Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meneguhkan Cinta Kasih

16 Mei 2022   11:13 Diperbarui: 16 Mei 2022   20:17 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat Buddhis menyakini tibanya Hari Raya Tri Suci Waisak Puja (kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan parinirwana; meninggal dunia) 2566 BE pada tanggal 16 Mei 2022 pukul 11.13.46 WIB  ini harus menjadi momentum yang tepat untuk meneguhkan peradaban cinta kasih (belas kasih, kasih sayang, welas asih) yang berasal dari keagungan Siddharta Gautama.   

Pasalnya, segala bentuk balas dendam, kejahatan, konflik, kekerasan dan peperangan itu bersumber pada kebencian. Gautama pernah mengingatkan kepada umatnya, tak pernah ada di dunia ini kebencian dihentikan oleh kebencian, tetapi kebencian hanya bisa sirna dengan cinta dan perjuangan menegakkan kasih sayang. 

Sejatinya kahadiran Waisak 2566 BE ini menjadi titik awal menebarkan sikap kebaikan dan berlomba-lomba untuk menciptakan perdamaian guna meraih kebahagiaan abadi yang terpancar dari sosok Sang Agung Buddha ini. 

Nilai Kemanusiaan

Seorang Buddha memiliki sifat cinta kasih (maitri, metta) dan kasih sayang (karuna). Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi, karena telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan (kebodohan) batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan (kebodohan) batin yang dimiliki oleh manusia. 

Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan cinta kasih dan kasih sayang yang tidak terbatas: Pertama, Berusaha menolong semua makhluk. Kedua, Menolak semua keinginan nafsu keduniawian. Ketiga, Mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma. Keempat, Berusaha mencapai Pencerahan Sempuma.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat (dalam) keadaan batin gelap, 

Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan kasih sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempuma" (Dion P. Sihotang, 2012:29-30)

Ikhtiar untuk meneguhkan peradaban cinta kasih menurut Bhikkhu Sri Subhapannyo Mahathera, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia harus dimulai dari nilai kemanusiaan yang terdapat pada penerapan cinta kasih dan kasih sayang, dengan cara mengharap serta melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada kehidupan manusia yang bersahabat. Kekerasan, ketakutan, penindasan, bahkan pembunuhan tidak mencerminkan penerapan cinta kasih dan kasih sayang.

Moderasi beragama sebagai "jalan bijak" memadukan cinta kasih dan kasih sayang serta pemahaman agama lebih terbuka terhadap perkembangan kehidupan dewasa ini sehingga moderasi beragama dapat menjauhkan sikap ekstrem, bahkan pemikiran primordialisme dan intoleransi terhadap perbedaan.

Marilah umat Buddha sekalian melaksanakan moderasi beragama dengan menerapkan cinta kasih dan kasih sayang disertai kebijaksanaan, kesusilaan (moral), dan keteguhan pikiran (meditasi) agar kotoran pikiran dapat dikurangi bahkan dilenyapkan sehingga terbangunlah kedamaian masyarakat di Indonesia. (Kompas, 15 Mei 2022).

Upaya menebarkan cinta kasih dan welas asih ini perlu kita renungkan dan praktikan secara bersama-sama, seperti yang telah dicontohkan oleh Gautama. Bagi Sang Buddha usaha ini bukan hanya menghapus kebencian dari pikirannya, tetapi memastikan pikiran itu penuh dengan welas asih, menghendaki kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup.

"Kebencian tak akan hilang dengan kebencian. Kebencian akan hilang dengan cinta kasih; Jika muncul suatu dendam terhadap siapa pun, maka orang seharusnya mengembangkan cinta kasih terhadapnya; Wahai para Bhikku, apa pun dasar yang ada untuk membuat agar perbuatan baik menghasilkan kelahirna yang akan datang. Semangat itu tidak akan menyemai satu perenambelas bagian dalam penyebaran pikiran cinta kasih. Penyebaran cinta kasih melampui semua itu dan bersinar cerah, terang benderang." (itivuttaka 27).

Diseluruh penjuru tidak ada seorang pun yang dicintai melebihi kecintaan terhadap diri sendiri; orang lain pun sangat mencintai dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka yang mencintai dirinya tidak seharusnya menganiaya makhluk lain. (khuddaka nikaya)

Gautama menyadari lima "larangan" tradisional tentang keadaan yang tidak membantu (akusala), menyakiti, berdusta, meracuni dan seks harus diimbangi dengan yang positif. 

Alih-alih sekedar menghindari agresi. Ia selalu bersikap lembut dan baik kepada segala sesuatu dan setiap orang, menanamkan pikiran penuh cinta kasih dan kebaikan, tidak berbohong dan perlu untuk memastikan apa pun yang diucapkannya itu bernalar, akurat, jernih dan bermanfaat. 

Pada setiap tahap perjalanan dan yoginya jauh ke lubuk pikirannya yang secara sengaja membangkitkan emosi cinta--"perasaan yang meluas dan tidak terukur yang tidak mengenali kebencian"--mengarahkan ke empat penjuru dunia tanpa pengecualian satu pun tanaman, hewan, kawan, lawan dari radius simpati ini. (Karen Armstrong, 2013:338-380).

Dengan demikian, pikiran damai, sikap mental yang tenang berakar pada pengungkapan perhatian, kasih sayang, rasa berterima kasih, puji sukur, sebab cinta, kasih sayang, welas asih dan tenggang rasa merupakan watak dasar yang dibutuhkan segenap makhluk hidup untuk membangun kehidupan beragama dan meneguhkan peradaban cinta ini. 

Kekuatan Cinta

Dalam konteks Indonesia yang tidak jelas arah kebijakan pemerintah ini kiranya kita perlu belajar dari Aung San Suu Kyi dalam menjalani kehidupan sehari-hari di bidang politiknya, yang menjadikan cinta kebaikan sebagai asas tindakan politis. 

Peraih nobel perdamaian ini mengakui, rasa takut adalah kebiasaan yang dapat dilepaskan dari didinya, sesuah Ia memiliki pengalaman bertahun-tahun di luar negeri. Rasa takut berjalan seiring dengan metta, kebaikan yang benuh kasih. Karena dengan metta rasa saling percaya dapat tercipta, meskipun selalu timbul pertentangan yang mengakibatkan rasa tidak aman, selau dapat terjadi juga rekonsiliasi.

Metta, kebaikan yang penuh kasih bukalah konsep sentimental yang membuat orang-orang mengabaikan perbedaan-perbedaan di bidang politik. 

Dalam filsafat Buddha, metta sejalan dengan kemurahan hati, kesempurnaan, kesabaran, meditasi, kebijaksanaan dan rekonseliasi di antara berbagai cara untuk mencapai pembebasan. Untuk itu, metta harus dijadikan asas aktif dalam menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan terwujudknya dialog terbuka dengan lawan-lawan politik dalam suasuan saling percaya dan menyenangkan. B

aginya, menunjukkan kebaikan tidaklah cukup. Itulah sebabnya ia menekankan pentingnya orang bertanggung jawab dan bertindak. (Hagen Berndat, 2006:85-87)      

Mari kita berusaha membumikan sabda Sang Buddha "Orang yang berkebajikan terlihat dari jauh bagaikan gunung Himalaya, yang menjulang tinggi tetapi orang yang jahat, tak terlihat walaupun ia berada dekat dengan kita, bagaikan panah dilepaskan pada waktu malam" dan "Tidak seberapa harumnya bunga tagara dan kayu cendana; tetapi harumnya mereka yang memiliki sila (kebajikan) menyebar sampai ke surga)" (Dhammapada ; 56).

Bila kita menjalankan hidup penuh dengan cinta, kasih sayang, welas asih yang bersumber dari ajaran agama, niscaya tak ada lagi konflik, peperangan atas nama kepercayaan yang melukai hati nurani dan kemanusiaan ini.

Inilah salah satu upaya meneguhkan peradaban cinta kasih dalam konteks Waisak. Caranya dimulai dari diri sendiri dan saat ini kita berusaha untuk menebar benih-benih kebajikan (cinta, kasih sayang, welas asih) supaya hidup ini damai, sejahtera dan bahagia. Selamat Hari Trisuci Waisak 2566 BE tahun 2022. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semua mahkluk berbahagia. Sadha, sadha, sadha. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun