Pencitraan politik di era modern telah menjadi elemen penting dalam strategi politik, terutama dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pencitraan politik merujuk pada upaya para politisi dan partai politik untuk membentuk citra positif di mata masyarakat, yang sangat dipengaruhi oleh cara mereka menyampaikan pesan melalui berbagai platform media, khususnya media sosial. Teori agenda-setting dalam komunikasi politik relevan dalam konteks ini, karena menunjukkan bagaimana media mempengaruhi apa yang dianggap penting oleh publik. Melalui media sosial seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, politisi memiliki kemampuan untuk mengendalikan narasi dan membangun persepsi publik. Sebagai salah satu calon presiden dalam Pemilu 2024, Anies Baswedan memanfaatkan media sosial secara strategis untuk membangun citra yang positif dan dekat dengan masyarakat.
Di era media sosial, pencitraan politik tidak hanya berbasis pada komunikasi verbal, tetapi juga pada visual yang menarik. Politisi menggunakan gambar, video, dan siaran langsung untuk menciptakan momen yang dapat mengundang simpati dan dukungan publik. Anies Baswedan, misalnya, sering memanfaatkan siaran langsung di platform seperti YouTube dan TikTok untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, terutama generasi muda. Strategi ini tidak hanya membantu menyampaikan visi dan misinya tetapi juga menunjukkan sisi humanisnya sebagai pemimpin. Pendekatan ini selaras dengan teori komunikasi interpersonal, yang menekankan pentingnya hubungan langsung antara komunikator dan audiens untuk membangun kepercayaan dan koneksi emosional.
Peran sosial media dalam membangun citra politik di era digital saat ini sangat signifikan, terutama dalam konteks pemilihan umum. Dalam penelitian ini, fokus akan diberikan pada bagaimana politisi, termasuk Anies Baswedan, memanfaatkan platform sosial media seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk membentuk dan memelihara citra mereka di mata publik. Teori komunikasi politik yang relevan dalam konteks ini adalah teori agenda-setting dan framing. Teori agendasetting menjelaskan bagaimana media dapat mempengaruhi isu-isu yang dianggap penting oleh publik, sedangkan framing berfokus pada cara penyajian informasi yang dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi masyarakat terhadap suatu isu atau tokoh. Melalui sosial media, politisi dapat secara langsung mengendalikan narasi dan pesan yang ingin disampaikan kepada publik, tanpa melalui filter media tradisional.
Anies Baswedan, sebagai salah satu kandidat dalam Pilpres 2024, telah aktif menggunakan live streaming di platform seperti YouTube dan TikTok untuk berinteraksi dengan pemilihnya. Dengan cara ini, ia tidak hanya menyampaikan visi dan misinya tetapi juga menciptakan momen personal yang memungkinkan pemilih merasa lebih dekat dengan dirinya. Live streaming memberikan kesempatan bagi Anies untuk menjawab pertanyaan secara langsung, menunjukkan kepribadian yang lebih humanis, dan merespons isu-isu terkini dengan cepat. Ini adalah strategi pencitraan yang efektif karena dapat menciptakan kesan keterbukaan dan transparansi, yang sangat dibutuhkan oleh calon pemimpin di mata publik.
Penggunaan Instagram juga tidak kalah penting; platform ini memungkinkan Anies untuk berbagi konten visual yang menarik, seperti foto-foto kegiatan kampanye, momen bersama masyarakat, serta infografis mengenai program-programnya. Konten visual memiliki daya tarik yang lebih besar dibandingkan teks biasa dan dapat meningkatkan engagement dengan audiens. Selain itu, Twitter menjadi sarana bagi Anies untuk berkomunikasi secara cepat dan langsung dengan pengikutnya, serta merespons kritik atau isu yang beredar di masyarakat. Dengan memanfaatkan ketiga platform ini secara sinergis, Anies berhasil membangun citra positif sebagai sosok yang peduli dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam studi komunikasi politik, teknik pencitraan menjadi elemen strategis dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap tokoh politik seperti Anies Baswedan. Nimmo (1999) mendefinisikan pencitraan sebagai proses mengelola simbol, pesan, dan narasi untuk menciptakan persepsi publik yang ideal tentang seorang tokoh atau organisasi. Di era digital, media sosial menjadi sarana utama yang dimanfaatkan Anies Baswedan untuk membangun citra positif dan menarik simpati, khususnya dari kalangan muda. Teori agenda-setting yang dikembangkan oleh McCombs dan Shaw (1972) relevan untuk menjelaskan bagaimana media memiliki peran penting dalam menentukan isu atau topik yang dianggap penting oleh masyarakat. Melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, Anies berhasil mengarahkan perhatian publik ke momen-momen yang menonjolkan dirinya sebagai pemimpin yang humanis dan dekat dengan rakyat.
Teknik visual yang menarik, seperti penggunaan video, foto, dan siaran langsung, juga relevan dengan teori framing dari Entman (1993), yang menyatakan bahwa cara penyampaian informasi dapat memengaruhi cara audiens memahaminya. Contohnya, Anies kerap menampilkan dirinya dalam kegiatan yang mencerminkan empati dan kepedulian terhadap masyarakat, seperti berinteraksi langsung dengan warga. Pendekatan ini memperkuat hubungan emosional, sesuai dengan teori komunikasi interpersonal yang dijelaskan oleh Devito (2001), yang menekankan pentingnya koneksi langsung untuk membangun kepercayaan.
Pencitraan politik tidak terlepas dari tantangan, seperti hoaks dan disinformasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik secara negatif. Dalam kondisi ini, strategi komunikasi krisis menjadi krusial untuk menghadapi isu-isu yang merugikan. Benoit (1995), dalam teori image restoration, menjelaskan pentingnya respons cepat dan tepat untuk memulihkan citra yang terganggu. Sebagai contoh, Anies perlu menghadapi kritik di media sosial mengenai permintaan klarifikasi pada permasalahan yang dulu pernah terjadi seperti dugaan tindak pidana korupsi, ataupun pemecatannya pada saat menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaaan. Dalam perjalanannya pada masa kampanye Anies Baswedan memberikan klarifikasi yang efektif dan menciptakan narasi alternatif yang relevan dengan menjawab segala pertanyaannya pada kegiatan live TikTok dan Instagram.
Efek dari teknik pencitraan ini terlihat pada bagaimana persepsi publik terhadap Anies kerap dibentuk oleh visualisasi dan narasi yang ia sampaikan melalui media sosial. Penelitian dalam komunikasi politik menunjukkan bahwa citra positif mampu meningkatkan kepercayaan publik, yang pada akhirnya memengaruhi keputusan politik, termasuk dalam pemilu. Dengan mengacu pada teori-teori komunikasi politik tersebut, dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah alat yang sangat efektif untuk membangun pencitraan, meskipun memerlukan pengelolaan yang cermat untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.
Reaksi publik terhadap momen-momen kunci dalam kampanye pencitraan Anies Baswedan, khususnya melalui live streaming di TikTok, menunjukkan dinamika yang menarik. TikTok, sebagai platform dengan pengguna mayoritas dari kalangan muda, memberikan ruang bagi Anies untuk berkomunikasi secara langsung dengan audiens yang mungkin selama ini sulit dijangkau melalui media konvensional. Ketika Anies melakukan live streaming, respons publik cenderung beragam, tergantung pada persepsi awal mereka terhadapnya. Pendukung Anies sering kali memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyampaikan dukungan, bertanya langsung tentang program-programnya, atau sekadar mengapresiasi gaya komunikasinya yang dinilai santai dan relatable.
Di sisi lain, live streaming ini juga kerap menjadi ajang bagi pihak yang skeptis atau tidak mendukung untuk menyampaikan kritik secara langsung. Hal ini menciptakan dinamika interaksi yang unik, di mana Anies dituntut untuk merespons dengan cepat dan tepat. Bagi sebagian orang, kehadirannya yang konsisten dan keterbukaannya dalam menerima berbagai macam pertanyaan menjadi nilai tambah yang memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin yang inklusif. Namun, bagi sebagian lainnya, upaya ini justru dianggap sebagai langkah pencitraan belaka tanpa substansi yang cukup kuat.