Dalam narasi sosial kita, profesi guru selalu dijunjung tinggi sebagai pilar pendidikan, pembimbing moral, bahkan pembawa cahaya. Namun, di balik retorika tersebut, guru seringkali hanya menjadi nama dalam daftar pegawai yayasan---sebuah entitas yang sering kali mengabaikan kesejahteraan mereka.
Satire ini ditulis sebagai refleksi, bukan untuk menyerang, tetapi untuk memegang cermin besar di depan yayasan yang mungkin telah begitu sibuk mengatur distribusi zakat hingga lupa melihat kondisi mereka yang berada di garis depan: para guru. Jika mereka menganggap guru sebagai "bukan fakir" hanya karena status profesi, mungkin perlu ditinjau ulang makna sebenarnya dari kata tersebut.
Dalam perspektif zakat, fakir adalah mereka yang tidak memiliki cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Namun, yayasan tampaknya memiliki definisi kreatif yang hanya berlaku untuk pihak tertentu, yaitu siswa, sementara guru dianggap "kebal" dari kategori ini.
Guru di bawah yayasan, dengan gaji di bawah UMR, tetap diposisikan sebagai pihak yang cukup sejahtera untuk tidak layak menerima bantuan. Argumen ini didasarkan pada alasan spiritual: guru adalah perantara ilmu dan perantara zakat, bukan penerima. Mungkin ada anggapan bahwa ilmu yang mereka bagikan setiap hari mampu menggantikan nasi dan lauk yang tak terbeli.
Gaji guru yayasan sering kali menjadi lelucon pahit dalam komunitas mereka sendiri. Seorang guru matematika mungkin menghabiskan hari-harinya menjelaskan logika kepada siswa, tetapi logika sederhana "pengeluaran lebih besar dari pemasukan" tampaknya bukan hal yang perlu dikhawatirkan yayasan.
Dan bagaimana dengan sakit? Ketika seorang guru tidak dapat hadir karena alasan kesehatan, potongan gaji adalah mekanisme disiplin yang diberlakukan. Tidak ada kebijakan jaminan kesehatan yang melindungi, tetapi ada kebijakan potongan yang memastikan mereka ingat untuk tidak sering jatuh sakit. Potongan ini, tentu saja, dianggap sebagai bentuk "motivasi" agar mereka tetap sehat---karena kesehatan guru adalah tanggung jawab pribadi, bukan yayasan.
Dalam logika yayasan, guru adalah perantara antara yayasan sebagai pemberi zakat dan siswa sebagai penerima. Guru adalah "kendaraan amal" yang mengangkut zakat ilmu ke tujuan akhir.
Namun, apakah kendaraan ini pernah dirawat? Apakah bensinnya diisi? Tidak. Sebagai perantara, guru tidak dianggap layak menerima zakat karena mereka adalah bagian dari sistem yang mendistribusikan. Ironi ini semakin mencolok ketika guru dengan gaji di bawah UMR tetap diminta untuk "berbagi" lebih banyak waktu, tenaga, bahkan uang, untuk membantu siswa.
Moralitas yayasan sering kali dibangun di atas landasan amal dan pendidikan. Namun, apa yang terjadi ketika moralitas itu diterapkan dengan pendekatan selektif?
Di satu sisi, yayasan dengan bangga memproklamirkan program sosial untuk siswa. Di sisi lain, mereka tidak merasa perlu untuk mengalokasikan sumber daya untuk memastikan kesejahteraan guru. Dalam sistem ini, guru adalah simbol pengorbanan---bukan manusia dengan kebutuhan. Mereka yang mengajarkan empati kepada siswa tidak selalu menerima empati dari institusi tempat mereka bekerja.