Catatan Saya Atas Artikel Bapak Hafiful Hadi Sunliensyar di Portal Publik Kompasiana berjudul "Menyikapi Klaim Kepemilikan Sumbar dan Jambi atas Gunung Kerinci" pada 6 Februari 2018 pukul 15:48 Diperbarui : 17 Februari 2018 pukul 18:36
Saya membaca status Bapak Hafiful ini beberapa menit setelah ianya di publikasian di halaman facebook yang bersangkutan sendiri. Tampaknya, pasca sebuah portal berita online menurunkan artikel (radiotemansejati.com) terjadi pro dan kontra di berbagai forum diskusi, tentu saja dengan berbagai alasan masing-masing, tapi mengingat tulisan ini hendak menanggapi tulisan dari Bapak Hafiful tersebut maka saya coba memulainya dengan nama Gunung Kerinci tersebut.
A. Soal Nama Gunung Kerinci Dahulu Kala
Menurut sumber - sumber Kerinci pada Soerat bertoelisan melajoe dalam Tambo Kerinci No. 171 yang disimpan oleh Depati Mangkoe Boemi Toeo Soetan Nanggalo di Dusun Siulak Gedang dikatakan sebagai berikut :
Cap: Ini cap Pangeran Suta Wijaya
(1) Bahwa ini piagam daripada duli Pangeran Sukarta Negara yang digaduhkan kepada Depa(ti).......ngk...
(2) singga kaki gunung Berapi hilir sehingga Tebing Tinggi mudik dan sehelai daun kayu dan seekor...... (menurut salinan: dan setitik air sebatang laras sekepal tanah ialah Depati Mangku Bumi Tuo Suta Nenggala)
Didapati bahwa menurut naskah ini, nama Gunung Kerinci dahulunya adalah Gunung Berapi Hilir,
Senada dengan keterangan dari naksah kerinci diatas, didapati pula penamaan Gunung Berapi hilir dalam beberapa Naskah Minangkabau di sebut sebagai berikut :
"Laras Koto Piliang iyalah sehingga Tanjung Padang Mudik, hinggak guguk sikaladi mudik, hingga lawik nan sedidih, hingga gunung berapi hilir."
Selanjutnya kita tinjaupula dalam salah satu cap mohor yang terdapat di dalam katalog Dr. Annabel The Gallop no #661 dari Manuscript SOAS MS 40320111, f. 122
- Sultan Abdul Jalil yang [mempunyai] tahta kerajaan [negeri]
- Minangkabau mengaku anak kepada Sultan Abdul j.a.l.b.n
- yang punyai tahta kerajaan negeri jambi menyerahkan rakyat
- hingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dan Jambi mudik
- Sultan Abdul Jalil yang mempunyai tahta kerajaan negeri
- Minangkabau yang mengurniai Paduka Anakda Baginda
- Gelar Sultan MahmudSyah yang di alas tahta kerajaan
- negeri Johor menyerahkan segala anak Minangkabau hingga
- kaki Gunung Berapi hilir [sampai] ke laut
"Adapun pebatasannya dengan Yang Patuan Maraja Bongsu Gunung (4) Berapi dan pebatasannya dengan depati empat muara Sekungkung mati dan pebatasannya (5) dengan Raja Hitam dan Raja Putih Bukit Tulang orang dan pebatasannya dengan orang (6)" TK 161
"1) Bahwa ini piagam tanah kepala persembahan yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria (2) Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara dengan cap surat celak piagamnya kepada Depati (3) Muda Pamuncak dan Depati Muncak Negara. Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu, Gunung (4) Berapi dan pebatasannya dengan Depati Empat Muara Sekungkung Mati dan pebatasannya dengan Raja" TK 169
"Bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Gumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Gumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang batiga punya, serta anak jantan anak betinonya" TK 173
B. Kerajaan Sungai Pagu
Pada paragraf 10 tulisan itu, dikatakan pula sebagai berikut "Namun, wilayah di sebelah Utara Gunung Berapi sudah termasuk wilayah adat lain yaitu wilayah Kerajaan Sungai Pagu-- yang menjadi cikal bakal Kabupaten Solok Selatan--hal ini karena gunung Berapi sekaligus dijadikan sebagai penanda batas wilayah"
Agaknya, bolehlah kita meminta kejelasan dari saudara penulis apa yang mendasari pendapat bahwa wilayah sebelah utara Gunung Berapi merupakan wilayah-wilayah Kerajaan Sungai Pagu saja?
Izinkan saya mengemukakan hal lain, tampaknya saudara penulis khilaf dalam mengidentifikasi wilayah-wilayah yang berada di selatan Minangkabau tersebut. Boleh jadi di antara negeri Sungai Pagu, Rantau XII Koto, Jambu Lipo belum diketahui benar mana watasnya oleh penulis sehingga munculah pernyataan tersebut.
Menurut Salinan naskah milik keluarga Yang Patuan Maharadjo Bungsu Rantau XII Koto yang didapati dalam De talen en letterkunde van midden-sumatra 1881 halaman 160 disebutkan bahwa wilayah-wilayah paling selatan di Alam Minangkabau hingga petadjin muara sebo, sehingga tanjung simalidu, hingga baruk kahujanan. Wilayah-wilayah Pematang Rantau yang dibawahi oleh Tantua Raja Sahilan sebagai Pucuk Pimpinan Tiang Panjang Nan Batujuah Rantau XII Kota membawahi jalur lama menghilir menuju Kerinci termasuk di dalamnya tertumbuk ke Gunung Berapi hilir adalah genggaman Daulat Yang Dipertuan Maharaja Bungsu diam di Rantau XII Koto.
Hal ini juga yang diamini oleh Daulat Yang Dipertuan Maharadja Bungsu ketika kesempatan penulis bertemu di kediaman beliau Januari yang lampau bahwa sejurai dari Gunung Kerinci tersebut adalah ulayat Rajo Yang Patuan Maharadja Bungsu diam di Rantau XII Koto. Perkara ini juga sama dengan tanah di Alam Kerinci yang juga tersekut (tertumbuk) ke gunung berapi sebagai pusaka Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi dalam TK Nomor 173 di atas.
Sekarang kita lihat pada Naskah Tambo Alam Kerajaan Sungai Pagu yang disimpan oleh Tuanku Rajo Bagindo Pucuk Pimpinan Kampai Nan 24 di Balun Sungai Pagu. Dinyatakan dalam naskah karang setia ini sebagai berikut : "Maka baragiahlah rantau pado maso itu hinggo batang palangki kasano yang dipertuan dinagarilah nan punyo, hinggo itu kamarilah kaampat suku nan punyo.
Maka dikaranglah satia, dibunuah karabau duo ditanam kapalonyo dagiangnyo dimakan darah dipaserakkan nan salamo awan putiah nan salamo gagak hitam, nan satangkai langik nan salebar bumi satitiak kalamullah barang siapo nan marubah dimakan biso kawi".
Pendapat penulis yang menghilangkan daerah XII Koto patutlah kita pertanyakandasarnya ataukah hanya karena penulis sendiri tidak mengerti dengan wilayah alam Minangkabau bagian selatan tersebut. Saya secara peribadi beranggapan, mungkin saudara penulis berpedoman kepada salah satu tembo kerinci yang menyebut watas alam kerinci dengan patuan bergombak putih diam di lekuk sungai pagu dst. Wallahu'alam.
Pada paragraph 14 dan 15 dalam catatan tersebut saudara Hafiful menyatakan sebagai berikut :
"Namun ketika mereka melakukan sejumlah ekspedisi ke pedalaman Sumatra pada abad ke 19 M, mereka mengetahui bahwa Gunung yang disebut sebagai Puncak Indrapura tersebut berada di wilayah adat penguasa Kerinci sehingga sejak saat itu mereka mengganti istilah puncak Indrapura menjadi Gunung Kerinci (Mount Korintji) atau piek van Korintji (C. M. Kan, 1876).
Sejak saat itu pula, nama Gunung Kerinci mulai digunakan oleh kalangan-kalangan Barat termasuk di dalam buku maupun peta yang mereka buat dan kemudian dijadikan sebagai sumber bahan ajar geografi di sekolah-sekolah Hindia Belanda."
Terus terang saja, saya ingin tahu apakah keterangan diatas yag ditulis oleh Bapak hafiful hadi ini merupakan pendapat penulis sendiri atau ianya bersumber daripada tulisan C.M. Kan tersebut, oleh karena dilandasi rasa ingin tahu saya akan sejarah dataran tinggi sumatera bolehlah kiranya saudara hafiful menerangkan lebih lanjut agar rasa keingintahuan dan keterbatasan literatur yang saya miliki dapat terobati adanya.
Jika dikatakan bahwa ianya bersumber pula dari catatan C.M Kan tersebut tentu saja pasca tahun 1876 deskripsi tentang "Puncak Inderapura" itu di hapus secera resmi oleh pemerintah hindia Belanda. Fakta lain berbicara, jika merujuk pada peta afdeeling Koerintji tahun 1907 (maps.library.leiden.edu) sangat jelas bahwa nama Puncak Inderapura itu masih tertera adanya, setidaknya sampai tahun 1907 tersebut.
D. Pernyataan bahwa Gunung Kerinci secara keseluruhan menjadi milik kaum adat yang berdiam di wilayah Kabupaten Kerinci saat ini
Banyak yang harus dikonfirmasi terkait dengan pernyataan saudara penulis ini. Pendapat ini jelas sama sekali kontradiktif dengan tulisan penulis sendiri pada paragraf 10 (meskipun ini tidak tepat karena seharusnya Rantau XII Koto bukan Sungai Pagu, pen). Untuk menjawab benar tidaknya pernyataan bahwa keseluruhan gunung kerinci milik masyarakat adat kerinci haruslah terkonfirmasi beberapa hal berikut :
Pertanyaan pertama yang harus dijawab penulis sebagai konklusi atas pernyataan beliau adalah di manakah tanah terakhir yang dimiliki oleh kelebu2 atau katakanlah Depati2 di Alam Kerinci yang watasnya lansung dengan tanah2 kaum ulayat tinggi masyarakat adat Rantau XII koto ? ( di dalam kawasan gunung kerincikah atau sudah "tersekut" jauh ke dalam lubuk gadang sangir ?)
Pertanyaan kedua apakah tidak ada satupun penghulu2 adat orang negeri Rantau XII koto yang punya ulayat di lekuk2 Gunung Kerinci sekarang ini ?
Pertanyaan ketiga, apakah dalam penyelesaian sengketa adat selama ini, katakanlah sengketa pengelolaan hasil bumi dan hutan di Kawasan gunung kerinci hanya diselesaikan oleh depati bertiga di tanah sekudung atau juga diselesaikan oleh yang patuan di lubuk gadang sangir?
Pertanyaan keempat, apakah dahulu kala pernah terjadi tukar guling penguasaan tanah ulayat di sekitar Gunung Kerinci sebagai akibat rapat - rapat adat / buah kerapatan penghulu besar2 / buah dari pengadilan adat semacam bangun dan pampeh ?
Jika benarlah bahwa tanah ulayat terakhir kelebu2 di Kerinci melompat jauh dari Gunung Kerinci kearah utara ditambah pada kenyataan adat tidak ada lagi rakyat Rantau XII koto punya ulayat adat di lekuk2 Gunung Kerinci, terakhir semua sengketa dalam Kawasan gunung kerinci hukum putus bicaro habis hanya pada depati nan bertiga maka jelaskah bahwa gunung kerinci secara keseluruhan adalah milik masyarakat adat kerinci sebagaimana pernyataan diatas.
E. Keanehan tulisan Penulis
Pada paragraf kedua terakhir dari tulisan tersebut dinyatakan sebagai berikut :
"Pemkab Solok Selatan juga harus arif menyikapi akan hal ini, sebagai masyarakat Sumbar (Minangkabau) yang katanya menunjung tinggi nilai-nilai dan aturan adat yang berlaku, tidak serta merta saja mengelola tanpa izin komunitas adat yang menguasainya sejak ratusan tahun lalu."
Jujur saja, saya tersinggung sekaligus tertawa mengingat pernyataan ini keluar dari orang sekaliber saudara penulis sendiri. Kenapa penulis membawa-bawa nama nilai-nilai dan aturan adat dalam menyikapi pembukaan jalur pendakian gunung kerinci di solok selatan dan usulan penggantian nama puncak gunung kerinci ?
Saya katakan dengan tegas, kasus semacam ini tak bisa digeneralisasikan begitu saja lantas menyangkutkanya dengan nilai-nilai adat.
Saya tak mengerti dimanakah letak kesalahan dalam pembukaan jalur Gunung Kerinci yang baru tersebut? Seharusnya, saudara penulis mengetahui dan saudara bisa melihat contohnya pada Gunung Merbabu, ada beberapa jalur pendakian di gunung tersebut yang melewati beberapa wilayah administratif pemerintahan yang berbeda, selama jalur tersebut resmi dan mendapat izin pemerintahan RI rasanya tidak ada yang perlu di permasalahkan. Lagipula, apa maksudnya “mengelola tanpa izin komunitas adat”. Mengelola tanpa izin komunita adat yang mana ?
F. Usulan penggantian nama puncak gunung kerinci
Usulan aneh ini tidak harus ditanggapi secara berlebihan, jika ada satu orang anggota DPRD Kabupaten Solok Selatan dan anggota komunitas di "Bangun Rejo" tersebut mengusulkan penggantian nama Puncak Kerinci. Penulis percayalah, sangat banyak sekali masyarakat Kabupaten Solok Selatan dan masyarakat Sumatera Barat yang menolaknya mentah-mentah. Meskipun tujuanya menghormati kisah pendakian Presiden Joko Widodo ke Puncak Kerinci namun hal itu tidak perlu sama sekali.
Puncak Inderapura sudah sebaiknya diperbiarkan seperti adanya sekarang ini.G. Kesimpulan Saya berpendapat bahwa status Gunung Kerinci bukanlah sepenuhnya milik Masyarakat Adat di Kerinci saja. Mengingat fakta bahwa status Gunung tersebut adalah “Lantak Sempadan” alam maka statusnya merupakan milik bersama antara masyarakat Adat Alam Kerinci, masyarakat Adat Rantau XII Koto dan masyarakat Adat Inderapura. Maka sebaiknya sengketa wilayah tersebut juga di kembalikan penyelesainya menurut Adat Lama Pusaka Usang oleh para Depati dan Raja yang mamacik “Peti Bunian” di Jurai-Jurai gunung tersebut.
Sedikit dari sumber catatan ini :
- Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens, goeroe A. Hamid
- Hasselt, A. L. (1881). De talen en letterkunde van Midden-Sumatra, door A.L. van Hasselt. Leiden: E.J. Brill.
- Gallop, A. Teh. (2002). Malay seal inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia.
- Naskah Tambo Alam Sungai Pagu -- Diakses 19 februari 2018 koleksi microfilm Minangkabau.org
- Overzichtskaart van de Afdeeling Koerintji der Residentie Djambi, 1907 diakses 19 Februari 2018 dari RUL
- Wawancara dengan Daulat yang Dipertuan Maharadja Bungsu 08 Januari 2018
- Wawancara dengan Puti Ros Dewi Balun 07 Januari 2018 19 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H