Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Tanggapan Artikel Hafiful Hadi "Menyikapi Klaim Kepemilikan Sumbar dan Jambi atas Gunung Kerinci"

19 Februari 2018   13:31 Diperbarui: 19 Februari 2018   21:15 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket : Istana Rajo Godang Jambu Lipo di Lubuk Tarok Sinjunjung ( Dok Pribadi )

Catatan Saya Atas Artikel Bapak Hafiful Hadi Sunliensyar di Portal Publik  Kompasiana berjudul "Menyikapi Klaim Kepemilikan Sumbar dan Jambi atas  Gunung Kerinci" pada 6 Februari 2018 pukul 15:48 Diperbarui : 17  Februari 2018 pukul 18:36

Saya membaca status Bapak Hafiful ini beberapa menit setelah ianya  di publikasian di halaman facebook yang bersangkutan sendiri. Tampaknya, pasca sebuah portal berita online menurunkan artikel (radiotemansejati.com) terjadi pro dan kontra di berbagai forum diskusi, tentu saja dengan  berbagai alasan masing-masing, tapi mengingat tulisan ini hendak  menanggapi tulisan dari Bapak Hafiful tersebut maka saya coba memulainya  dengan nama Gunung Kerinci tersebut.

A. Soal Nama Gunung Kerinci Dahulu Kala

Menurut  sumber - sumber Kerinci pada Soerat bertoelisan melajoe dalam Tambo  Kerinci No. 171 yang disimpan oleh Depati Mangkoe Boemi Toeo Soetan  Nanggalo di Dusun Siulak Gedang dikatakan sebagai berikut :

Cap: Ini cap Pangeran Suta Wijaya

(1)  Bahwa ini piagam daripada duli Pangeran Sukarta Negara yang digaduhkan  kepada Depa(ti).......ngk...

(2) singga kaki gunung Berapi hilir  sehingga Tebing Tinggi mudik dan sehelai daun kayu dan  seekor...... (menurut salinan: dan setitik air sebatang  laras sekepal tanah ialah Depati Mangku Bumi Tuo Suta Nenggala)

Didapati bahwa menurut naskah ini, nama Gunung Kerinci dahulunya adalah Gunung Berapi Hilir,

Senada  dengan keterangan dari naksah kerinci diatas, didapati pula penamaan  Gunung Berapi hilir dalam beberapa Naskah Minangkabau di sebut sebagai  berikut :

"Laras Koto Piliang iyalah sehingga Tanjung Padang Mudik, hinggak guguk sikaladi mudik, hingga lawik nan sedidih, hingga gunung berapi hilir."

Selanjutnya  kita tinjaupula dalam salah satu cap mohor yang terdapat di dalam  katalog Dr. Annabel The Gallop no #661 dari Manuscript SOAS MS 40320111,  f. 122

  • Sultan Abdul Jalil yang [mempunyai] tahta kerajaan [negeri]
  • Minangkabau mengaku anak kepada Sultan Abdul j.a.l.b.n
  • yang punyai tahta kerajaan negeri jambi menyerahkan rakyat
  • hingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dan Jambi mudik

Ket : Cap Nomor #661
Ket : Cap Nomor #661
Dalam koleksi yang lain dengan nomor #659 dari manuskrip RUL Cod.Or.63 I 6.b Letter from Paduka Seri Sultan Mahmud Muhammad Syah yang kerajaan dalam negeri Buantan dar al-ihsan to Kapitan Palembang, undated
  • Sultan Abdul Jalil yang mempunyai tahta kerajaan negeri
  • Minangkabau yang mengurniai Paduka Anakda Baginda
  • Gelar Sultan MahmudSyah yang di alas tahta kerajaan
  • negeri Johor menyerahkan segala anak Minangkabau hingga
  • kaki Gunung Berapi hilir [sampai] ke laut

Ket : Cap Nomor #669
Ket : Cap Nomor #669
Dari beberapa dokumen diatas, setidaknya pada surat-surat  resmi, tampaklah bahwasanya pemakaian istilah Gunung Berapi Hilir lebih  familiar digunakan, meskipun pada kenyataanya dalam Tambo Kerinci No.  161 pusaka Radja Simpan Boemi Toeo Dusun Koto, demikian juga dengan  naskah Tambo Kerinci No. 169 Pusaka Depati Moedo Doesoen Koto Tengah,  Naskah Tambo Kerinci No. 173 Pusaka Depati Radjo Simpan Goemi Toenggoen  Satio Doesoen Sioelak Gedang hanya pada penyebutan gunung Berapi saja.

"Adapun pebatasannya dengan Yang Patuan Maraja Bongsu Gunung (4) Berapi  dan pebatasannya dengan depati empat muara Sekungkung mati dan  pebatasannya (5) dengan Raja Hitam dan Raja Putih Bukit Tulang orang dan  pebatasannya dengan orang (6)" TK 161

"1) Bahwa ini piagam tanah  kepala persembahan yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria (2)  Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara dengan cap surat celak  piagamnya kepada Depati (3) Muda Pamuncak dan Depati Muncak Negara.  Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu, Gunung (4) Berapi dan pebatasannya dengan Depati Empat Muara Sekungkung Mati dan pebatasannya dengan Raja" TK 169

"Bahwa  ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum  Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati  Raja Simpan Gumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Gumi. Hilir sehingga  Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang batiga punya, serta anak jantan anak betinonya"  TK 173

B. Kerajaan Sungai Pagu

Pada  paragraf 10 tulisan itu, dikatakan pula sebagai berikut "Namun, wilayah  di sebelah Utara Gunung Berapi sudah termasuk wilayah adat lain yaitu  wilayah Kerajaan Sungai Pagu-- yang menjadi cikal bakal Kabupaten Solok  Selatan--hal ini karena gunung Berapi sekaligus dijadikan sebagai  penanda batas wilayah"

Agaknya,  bolehlah kita meminta kejelasan dari saudara penulis apa yang mendasari pendapat bahwa wilayah sebelah utara Gunung Berapi merupakan  wilayah-wilayah Kerajaan Sungai Pagu  saja?

Izinkan saya  mengemukakan hal lain, tampaknya saudara penulis khilaf dalam  mengidentifikasi  wilayah-wilayah yang berada di selatan Minangkabau  tersebut. Boleh jadi di antara negeri Sungai Pagu, Rantau XII Koto, Jambu  Lipo belum diketahui benar mana watasnya oleh penulis sehingga munculah  pernyataan  tersebut.

Menurut Salinan naskah milik keluarga Yang Patuan Maharadjo Bungsu Rantau XII Koto yang didapati dalam De talen en letterkunde van midden-sumatra  1881 halaman 160  disebutkan bahwa wilayah-wilayah paling selatan di  Alam Minangkabau hingga petadjin muara sebo, sehingga tanjung simalidu,  hingga baruk kahujanan. Wilayah-wilayah Pematang Rantau yang dibawahi  oleh Tantua Raja Sahilan sebagai Pucuk Pimpinan Tiang Panjang Nan  Batujuah Rantau XII Kota membawahi jalur lama menghilir menuju Kerinci  termasuk di dalamnya tertumbuk ke Gunung Berapi hilir adalah genggaman  Daulat Yang Dipertuan Maharaja Bungsu diam di Rantau XII Koto.

Hal  ini juga yang diamini oleh Daulat Yang Dipertuan Maharadja Bungsu  ketika kesempatan penulis bertemu di kediaman beliau Januari yang lampau  bahwa sejurai dari Gunung Kerinci tersebut adalah ulayat Rajo Yang  Patuan Maharadja Bungsu diam di Rantau XII Koto. Perkara ini juga sama  dengan tanah di Alam Kerinci yang juga tersekut (tertumbuk) ke gunung  berapi sebagai pusaka Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati  Mangku Bumi dalam TK Nomor 173 di atas.

Sekarang kita lihat pada  Naskah Tambo Alam Kerajaan Sungai Pagu yang disimpan oleh Tuanku Rajo  Bagindo Pucuk Pimpinan Kampai Nan 24 di Balun Sungai Pagu. Dinyatakan  dalam naskah karang setia ini sebagai berikut : "Maka baragiahlah rantau  pado maso itu hinggo batang palangki kasano yang dipertuan dinagarilah  nan punyo, hinggo itu kamarilah kaampat suku nan punyo.

Maka dikaranglah  satia, dibunuah karabau duo ditanam kapalonyo dagiangnyo dimakan darah  dipaserakkan nan salamo awan putiah nan salamo gagak hitam, nan  satangkai langik nan salebar bumi satitiak kalamullah barang siapo nan  marubah dimakan biso kawi".

Ket : Naskah Tambo Alam Sungai Pagu ( Dok Pribadi )
Ket : Naskah Tambo Alam Sungai Pagu ( Dok Pribadi )
 Kesimpulanya, jelaslah bahwa di dalam wilayah  solok selatan sekarang ini terdapat dua buah nagari yang menjadi satu,  pertama rantau xii koto yang berwatas langsung dengan alam kerinci kedua  surambi alam sungai pagu sesuai moto Kabupaten tersebut yakni "Sarantau  Sasurambi".

Pendapat penulis yang menghilangkan daerah XII Koto  patutlah kita pertanyakandasarnya ataukah  hanya karena penulis sendiri tidak mengerti dengan wilayah alam  Minangkabau bagian selatan tersebut. Saya secara peribadi beranggapan,  mungkin saudara penulis berpedoman kepada salah satu tembo kerinci yang  menyebut watas alam kerinci dengan patuan bergombak putih diam di lekuk  sungai pagu dst. Wallahu'alam.

Ket : Istano Daulat Yang Dipertuan Maharadja Bungsu Rantu XII Koto di Lubuk Gadang ( Dok Pribadi )
Ket : Istano Daulat Yang Dipertuan Maharadja Bungsu Rantu XII Koto di Lubuk Gadang ( Dok Pribadi )
Ket : Istana Daulat Yang Dipertuan Besar Tuanku Di Sembah Sungai Pagu ( Dok Pribadi )
Ket : Istana Daulat Yang Dipertuan Besar Tuanku Di Sembah Sungai Pagu ( Dok Pribadi )
Ket : Pusaka Tabuh Sipuluik - Puluik yang terkenal dibanyak Tambo termasuk tambo Kerinci Pusaka Daulat Yang Dipertuan Besar Tuanku Di Sembah Sungai Pagu ( Dok Pribadi )
Ket : Pusaka Tabuh Sipuluik - Puluik yang terkenal dibanyak Tambo termasuk tambo Kerinci Pusaka Daulat Yang Dipertuan Besar Tuanku Di Sembah Sungai Pagu ( Dok Pribadi )
C. Istilah Puncak Inderapura

Pada paragraph 14 dan 15 dalam catatan tersebut saudara Hafiful menyatakan sebagai berikut :

"Namun  ketika mereka melakukan sejumlah ekspedisi ke pedalaman Sumatra pada  abad ke 19 M, mereka mengetahui bahwa Gunung yang disebut sebagai Puncak  Indrapura tersebut berada di wilayah adat penguasa Kerinci sehingga  sejak saat itu mereka mengganti istilah puncak Indrapura menjadi Gunung  Kerinci (Mount Korintji) atau piek van Korintji (C. M. Kan, 1876).

Sejak  saat itu pula, nama Gunung Kerinci mulai digunakan oleh  kalangan-kalangan Barat termasuk di dalam buku maupun peta yang mereka  buat dan kemudian dijadikan sebagai sumber bahan ajar geografi di  sekolah-sekolah Hindia Belanda."

Terus terang saja, saya ingin tahu apakah keterangan diatas yag ditulis oleh Bapak hafiful hadi  ini merupakan pendapat penulis sendiri atau ianya bersumber  daripada tulisan C.M. Kan tersebut, oleh karena dilandasi rasa ingin tahu  saya akan sejarah dataran tinggi sumatera bolehlah kiranya saudara  hafiful menerangkan lebih lanjut agar rasa keingintahuan dan  keterbatasan literatur yang saya miliki dapat terobati adanya.

Jika  dikatakan bahwa ianya bersumber pula dari catatan C.M Kan tersebut  tentu saja pasca tahun 1876 deskripsi tentang "Puncak Inderapura" itu di  hapus secera resmi oleh pemerintah hindia Belanda. Fakta lain  berbicara,  jika merujuk pada peta afdeeling Koerintji tahun 1907 (maps.library.leiden.edu) sangat jelas bahwa nama Puncak Inderapura itu masih tertera adanya, setidaknya sampai tahun 1907 tersebut.

D. Pernyataan bahwa Gunung Kerinci secara keseluruhan menjadi milik kaum adat yang berdiam di wilayah Kabupaten Kerinci saat ini

Banyak  yang harus dikonfirmasi terkait dengan pernyataan saudara penulis ini.  Pendapat ini jelas sama sekali kontradiktif dengan tulisan penulis  sendiri pada paragraf 10 (meskipun ini tidak  tepat karena seharusnya  Rantau XII Koto bukan Sungai Pagu, pen). Untuk menjawab benar tidaknya  pernyataan bahwa keseluruhan gunung kerinci milik masyarakat adat  kerinci haruslah terkonfirmasi beberapa hal berikut :

Pertanyaan  pertama yang harus dijawab penulis sebagai konklusi atas  pernyataan beliau adalah di manakah tanah terakhir yang dimiliki oleh  kelebu2 atau katakanlah Depati2 di Alam Kerinci yang watasnya lansung  dengan tanah2 kaum ulayat tinggi masyarakat adat Rantau XII koto ? ( di  dalam kawasan gunung kerincikah atau sudah "tersekut" jauh ke dalam  lubuk gadang sangir ?)

Pertanyaan kedua apakah tidak ada satupun  penghulu2 adat orang negeri Rantau XII koto yang punya ulayat di lekuk2  Gunung Kerinci sekarang ini ?

Pertanyaan ketiga, apakah dalam  penyelesaian sengketa adat selama ini, katakanlah sengketa pengelolaan  hasil bumi dan hutan di Kawasan gunung kerinci hanya diselesaikan oleh  depati bertiga di tanah sekudung atau juga diselesaikan oleh yang patuan  di lubuk gadang sangir?

Pertanyaan keempat, apakah dahulu kala  pernah terjadi tukar guling penguasaan tanah ulayat di sekitar Gunung  Kerinci sebagai akibat rapat - rapat adat / buah kerapatan penghulu  besar2 / buah dari pengadilan adat semacam bangun dan pampeh ?

Jika  benarlah bahwa tanah ulayat terakhir kelebu2 di Kerinci melompat jauh  dari Gunung Kerinci kearah utara ditambah pada kenyataan adat tidak ada  lagi rakyat Rantau XII koto punya ulayat adat di lekuk2 Gunung Kerinci,  terakhir semua sengketa dalam Kawasan gunung kerinci hukum putus bicaro  habis hanya pada depati nan bertiga maka jelaskah bahwa gunung kerinci  secara keseluruhan adalah milik masyarakat adat kerinci sebagaimana  pernyataan diatas.

E. Keanehan tulisan Penulis

Pada paragraf kedua terakhir dari tulisan tersebut dinyatakan sebagai berikut :

"Pemkab  Solok Selatan juga harus arif menyikapi akan hal ini, sebagai  masyarakat Sumbar (Minangkabau) yang katanya menunjung tinggi  nilai-nilai dan aturan adat yang berlaku, tidak serta merta saja  mengelola tanpa izin komunitas adat yang menguasainya sejak ratusan  tahun lalu."

Jujur saja, saya tersinggung sekaligus tertawa  mengingat pernyataan ini keluar dari orang sekaliber saudara penulis  sendiri. Kenapa penulis membawa-bawa nama nilai-nilai dan aturan  adat dalam menyikapi pembukaan jalur pendakian gunung kerinci di solok  selatan dan usulan penggantian nama puncak gunung kerinci ?

Saya katakan dengan tegas, kasus semacam ini tak bisa digeneralisasikan begitu saja  lantas menyangkutkanya dengan nilai-nilai adat.

Saya tak mengerti  dimanakah letak kesalahan dalam pembukaan jalur Gunung Kerinci yang baru  tersebut? Seharusnya, saudara penulis mengetahui dan saudara bisa melihat contohnya pada Gunung Merbabu, ada beberapa jalur pendakian di gunung tersebut yang melewati beberapa wilayah administratif pemerintahan yang berbeda,  selama jalur tersebut resmi dan mendapat izin pemerintahan RI rasanya  tidak ada yang perlu di permasalahkan. Lagipula, apa maksudnya “mengelola tanpa izin komunitas adat”. Mengelola tanpa izin komunita adat yang mana ?

F. Usulan penggantian nama puncak gunung kerinci

Usulan  aneh ini tidak harus ditanggapi secara berlebihan, jika ada satu orang  anggota DPRD Kabupaten Solok Selatan dan anggota komunitas di "Bangun Rejo" tersebut mengusulkan  penggantian nama Puncak Kerinci.  Penulis percayalah, sangat banyak sekali  masyarakat Kabupaten Solok Selatan dan masyarakat Sumatera Barat yang menolaknya  mentah-mentah. Meskipun tujuanya menghormati kisah pendakian Presiden  Joko Widodo ke Puncak Kerinci namun hal itu tidak perlu sama sekali.

Puncak Inderapura sudah sebaiknya diperbiarkan seperti adanya sekarang  ini.G. Kesimpulan Saya berpendapat bahwa status Gunung Kerinci bukanlah sepenuhnya milik Masyarakat Adat di Kerinci saja. Mengingat fakta bahwa status Gunung tersebut adalah “Lantak Sempadan” alam maka statusnya merupakan milik bersama antara masyarakat Adat Alam Kerinci, masyarakat Adat Rantau XII Koto dan masyarakat Adat Inderapura.  Maka sebaiknya sengketa wilayah tersebut juga di kembalikan penyelesainya menurut Adat Lama Pusaka Usang oleh para Depati dan Raja yang mamacik “Peti Bunian” di Jurai-Jurai gunung tersebut. 

Sedikit dari sumber catatan ini :

  • Voorhoeve, P. 1941, Tambo  Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan  Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar,  Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji,  P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean  H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens,  goeroe A. Hamid
  • Hasselt, A. L. (1881). De talen en letterkunde van Midden-Sumatra, door A.L. van Hasselt. Leiden: E.J. Brill.
  • Gallop, A. Teh. (2002). Malay seal inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia.
  • Naskah Tambo Alam Sungai Pagu -- Diakses 19 februari 2018 koleksi microfilm Minangkabau.org
  • Overzichtskaart van de Afdeeling Koerintji der Residentie Djambi, 1907 diakses 19 Februari 2018 dari RUL
  • Wawancara dengan Daulat yang Dipertuan Maharadja Bungsu 08 Januari 2018
  • Wawancara dengan Puti Ros Dewi Balun 07 Januari 2018 19 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun