Mohon tunggu...
ghina mutia
ghina mutia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa dengan keinginan menulis isu-isu sosial di sekitarnya, mencoba berani untuk bisa mempublikasi hasil tulisan diri sendiri dan bersama teman-teman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fakta Menarik tentang Ecoconsciousness dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga ABK di Pedesaan

21 Mei 2023   20:27 Diperbarui: 21 Mei 2023   20:38 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan wawancara, mayoritas dari kelima keluarga responden memiliki tingkat kesejahteraan objektif yang memenuhi kelayakan secara pendapatan (memiliki tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan BPS sebesar Rp535.547,00/kapita/ bulan). Namun, berdasarkan Instrumen sosial ditemukan satu dari lima keluarga ABK tidak memenuhi wajib belajar 12 tahun. Hal ini mengakibatkan keluarga ABK tidak mendapatkan akses untuk meningkatkan taraf hidup merek ke jenjang yang lebih tinggi. 

Walaupun mayoritas keluarga ABK berada di atas garis kemiskinan BPS, mereka masih sering terkendala secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup dan pelayanan terhadap anggota keluarga disabilitas. Hal ini terlihat dari instrumen afeksi yang menunjukkan tingkat kepuasan keluarga belum maksimal, mereka merasa belum bisa memberikan pelayanan yang baik bagi ABK (Baik secara kesehatan, pendidikan, penyediaan layanan, dan lainnya).

Kebutuhan Pendidikan pada Anak Berkebutuhan Khusus

Dalam merawat ABK diperlukan lingkungan suportif yang mendukung anak tersebut agar tetap tumbuh dan memiliki hak yang setara dengan anak lainnya. Lingkungan juga berperan dalam proses pengenalan kebutuhan-kebutuhan khusus yang diperlukan oleh ABK, salah satunya yaitu lingkungan sekolah. Selain orang tua sebagai rumah pertama, pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru juga dapat menjadikan ABK berperan dalam menjaga sumber daya lingkungannya.

Pendidikan sekolah untuk ABK sayangnya masih sulit terjangkau di Indonesia. Tidak banyak akses sekolah negeri maupun sekolah khusus untuk ABK. Jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia masih sedikit. Jika ada, membutuhkan biaya yang tinggi membuat keluarga kelas menengah bawah yang memiliki ABK tidak dapat menyekolahkan anaknya. Oleh karena itu, masih diperlukan pengembangan pendidikan untuk ABK agar dapat tumbuh dan memiliki hak yang sama dengan anak lainnya.

Dalam penelitian Miftakhuddin (2018) ditemukan kasus mengenai anak berkebutuhan khusus yang tidak melanjutkan pendidikannya karena adanya faktor ekonomi. Dalam wawancaranya, dua anak berinisial S dan T bertempat tinggal di Kabupaten Jember. Responden S mengatakan ia telah berhenti sekolah sejak kelas V SD, sedangkan T telah berhenti sekolah sejak kelas III SD. 

Alasan kedua responden tidak melanjutkan sekolahnya karena ejekan yang sering dilakukan oleh teman-temannya yang tidak dapat memahami keterbelakangan dan perbedaan yang dimiliki oleh S dan T, mengingat S dan T merupakan seorang tunagrahita yang memiliki keterbatasan dalam membaca, menulis, berhitung, dan mempunyai gangguan emosional yang serius. Akibat dari perundungan ini, S dan T ingin dipindahkan ke sekolah luar biasa (SLB) dan homeschooling. Namun, karena ekonomi keluarga tidak dapat mencukupi kebutuhan sekolahnya, maka mereka memilih untuk memutuskan pendidikannya.

Dari kasus tersebut kesejahteraan anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih ada yang belum terpenuhi, khususnya bidang pendidikan. Berdasarkan pemaparan dalam website UNICEF Indonesia yang bertumpu pada data SUSENAS 2018, sebanyak 28% anak disabilitas tidak pernah bersekolah, kemudian 1 dari 10 anak terdapat anak yang tidak tamat SD, SMP, dan/atau SMA, bahkan terdapat anak yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di jenjang SD, SMP, maupun SMA. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor, tetapi perlu diperhatikan juga terkait sekolah dengan pendidikan khusus berjumlah 2.212. Jumlah ini masih sangat sedikit untuk jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Belum lagi persebaran sekolah dengan pendidikan khusus masih belum merata, karena sekolah inklusi kini lebih banyak tersebar di Pulau Jawa (Husna et al. 2019).

Dalam wawancara keseluruhan dengan kelima keluarga responden ABK menunjukan bahwa mayoritas belum mengetahui tentang etika lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga ABK yang ada di desa masih terkendala dengan faktor akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan akses lainnya yang masih belum maksimal. Dilihat dari dimensi ekonomi, sosial emosional dan lingkungan keluarga ABK memiliki kesejahteraan yang berbeda, terdapat keluarga ABK yang tidak memenuhi wajib belajar, yang berdampat dalam peningkatan tarad hidup mereka. Di Indonesia sendiri akses untuk pendidikan ABK masih terbilang sedikit dan memerukan biaya yang cukup tinggi, hal ini selaras dengan faktor ekonomi yang di alami oleh beberapa keluarga responden ABK yang kesulitan akan hal tersebut.

Penulis: Vidi Vebriani (I2401211074), Ghina Mutiahanum (I2401211075), Salsabila Dianti (I2401211076), Putri Larasati (I2401211077), dan Mila Meilasari     (I2401211078)

Dosen Pengampu Mata Kuliah Manajemen Sumberdaya Keluarga Departemen Ilmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun