Paradigma Kegagalan
Kegagalan yang menghampiri dalam kehidupan kita, patut menjadi bahan evaluasi untuk direnungkan. Segala yang sukses, membuat hati merasa gembira dan bahagia. Segala yang gagal, membuat rasa kecewa memenuhi jiwa raga.
Kegagalan yang datang kepada kita, bukanlah sama sekali Allah sedang tidak berpihak kepada kita. Sebaliknya, Allah sedang menyimpan energi besar untuk diri kita yang sedang dirundung kecewa berupa kegagalan menjalankan ibadah haji tahun ini.
Kegagalan itu meskipun menyakitkan, tetapi sesungguhnya adalah laksana madu yang disimpan di dalam peti dengan gembok besi sebagai pelindungnya. Madu itu, suatu waktu akan kita manfaatkan untuk kesehatan imunitas tubuh.
Ketika imuntitas tubuh naik, maka tubuh akan kuat menghadapi berbagai bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Tubuh kuat, energi dengan sendirinya menjadi modal besar untuk menghadapi berbagai kesulitan dan kegagalan dalam hidup ini.
Dalam kehidupan sosial, energi itu beragam bentuk. Keyakinan tubuh menjelma menjadi kuat dalam menghadapi berbagai ujian dapat diyakini bahwa riwayat kegagalan menjadi suntikan vitamin untuk menghadapi beragam kehidupan.
Vitamin inilah yang nantinya akan bekerja untuk mendorong dengan penuh semangat tanpa harus cengeng menghadapi kehidupan. Cengeng sementara waktu dalam jangka pendek sebagai pemantik kekuatan, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi jika cengeng itu berlanjut secara terus menrus, tentu harus disikapi dengan serius dan perlu dipikirkan segera diakhiri.
Di lain pihak, sikap cengeng itu perlu diolah menjadi bahan baku yang mensupport motivasi besar untuk menguatkan diri. Sementara itu, tubuh dan jiwa harus menyiapkan kerangka pemikiran yang besar untuk menerima segala kemungkinan yang terjadi.
Dalam konteks itu, salahsatu yang dapat disiapkan adalah jiwa yang lapang, bukan jiwa yang sempit. Jiwa yang lapang itu diibaratkan sebuah danau air tawar yang dalam, jika ditumpahkan garam puluhan ton banyaknya, tidak akan terasa asin.
Sebaliknya, jiwa yang sempit, seperti menabur garam ke dalam teko berukuran kecil. Dengan sendirinya, air tersebut akan terasa asin. Perumpamaan danau yang dalam itu adalah sikap lapang dada dan hati yang luas dalam menyikapi persoalan kehidupan.Â
Sementara, teko kecil tersebut diibaratkan hati yang sempit dalam menerima persoalan kehidupan. Itulah sikap sejati seorang mukmin yang beriman.