Seseorang pernah berkata :
"tidak ada sajak yang buruk bagi seorang penyair sejati"
Ritme dalam sajak hanya dapat ditafsirkan secara penuh oleh sang komposer dam kita merasa hanyut dalam kumpulan diksi-diksi itu, sama halnya ketika sang komposer terbawa perasaan ketika menghayati sebuah musik yang ia ciptakan sendiri.
Namun menurut saya unsur subjektivitas merupakan suatu "kecacatan" yang tak bisa kita hindari dalam menulis sajak.Â
Ketika orang lain membaca 'aransemen' diksi kita maka tafsiran kata-kata atau tersebut terkadang menimbulkan multitafsir atau bahkan tak bisa dimengerti sama sekali.Â
Disinilah kehebatan sastra itu muncul,meskipun diksi-nya kadang tak bisa dipahami namun isinya tak pernah mengkhianati intuisiÂ
Barangkali kita sering melihat orang merasa sedih, marah, ataupun terkesan setelah membaca karya orang lain meskipun tafsir yang dihasilkan di pikiran mereka berbeda-beda.Â
Berbeda dengan musik, ia tidak menjadikan kecacatan itu sebagai 'ke-tidaksempurnaan" melainkan sesuatu yang menjadikannya "sempurna".Â
Maka seorang sastrawan harus mampu menerima dan mencintai kecacatan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H