagam (jambi) maupun depati tanah sekudung (siulak sekeliling) seharusnya naskah tersebut berbunyi "Gunung Berapi Mudik". Bukankah sampai saat ini arah ke gunung kerinci masih dianggap sebagai mudik ?

Sekarang kita berpindah pula kepada dua naskah cap mohor dalam katalog Dr. Annabel Teh Gallop dengan nomor #661 dan #669. Pada cap mohor #661 tertulis sebagai berikut "hingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dari Jambi mudik", sedangkan pada cap mohor #669 tertulis sebagai berikut "Menyerahkan segala anak Minangkabau hingga kaki Gunung Berapi hilir sampai ke laut". 

Jika kita berpedoman dengan pendapat yang disampaikan oleh sudara Hafiful maka makna cap nomor #661 menjadi bias, yakni " hingga kaki Gunung Berapi (ke)hilir(nya) hulu dari Jambi mudik". Saya terus terang tidak dapat menangkap maksud dari pembacaan "kehilirnya hulu dari jambi mudik", yang tepat jika naskah itu dibaca sebagai sebuah kesatuan maka tampak jelas perkataan bahwa sejak dari "gunung berapi hilir" yang merupakan hulu dari daerah Jambi sebelah mudik telah diserahkan oleh Sultan Abdul Jalil Minangkabau kepada "anaknya" Sultan Jambi. 

Pada Cap Mohor #669 jika mengikut pula pada interpretasi saudara penulis maka tidak diperlukan pula kata-kata "sampai" dalam cap mohor tersebut. Seterusnya saudara hafiful berpendapat bahwa maksud cap mohor ini hanyalah penyerahan terhadap "manusia" saja tidak termasuk "wilayahnya" sendiri. Agaknya saudara hafiful telah melenceng dari topik pembahasan mengenai gunung berapi hilir, karena interpretasi atas "penyerahan" itu tidak diperlukan dan tidak terkait sama sekali dengan frasa "Gunung Berapi Hilir" sebagai maksud dari tulisan ini. Interpretasi atas status "Penyerahan Rakyat" itu baik "Gunung berapi kehilirnya" maupun "gunung berapi hilir" tidak akan mendukung sama sekali. Seyogyanya, permasalahan segitiga Jambi, Johor dan Minangkabau yang melibatkan Puti Jamilan dari Minangkabau pada abad ke 16 tersebut di bahas pula oleh ahli-ahli maupun pelajar-pelajar pada topik yang lain. 

Tetapi karena sudah kadung dibahas oleh saudara Hafiful izinkan pula saya memberikan sedikit singgungan saja. Menurut informasi yang bersumber dari Naskah Leiden University dengan nomor Cod.Or.12.176 nomor III

Pada halaman 51 dst dalam naskah tersebut yang dikeluarkan oleh sultan seri ingalaga dari Jambi sebagai berikut : 

"Bab fasal undang-undang orang Batin Lima dan Batin Enam, Batin Delapan, yang di dalam Sungai Tembesi; ff. 56r-64v: fasal Batin Lima-, on ff. 57r and 61r it is stated that these laws came into force on 1 Rabi'ul-awal 1210/15 September 1795 by order of Sultan Ratu Seri Anglangka (?) (Ingalaga, pen) and were valid until the time of Sultan Ratu Muhammad Badaruddin (?); this fasal contains the Adat Minangkabau applicable to Minangkabaus living in Jambi; the Jawi text is missing on f. 58v. Van Ronkel 1921, p. 54, no. 135"

Sejalan dengan itu menurut naskah 

"1592. KITLV Or. 71

Ceritera Negeri Jambi

1 (+) 11 pp.; Dutch laid paper; wm. Pro Patria with G H K; 33 x 20 cm.; 28 lines per p.; legible writing; copied in two different hands; written by Demang Khidar. The text, pp. 1-10, begins with the sultan who passes away at Tabuah; he has three children, the father of Raden Muhammad Kasim (the elder), Raden Rangga, the father of Raden Tabun, and the father of the present sultan, Raden Danting, later to become Pangeran Ratu Marta Ningrat; the dead sultan is succeeded by the father of Raden Muhammad Kasim and after his death Jambi is ruled by Pangeran Ragu Marta Ningrat and Raden Rangga; Raden Rangga and Pangeran Ratu Marta Ningrat leave for Tanjung Samalido where Pangeran Ratu is installed as ruler of Jambi by the Yang Dipertuan of Pagaruyung, with the title Sultan Mahmud Muhiyuddin; when the Sultan returns to Jambi, Raden Rangga stays behind at Tujuh Kota, disappointed that he as the elder son has not become ruler; with his followers he goes downstream to Muara Tabuh and from there to Johor and Riau,at the time these countries are at war with the Dutch; getting no support Raden Rangga returns to Jambi and remains at Sembilan Kota where he marries and has a son, Raden Tabun; traders going upstream are held up at Muara Tabuh; there is an uprising against Sultan Mahmud because his consort is cruel to good-looking girls; the sultan seeks support from Raden Rangga, with the promise that when his son becomes ruler, Raden Rangga's son will be Pangeran Ratu; the power of the Sultan is restored without a struggle but he forgets his promise; Raden Rangga dies and his followers now back Raden Tabun; Pangeran Ratu and his brother, Pangeran Perabu, sail to Lingga and on their return they go upstream to meet the Yang Dipertuan of Pagaruyung where they learn that the latter has been attacked by the Padry, the Minangkabau ruler is now supported by pangeran ratu, pangeran perabu and Raden Tabun; when they gain victory they are installed respectively as sultan, pangeran ratu and panglima besar; Raden Tabun reminds the sultan of his father's promise that he will be pangeran ratu which is denied by the sultan; later on Raden Tabun is named Dipati Kerta Menggala and marries the sultan's sister, Ratu Emas Piah; now Raden Tabun is not allowed to return to his wife he has earlier married upstream; the sultan in his turn marries a sister of Raden Tabun, Ratu Mas Seri Kemala, on condition that she will become Ratu Agung, but after a while she is neglected because the ruler is scared of his other wife, Tuan Gadis; dissatisfied with this situation, Pangeran Dipati is planning to trade to the Straits of Singapore; Demang Khidar, author of this composition, is dispatched by the Resident of Palembang to collect the price of salt from the sultan and pangeran pati and learns about the situation from the Petor l.m.l.i.t.; the sultan allows the revenue of Muara Kumpai to be used by Pangeran Dipati to pay the Resident; now the Sultan is installed according to the old ceremony; Raden Muhammad Kasim is now given the title Pangeran Kerta Negara and other princes also receive the title pangeran', from this point on the author gives dates"

Saya tidak akan membahas panjang lebar hal di atas, mengingat hal ini hanya beririsan saja dengan topik yang sedang dibahas dan tidak bersinggungan pula secara langsung. Saya berpendapat watas-watas Minangkabau yang hanya sampai kepada Tanjung Simalidu di hilir adalah akibat dari permasalahan yang disinggung di atas. Pendapat saudara penulis yang hanya mengatakan "menyerahkan rakyat" bukan "wilayah" hanyalah sebuah hipotesa penulis saja tanpa disertai pula dengan fakta-fakta dan sumber-sumber pendukung. 

Pada tulisan saya yang sebelumnya saya sampaikan bahwa dalam beberapa Tambo Minangkabau dituliskan informasi sebagai berikut ""Laras Koto Piliang iyalah sehingga Tanjung Padang Mudik, hinggak guguk sikaladi mudik, hingga lawik nan sedidih, hingga gunung berapi hilir." Apa tidak apa jika saya pakai pula interpretasi saudara Hafiful ini dengan satu naskah Tambo Minangkabau ini sehingga akan terbaca bahwa "kehilirnya" gunung berapi ini juga adalah wilayah Minangkabau dalam hal ini laras koto piliang. Apa seandainya begini tidak jadi masalah baru dan banyak yang protes dan kebakaran jenggot ?   

Kesimpulan saya, interpretasi saya atas pemberian istilah gunung berapi hilir adalah untuk membedakan pada dua nama buah gunung yang sama-sama dianggap sebagai gunung berapi yakni satunya di mudik, tempat dimana sebagian leluhur masyarakat Kerinci sendiri berasal yakni Gunung Marapi/Barapi (Pariyangan Padang Panjang) dengan replika bukit siguntang-guntangnya yang hanya sebesar kuburan. Satunya dihilir, tempat yang menjadi hulu dari wilayah sembilan lurah  dan dianggap keramat, yakni gunung kerinci sekarang. 

Menyoal kata "tersekut" dalam TK 173 yang oleh saudara penulis dikatakan bahwa tidak terdapat pula pengertianya dalam KBBI. Saudara penulis berpendapat bahwa istilah "sekut" dimaknai menyeluruh. Menurut saya, naskah ini jelas tidak dibuat di kerinci melainkan dikeluarkan dari keraton tanah jambi yang mengikut pula kepada standar bahasa melayu lama. Sebagaimana lazimnya diketahui istilah "tasakuik" di Minangkabau atau secara lazim pula diketahui dalam perbendaharaan melayu klasik sebagai "tersekut di kerongkongan" maka tampak jelas bahwa arti dari tersebut adalah sesuatu yang tertahan/tertumbuk/tertumpu kepada gunung berapi. Tidak pula ianya dibaca tersekut (terseluruh) sebagaiamana kata "sekut" dalam bahasa kerinci tersebut. 

Hemat saya, penulis terlalu memaksakan pemaknaan "tersekut" sebagai sesuatu yang bermakna "terseluruh". Imbuhan -ter sebagaimana dijelaskan dalam "baca" bermakna menjelaskan suatu keadaan dalam konteks pembicaraan kita bermakna sesuatu yang dalam keadaanya tertahan di gunung berapi imbuhan -ter ini jelas tidak cocok jika di maknakan sebagai sesuatu yang menyeluruh. 

Oleh karena itu, sebagai kesimpulan bahwa status ulayat tanah sekudung itu hanya tertahan sampai ke jurai gunung berapi tidak pula melompat melewati gunung tersebut. Lagipula, jika mengambil sumber-sumber yang ada dikutip saudara penulis sendiri jelas dikatakan dalam TK 169 bahwa wilayah tanah sekudung itu "Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu Gunung  Berapi". T

ampak jelas kata gunung berapi dihubungkan dengan yang pertuan maraja bungsu sebagaimana pada pendapat saya bahwa salah satu jurai dari gunung tersebut adalah ulayat dari maharaja bungsu dari rantau xii koto. JIka Rantau XII Koto tidak berulayat di gunung berapi maka perkataan "Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu Gunung  Berapi" itu sama sekali tidak diperlukan dan tidak relevan dengan maksud celak piagam tersebut serta sehrusnya ditulis "Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu Lubuk Gadang dst".

B. Persoalan Rantau XII Koto dan Sungai Pagu

Saudara penulis pada tanggapanya mengenai Sungai Pagu dan Rantau XII Koto menulis sebagai berikut :  "Rantau XII Koto memang tidak familiar dalam telinga masyarakat adat Kerinci, sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu, naskah TK 161 juga memuat gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu namun tidak menyebutkan tempat kediaman/kedudukannya."

Ket : Daftar Raja-Raja Sungai Pagu di Istana Dauat Yang Dipertuan
Ket : Daftar Raja-Raja Sungai Pagu di Istana Dauat Yang Dipertuan
Agaknya penulis menutup mata pada fakta dan tetap mempertahankan pendapatnya setentang wilayah di utara gunung kerinci adalah wilayah sungai pagu saja, hal ini bersumber dari satu naskah  kerinci tentang watas tanah sekudung yaang sitasinya tidak disampaikan dalam artikel tanggapan diatas, alangkah lebih baik jika dokumen mengenai informasi "Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu" di sampaikan agar kita semua terbantu oleh literatur penting tersebut.

Penulis juga terkesan abai dengan fakta bahwa dalam Ranji Limbago Adat Alam Minangkabau hanya satu yang bergelar Yang Dipertuan Maharajo Bungsu berkedudukan di Lubuk Gadang Sangir sebagaimana dalam TK 161 dan secara de facto sampai sekarang wilayah rantau xii koto dengan yang patuan maharajo bungsunya masih ada dan sehat wal'afiat.  Lebih lanjut dalam tulisanya saudara penulis berpendapat, "Namun berbeda dengan saat ini, gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu justru tidak digunakan lagi di Kerajaan Sungai Pagu melainkan di wilayah Rantau XII Koto". Pendapat ini fatal, karena alih-alih mengutip literatur online di  "baca". Frasa "tidak digunakan lagi di Kerajaan Sungai Pagu" jelas adalah pendapat pribadi penulis tanpa dasar, tidak dinukil dari dua link di atas yang kenyataanya sama sekali tidak menyinggung gelar "yang patuan maharajo bungsu".

Ket : Lukisan Regalia Kerajaan Sungai Pagu
Ket : Lukisan Regalia Kerajaan Sungai Pagu
 Pendapat penulis selanjutnya yang juga fatal adalah "Oleh sebab itu, mestilah ditelusuri kapan perjanjian batas wilayah antara Kerinci dan Sungai Pagu dibuat? apakah ketika raja yang bergelar YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah itu masih berkedudukan di wilayah Sungai Pagu atukah sudah berpindah kedudukannya di Rantau XII Koto (Lubuk Gadang)?"

Darimanakah penulis mendapat keterangan bahwa yang dipertuan maharajo bungsu itu pindah2 dari sungai pagu ke lubuk gadang atau sebaliknya ? hal ini harus dijelaskan lebih lanjut agar tak menimbulkan polemik berkepanjangan, apakah ada sumber yang memuat atau menyatakan informasi demikian atau bagaimana ?  Selanjutnya penulis mengutip salinan veth dalam bukunya e talen en letterkunde van midden-sumatra, 1881 (p. 160) yang dikutip dari salah satu website milik saya sendiri "baca" agaknya penulis perlu sesegera mungkin memetakan nama-nama negeri tersebut beserta ulayat negeri dalam rantau xii koto tersebut masing-masing termasuk mencari dimana letak "baroeq kahujanan" dalam naskah tersebut supaya ketahuan kenyataan apakah ada ujung tanah rantau xii koto yang letaknya di kawasan gunung kerinci.  

Penulis juga mengutip salah satu situs tentang batas-batas sungai pagu lalu mempertanyakan kenapa tidak ada tersebut nama gunung berapi dalam batas-batas adat tersebut. Terang benderang sekali, tidak akan ada nama gunung berapi dalam watas yang dikutip tersebut. Tampaknya, selain penulis kurang memahami daerah sungai pagu juga tidak memahami negeri-negeri disana dengan baik. Padahal terang benderang ditulis pula negeri sungai pagu sampai pada "sampai ke Pauh Duo nan Batigo" yang jelas jauh sekali letaknya dari gunung berapi tersebut. 

Saya kutip kembali "Ke dua tambo ini, baik yang berasal dari Rantau XII Koto maupun Alam Surambi Sungai Pagu, sama sekali tidak memuat kata Gunu(a)ng Berapi atau Gunung Kerinci. Tetapi Ghiovani mengatakan bahwa  "Wilayah-wilayah Pematang Rantau yang dibawahi oleh Tantua Raja Sahilan sebagai Pucuk Pimpinan Tiang Panjang Nan Batujuah Rantau XII Kota membawahi jalur lama menghilir menuju Kerinci termasuk didalamnya tertumbuk ke Gunung Berapi hilir adalah genggaman Daulat Yang Dipertuan Maharaja Bungsu diam di Rantau XII Koto". Tentu saja ini adalah interpretasi pribadi Ghiovani tanpa sumber yang jelas. Soalnya kedua tambo sama sekali tidak menyebut Gunung Berapi. Apalagi dia mengatakan 'menghilir' menuju Kerinci, kira-kira sungai manakah yang bermuara ke wilayah Gunung Berapi (Gunung Kerinci)?" 

Agaknya saudara penulis keliru atau saya yang keliru dalam menulis kalimat di atas, jelas sekali bahwa wilayah pematang rantau di rantau xii koto digunakan sebagai "pintu keluar" menuju Tanjung Simalidu atau berbelok ke jalan rimba dan muncul di kerinci (tidak menggunakan jalan buatan belanda". Selanjutnya, pada tulisan di atas tidak pula di maksudkan mengatakan bahwa ada sungai yang bermuara ke gunung kerinci, mohon maaf kita semua tahu bahwa hal itu tidak mungkin sama sekali. Selanjutnya penulis jelas tidak memahami mengenai sistem pemerintahan rantau xii koto yang terdiri dari pertuanan maharajo bungsu dengan tantua rajo sahilan pucuk pimpinan tiang panjang nan batujuh di patah rantau / pematang rantau tersebut. 

Ket : Makam Puti Intan Jori leluhur Raja - Raja Rantau XII Koto
Ket : Makam Puti Intan Jori leluhur Raja - Raja Rantau XII Koto
Kita berpindah pada pertanyaan saya dahulu mengenai konklusi bahwa "semua" wilayah di kawasan gunung kerinci adalah milik masyarakat adat yang berdiam di kabupaten kerinci sekarang.  Oleh karena pentingnya pernyataan tersebut maka saya minta kembali untuk diterangkan secara lugas tidak secara singkat jawaban pertanyaan saya berikut sebagai bukti akan pernyataan "semua" tersebut :  

1. Pertanyaan pertama yang harus dijawab penulis sebagai konklusi atas pernyataan beliau adalah di manakah tanah terakhir yang dimiliki oleh kelebu2 atau katakanlah Depati2 di Alam Kerinci yang watasnya lansung dengan tanah2 kaum ulayat tinggi masyarakat adat Rantau XII koto ? ( di dalam kawasan gunung kerincikah atau sudah "tersekut" jauh ke dalam lubuk gadang sangir ?)

2. Pertanyaan kedua apakah tidak ada satupun penghulu2 adat orang negeri Rantau XII koto yang punya ulayat di lekuk2 Gunung Kerinci sekarang ini ?

3. Pertanyaan ketiga, apakah dalam penyelesaian sengketa adat selama ini, katakanlah sengketa pengelolaan hasil bumi dan hutan di Kawasan gunung kerinci hanya diselesaikan oleh depati bertiga di tanah sekudung atau juga diselesaikan oleh yang patuan di lubuk gadang sangir ?

4.  Pertanyaan keempat, apakah dahulu kala pernah terjadi tukar guling penguasaan tanah ulayat di sekitar Gunung Kerinci sebagai akibat rapat - rapat adat / buah kerapatan penghulu besar2 / buah dari pengadilan adat semacam bangun dan pampeh ?

Saya mengecam istilah "daerah transmigrasi" yang di sampaikan penulis dalam tulisan tanggapanya atas sarahan saya sebelumnya. Selain amat sangat tidak relevan dengan pertanyaan saya. Pada kalimat "bukan malah mengambil keputusan sepihak saja, seolah-olah menguasai Gunung Kerinci seluruhnya." saya tidak mengerti maksud terselubung dari pernyataan ini. Dapatkah diterangkan dengan lebih lugas keputusan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan ini ?  Tulisan singkat ini saya akhiri pula dengan sebuah perandaiaan lama  

"Harimau mati dek balangnyo

Tarambau kabau dek rumpuik mudo 

Mati ruso dek jajaknyo 

Mati kabau dek buninyo"

 

"Tacancang pua tagarik andilau

Sorang makan cubadak 

Sadonyo kanai gatahnyo 

Sikua kabau nan bakubang 

Kasadonyo kanai luluaknyo"

"Sudu-sudu di tapi jalan 

DIpanjek kanai durinyo 

Disingguang kanai rabehnyo 

Ditakiak kanai gatahnyo 

Tagisia kanai miangnyo"

 

"Pikia palito hati, tanang hulu bicaro

Haniang saribu aka, nanang rimbo kiro-kiro

Olok-olok mambao sansai, garah-garah jadi binaso"

Sumber catatan ini :

Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens, goeroe A. Hamid

Hasselt, A. L. (1881). De talen en letterkunde van Midden-Sumatra, door A.L. van Hasselt. Leiden: E.J. Brill.

Teuku Iskandar (1999)Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran manuscripts in the Netherlands. 2 vols., xiv, 1095 pp. Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom

Gallop, A. Teh. (2002). Malay seal inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia.

Naskah Tambo Alam Sungai Pagu -- Diakses 19 februari 2018 koleksi microfilm Minangkabau.org

Overzichtskaart van de Afdeeling Koerintji der Residentie Djambi, 1907 diakses 19 Februari 2018 dari RUL

Wawancara dengan Daulat yang Dipertuan Maharadja Bungsu 08 Januari 2018

Wawancara dengan Puti Ros Dewi Balun 07 Januari 2018 19 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun