Atau apapun motifnya, juga tergantung niatnya. Dilihat dari fungsi, peci adalah benda yang menutupi kepala. Menutupi kekurangan rambut. Menutupi masuknya sinar matahari. Atau sekedar ingin terlihat agamis, dan lain-lain.
Secara filosofi, setiap orang boleh saja memakai peci, tak ada larangan. Bebas. Selama ditujukan untuk niat yang positif, meskipun juga mungkin untuk tujuan negatif.
Namun, peci pada hakikatnya menutupi isi kepala, yaitu pikiran. Pikiran yang dalam kontek kekinian, jangan asal menghasilkan pemikiran tanpa pertimbangan yang matang.
Menyaring berita hoax, perlu menggunakan isi kepala yang semestinya. Pikiran yang ditutupi rasa iman dan iman akan memancarkan buah pikiran yang bernilai iman.
Bentuknya, tulisan yang lahir dari orang beriman bernada positif. Banyak mengandung hikmah. Berisi tulisan segar dan menyegarkan masyarakat. Tidak bernafsu menyalahkan atau menghujat. Apalagi tulisannya dishare sebagai bentuk propaganda untuk berbuat keonaran.
Jika yang keluar dari buah pikirannya selalu bernada menghujat, menyalahkan orang lain tanpa ilmu pengetahuan yang jelas, doyan membid'ahkan kelompok tertentu, mencari-cari kesalahan orang lain, memproduksi berita hoax, dan lain-lain.
Maka, semestinya ia harus memakai "peci". Peci yang bisa ngerem atas buah pikiran yang "negatif". Namun, lain hal dengan status-statusnya dalam media sosial. Apapun motifnya. Apapun alasannya. Dan apapun latar belakang terdalamnya, nitizen membutuhkan pengakuan dari sesama nitizen.
Pengakuan dalam arti status yang ia tulis adalah bentuk dialog imaginatif atau justru ingin dialog interaktif dengan sesama nitizen lewat tulisan, gambar, video atau berbagi informasi penting baik yang berupa umum, keagamaan, atau bisnis online yang kini sedang menjamur, seperti jamur yang tumbuh di musim hujan.
*Ditulis sambil menunggu kabar menjemput nyoya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H