Guru sering kali digambarkan sebagai manusia super yang mampu menghadapi segala tantangan. Gaji rendah? Tidak apa-apa, guru bisa "berhemat." Beban kerja tinggi? Guru adalah orang-orang yang sabar. Tidak ada asuransi kesehatan? Guru pasti dilindungi oleh doa siswa.
Namun, di balik semua itu, ada kelelahan yang sering kali tersembunyi di balik senyum mereka. Guru adalah manusia tangguh, bukan karena mereka ingin, tetapi karena sistem memaksa mereka menjadi demikian.
Jika yayasan bersikeras bahwa guru bukan fakir, mungkin perlu diusulkan solusi berikut:
Program Zakat Internal: Yayasan dapat membuat program zakat khusus untuk guru, di mana sebagian dari zakat siswa dialokasikan kembali kepada guru sebagai bentuk penghargaan.
Potongan Berbalik: Alih-alih memotong gaji guru yang sakit, yayasan bisa memberikan "insentif sakit," sehingga guru tidak perlu khawatir kehilangan penghasilan.
Jaminan Pangan Guru: Sebagai alternatif gaji, yayasan bisa memberikan kebutuhan pokok bulanan kepada guru. Ini akan memastikan mereka tetap bisa makan, meski tidak digaji layak.
Satire ini bukan hanya tentang yayasan tertentu, melainkan potret umum bagaimana profesi guru sering kali diromantisasi tanpa ada langkah nyata untuk mendukung mereka secara materi.
Jika kita ingin pendidikan berkembang, kita tidak bisa terus membiarkan mereka yang berada di garis depan menjadi pihak yang paling terabaikan. Guru bukan sekadar perantara ilmu atau zakat; mereka adalah manusia yang juga memiliki hak untuk hidup layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H