Berikut adalah kerangka kajian satire yang bisa dikembangkan menjadi tulisan sepanjang 7500 kata:
Judul: "Sebuah Perayaan di Balik Kamera: Antara Panggung Sosial Media dan Kursi Kosong di Ruang Pengambilan Keputusan"
Pendahuluan
Dalam era digital yang semakin mendominasi hampir setiap lini kehidupan, segala sesuatu seolah tidak lengkap tanpa kehadiran jejak di sosial media. Bahkan di ranah pemerintahan, digitalisasi telah merambah jauh melampaui layanan publik, menjangkau aspek-aspek yang sifatnya lebih simbolik daripada substansial. Salah satu fenomena yang semakin umum terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, adalah tradisi merayakan pelantikan pejabat publik melalui unggahan sosial media yang penuh dengan seremonial. Foto-foto pejabat baru yang tersenyum di balik meja kerja, bunga segar yang menghiasi ruangan, serta sederet ucapan selamat yang mengalir dari berbagai kalangan, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pelantikan.
Namun, apakah esensi dari pelantikan seorang pejabat terletak pada fotonya yang tersebar di media sosial atau pada tanggung jawab yang kini diembannya? Di negara lain, seperti Finlandia, Norwegia, atau Jepang, pelantikan pejabat kerap berlangsung dengan cara yang jauh lebih sederhana, hampir tanpa eksposur publik yang berlebihan. Proses tersebut lebih berfokus pada bagaimana pejabat tersebut mempersiapkan diri untuk langsung bekerja, bukan pada bagaimana ruangan kerja mereka dihias untuk keperluan konten sosial media.
Fenomena Seremonial di Media Sosial
Di Indonesia, ketika seorang pejabat baru dilantik, tidak jarang media sosial dipenuhi dengan ucapan selamat yang mengalir deras. Instansi pemerintahan berbondong-bondong memasang foto pejabat yang baru saja dilantik, lengkap dengan kalimat puitis yang merangkai harapan besar bagi masa depan. Jika seseorang menjelajahi akun resmi dinas-dinas tertentu, terlihat jelas betapa acara pelantikan ini tidak sekadar formalitas, melainkan sebuah perayaan tersendiri.
Dinas tertentu bahkan menyediakan fotografer profesional untuk memastikan bahwa momen tersebut diabadikan dengan sempurna. Setelah itu, foto-foto dipoles, diberi filter, dan disebarkan melalui platform sosial media. Tak jarang, acara pelantikan ini juga disertai dengan serangkaian seremoni seperti pemotongan pita, penandatanganan prasasti, hingga jamuan makan bersama.
Antara Eksposur dan Tanggung Jawab
Pertanyaannya adalah, apakah semua eksposur ini benar-benar diperlukan? Di banyak negara Skandinavia, pelantikan pejabat justru seringkali hanya diumumkan melalui pernyataan pers singkat atau bahkan sekadar catatan di situs web resmi pemerintah. Tidak ada foto bunga, tidak ada ruang kerja yang dihias, dan tidak ada pidato panjang lebar yang dipublikasikan di berbagai platform.
Hal ini mencerminkan filosofi yang berbeda dalam memandang jabatan publik. Di negara-negara tersebut, menjadi pejabat publik adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, bukan panggung untuk meningkatkan popularitas atau membangun citra pribadi.
Kembali ke Esensi Kepemimpinan
Dalam perspektif satire, eksposur yang berlebihan ini dapat dianalogikan seperti seorang pemain bola yang baru saja dikontrak oleh klub besar, namun lebih sibuk berpose dengan jersey barunya di depan kamera ketimbang berlatih di lapangan. Seremonial ini seolah memberikan ilusi bahwa kerja keras telah selesai, padahal sesungguhnya, inilah saat di mana tugas dan tanggung jawab baru saja dimulai.
Di balik tirai eksposur sosial media, yang seharusnya menjadi fokus adalah seberapa jauh pejabat tersebut mampu menjawab ekspektasi publik. Apakah dengan mengunggah foto pelantikan, masalah infrastruktur bisa selesai lebih cepat? Apakah dengan mempublikasikan foto ruang kerja baru, angka kemiskinan bisa menurun?