Penerapan seni memahami (hermeneutika) Jurgen Habermas dalam beragama (yang rasional)Habermas adalah seorang filsuf kelas dunia yang memusatkan perhatiannya pada problem komunikasi intersubyektif. Adapun yang membuatnya terfokus akan hal tersebut adalah pengalaman masa kecilnya dan pengalaman masa dewasanya.Â
Dimana ia pada masa kecilnya selalu mendapatkan ejekan dan pengalaman traumatisnya yaitu operasi bibir sumbingnya, Adapun mengenai pengalam yang kedua atau pada saat dewasa adalah ketika ia hidup saat zaman perang dunia dua yang mana jerman berada dibawah kendali rezim nazi. Berbicara perihal nazi HabermasÂ
sendiri sebelumnya ikut dalam barisan nazi sebab lingkungannya pada waktu itu adalah pendukung nazi. Tetapi, sikapnya berubah drastis setelah ia menonton suatu film dokumenter tentang pengadilan Nuremberg dan kamp-kamp konsentrasi. Alhasil ia tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan oleh nazi.
Habermas mengkonsepsikan hermeneutikanya dengan berangkat dari kritikan terhadap Gadamer. Dalam hermeneutika Gadamer terdapat beberapa prinsip hermeneutika, pertama, memahami tidak bisa lepas dari yang Namanya prasangka dan bahkan dimungkinkan oleh prasangka, maka prasangka tidak selalu buruk olehÂ
karena itu kita harus membedakan yang Namanya prasangka legitim dan tidak legitim. Kedua, rehabilitasi konsep prasangka itu mengimplikasikan bahwa dalam memahami juga bergerak didalam tradisi dan otoritas tertentu, sebab manusia adalah mahluk sejarah yangÂ
tidak bisa dilepaskan dari horizon sejarahnya atau tradisi dan otortitas tertentu. ketiga, memahami adalah kesetujuan, kesepahaman dengan tradisi tertentu, sebab kita tidak mungkin melampaui horizon kita.Â
Dalam artian adalah konvergensi antara hermeneutik dan tradisi. Dari situlah Habermas berangkat mengkonsepsikan hermeneutikanya, yaitu hermeneutika kritis. Menurut Habermas hermeneutika itu tidak bisa didasarkan atas tradisi dan otoritas, sebab tidak menutupÂ
kemungkinan bahwasanya tradisi itu dikendalikan oleh suatau otoritas tertetntu, sehingga yang seharusnya benar bisa dikatakan salah dan sebaliknya. Habermas berpendapat bahwa dengan hermeneutika itu Gadamer telah menelan rasionalitas ke dalam tradisi dan otoritas.Â
Oleh karena itu dengan berhemenutika seharusnya kita bukan malah mengikuti tradisi dan otoritas, tetapi kitab isa lepas dari itu semua dan mencoba mengevalusinya. Hermeneutika adalah reflesi-kritis bukan tradisi, sebab jika kita tidak lepas dari pemahaman tradisi maka sesungguhnya tradisi atau sejarah tersebut bisa saja dikendalikan oleh penguasa.
Adapun ranah hermenutika kritis adalah suatu bentuk teks yang abnormal, teks abnormal adalah doktrinisasi dan psikopatologis, kedua hal tersebut adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Jika yang pertama maka orang yang terdampak doktrin tidak pahamÂ
bahwa mereka terjebak pada kesadaran palsu dan yang bisa mengetahui adalah orang lain yang tidak terdampak doktrin tersebut bahwa kesadaran mereka telah salah. Fokus tulisan ini terhadap masalah yang pertama. Contoh dari indoktrinasi adalah fenomenaÂ
keagamaan (islam) yang terjadi di Indonesia, yaitu kebanyakan dari orang-orang beragama secara dogma bukan kesadaran refleksi-kritis mereka. Mereka menerima apa saja yang dikatakan oleh seorang ulama’, ustadz dan sebutan lainnya, tanpa berani mengevaluasi dan mengkritisi pendapat yang disampaikan. Pada realitanya masih banyak sejarah atau tradisi keagamaan yang sampai pada kita sebagai seorang yang beragama, harus di evaluasi Kembali. Â
Untuk apa kita beragama tetapi kita hanya mendengarkan saja tanpa mau membaca atau menganalisa apakah sumber tersebut valid atau tidak. Justru fenomena seperti itulah yang membuat agama (islam) menjadi terbelakang,Â
Sebab kita tidak berani bermain di pinggir jurang tetapi hal itulah (bermain di pinggir jurang) yang justru menjadikan kita berusaha agar tidak terjatuh ke jurang tersebut, disisi lain banyak dari orang yang beragama (islam) tetapi mereka tidak mau bermain di pinggir jurang danÂ
akhirnya mereka hanya sebatas beragama (islam) dengan dogma. kita sebagai umat islam (beragama) di tuntut untuk menjadi muslim yang rasionalis, tetapi dogma yang dilontarkan terhadap kita justru diterima begitu saja. Inilah yang harus dilakukan oleh islam yaitu pembaruanÂ
pemikiran keagaman (islam). dengan melepaskan islam yang selama ini terwadahkan dalam khurafat, jumud, fanatisme buta, kesewenang-wenangan intelektual dan spiritual, supaya mengembalikan islam pada ajaran yang kaffah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H