Hubungan yang rumit antara Amerika Serikat dan Irak dimulai dengan Perjanjian Anglo-Amerika-Irak pada 9 Januari 1930. Melalui konvensi tersebut, Amerika Serikat mengakui Kerajaan Irak sebagai negara independen dari pemerintahan Inggris Raya. Setelah menunjuk Alexander Kilgore Sloan sebagai perwakilan (charge d'affaires) Amerika Serikat di Baghdad pada 30 Maret 1931, Amerika Serikat resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Irak. Pada masa itu, keduanya memiliki hubungan yang cukup baik, tetapi tidak ada banyak momentum. Namun, keadaan berubah sejak 1958, tepatnya setelah Revolusi Irak, yang menggulingkan monarki, menciptakan negara republik, dan muncu nya Partai Komunis Irak. Hubungan AS-Irak telah mengalami pergeseran sejak saat itu hingga AS membentuk komite khusus untuk mengawasi setiap langkah Irak (Gibson, 2015). Selain itu, Amerika Serikat tengah berperang dengan Uni Soviet dalam menyebarkan ideologi masing-masing. Amerika Serikat khawatir akan munculnya komunisme di Timur Tengah karena ada anggota Partai Komunis Irak di kabinet pemerintahannya. Hubungan antara Amerika Serikat dan Irak kemudian menjadi lebih buruk karena pecahnya Perang Teluk, embargo ekonomi, dan bang itnya rezim Saddam Hussein.
Pada 19 Maret 2003, Amerika Serikat memutuskan untuk menginvasi Irak, meningkatkan ketegangan antara kedua negara. Pada awalnya, serangan itu tidak dianggap sebagai invasi, tetapi sebagai upaya untuk melepaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Hussein, yang saat itu menguasai Irak. Amerika Serikat menuduh Saddam Hussein menyembunyikan senjata pemusnah massal yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Selain itu, retorika Presiden Bush menunjukkan kecurigaannya akan dukungan Saddam Hussein terhadap terorisme, terutama Al-Qaeda, kelompok yang bertanggung jawab atas serangan menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001, meskipun dia tidak pernah menyatakannya secara eksplisit. Walaupun itu adalah tujuan invasi Amerika Serikat terhadap Irak secara resmi, ada banyak perdebatan tentang hal tersebut.
Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menguraikan justifikasi tujuan dan motif lain dari invasi Amerika Serikat terhadap Irak pada 2003 dari perspektif realisme dengan meninjau apa yang menjadi pemicu invasi, bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa itu, dan mengapa Irak dianggap dapat membahayakan Amerika Serikat.
PERANG IRAK 2003
Realisme dalam Kebijakan Luar Negeri Bush
Teori hubungan internasional yang dikenal sebagai realisme menekankan bahwa kepentingan nasional sebuah negara adalah faktor utama yang membentuk kebijakannya di luar negeri. Menurut kaum realis, negara-negara selalu bersaing untuk kekuasaan. Amerika Serikat menjadi lebih agresif dalam kebijakan luar negerinya setelah peristiwa 11 September. Di bawah pemerintahan George W. Bush, nilai-nilai dan kepentingan nasional diprioritaskan. Kebijakan Strategi Keamanan Nasional 2002 (National Security Strategy 2002) menunjukkan perubahan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Fokus kebijakan adalah hegemoni militer, pembebasan, dan unilateralisme (Leffler, 2005).
Upaya Amerika Serikat untuk menyebarkan kebebasan dan demokrasi ke negara lain dikenal sebagai pembebasan. NSS 2002 menyatakan bahwa penyebaran demokrasi dapat meningkatkan stabilitas global dan mengurangi terorisme. Perhatian publik tertarik pada kebijakan ini, yang mendorong revolusi demokrasi di Timur Tengah dan di negara lain. NSS 2002 juga mendukung kebijakan luar negeri yang lebih unilateral, yaitu kebijakan yang dibuat suatu negara tanpa berkonsultasi dengan negara lain, dengan Amerika Serikat mengambil tindakan untuk melindungi kepentingan negaranya terlepas dari reaksi negara lain terhadap keputusan tersebut. NSS 2002 menganjurkan pertahanan yang lebih kuat dan penggunaan kekuatan militer jika diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional AS, dan Amerika dapat melakukan apa pun untuk mempertahankan dominasi militernya atas negara lain. Perang Irak tahun 2003 merupakan contoh implementasi kebijakan yang tercantum dalam NSS 2002.
Tujuan Resmi dan Motif Lain Amerika Serikat
Amerika Serikat mengatakan Saddam Hussein menyembunyikan senjata pemusnah massal yang dapat mengancam Amerika Serikat dan dunia secara keseluruhan. Klaim ini didasarkan pada data intelijen yang menunjukkan bahwa Irak memiliki program senjata nuklir, kimia, dan biologi. Presiden Bush berhasil meyakinkan Kongres untuk menyetujui penyerangan terhadap Irak, memastikan bahwa perang terus berlanjut meskipun buktinya tidak jelas. Keberadaan senjata ini kemudian dibantah oleh Charles Duelfer, kepala Kelompok Survei Irak (Iraq Survey Group), usai perang itu selesai.
Selain itu, Amerika Serikat ingin menghentikan dukungan Saddam Hussein terhadap kelompok teroris, terutama Al-Qaeda. Â Merujuk pada Britannica, setelah penyerangan pada menara kembar World Trade Center (WTC), yang menewaskan lebih dari 2.977 orang, tidak termasuk Al-Qaeda sendiri, Al-Qaeda menjadi salah satu musuh AS. Bush tidak pernah menyatakannya secara eksplisit. Namun, sepertiga orang Amerika yang mendengar pidatonya mendukung invasi tersebut karena mereka percaya pada retorikanya yang sering mengaitkan Irak dengan Al-Qaeda dan terorisme. Selain itu, Amerika Serikat berhasil meyakinkan beberapa orang Irak untuk ikut menggulingkan Saddam Hussein, terutama kelompok Muslim Shia yang mengalami opresi selama masa pemerintahannya.
Ketika kabinet Bush secara resmi mengumumkan tujuan itu, banyak ahli berpendapat bahwa itu bukanlah tujuan utama. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara besar di dunia setelah Uni Soviet runtuh. Namun, Peristiwa 11 September menunjukkan bahwa Amerika Serikat dapat runtuh oleh kekuatan tidak terduga kapan saja. Amerika Serikat menggunakan kekuatan militernya secara maksimal guna memerangi kekuatan liar di luar sana untuk mempertahankan posisi hegemoninya dan menghindari penurunan kekuasaan. Karena tujuan utama sebuah negara adalah hegemon, sesuatu yang sangat didukung oleh kaum realis.
Selanjutnya, menurut para realis, motivasi kedua adalah mempertahankan Israel sebagai sekutu utama Amerika Serikat di Timur Tengah. Jika AS dan Irak berada di sisi yang berbeda, Irak memiliki posisi strategis yang dapat mengganggu kepentingan AS di Timur Tengah. Apabila AS berhasil mendirikan pangkalan militer di Irak, mereka dapat melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah sebagai pengganti pangkalan militer di Arab Saudi, yang dianggap tidak aman pasca Perang Teluk 1999 (Lieberfeld, 2005).
Selain memiliki nilai militer yang signifikan bagi Amerika Serikat, Irak adalah salah satu negara di Timur Tengah yang memiliki banyak minyak. Jumlah minyaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan Amerika Serikat. Dengan dominasi militer AS yang sukses, Irak dapat menjadi salah satu pemasok minyak AS. Ini akan memungkinkan Amerika Serikat untuk menghindari krisis energi.
Motif lain dari perspektif realis adalah ketidakpuasan Amerika Serikat dengan inspeksi PBB dalam nonproliferasi nuklir. Informasi mengenai Irak memiliki program senjata nuklir, kimia, dan biologi dari intelijennya, yang kemudian dinyatakan palsu, mengukuhkan niat Amerika Serikat untuk mengambil tindakan yang lebih dalam melucuti persenjataan yang dapat mengganggu stabilitas keamananan AS dan perdamaian dunia.
Kaum realis menjustifikasi alasan-alasan tersebut karena realisme berargumen bahwa kepentingan nasional di atas segalanya. Untuk menjaga keamanan dan kemakmuran mereka sendiri, negara berhak mengejar kekuatan yang paling tinggi. Dalam situasi ini, invasi ini dianggap sebagai upaya Amerika untuk menjadi lebih kuat dan melindungi kepentingan negara. Karena Irak berbatasan langsung dengan Israel, sekutu utama AS di Timur Tengah, beberapa kelompok percaya bahwa Irak dapat mengancam kepentingan AS jika keduanya tidak berada di sisi yang sama. Sangat penting bagi Amerika Serikat untuk memastikan bahwa posisi Israel di sana tidak terancam dan untuk menghindari kehadiran kekuatan lain yang menentang AS di kawasan itu.
Kesimpulan
Perang Irak tahun 2003 dianggap sebagai salah satu perang terpanjang yang menghabiskan banyak uang bagi Amerika Serikat. Banyak orang berpendapat bahwa keputusan Bush untuk menginvasi Irak adalah kesalahan fatal yang mengakibatkan konflik berkepanjangan di era modern. Akan tetapi, dari sudut pandang realis, keputusan Bush dapat dibenarkan.
Jika rezim Saddam Hussein bertahan, yang dianggap mendukung kelompok teroris, Irak dapat menjadi ancaman bagi Amerika Serikat. Amerika Serikat memulai penyerangan pada Irak dengan menggunakan informasi yang dikumpulkan dari intelijennya, terlepas dari kebenarannya. Realis melihat tindakan Amerika sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan nasional AS di Timur Tengah. Dalam realisme, kekuasaan dan hegemoni sangat ditekankan. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat menjadi lebih agresif dari era sebelum Peristiwa 9/11 di bawah kepemimpinan Presiden Bush. Tujuan resmi invasi Amerika Serikat terhadap Irak adalah untuk membebaskan rakyat Irak dari diktator semata-mata untuk menutupi tujuan yang lebih penting bagi Amerika Serikat sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI