Sejatinya, kehadiran Iduladha (Hari Raya Kurban) yang diperingati setiap 10 Dzulhijjah dan jatuh pada tanggal 20 Juli 2021 ini tidak hanya melaksanakan perintah memotong hewan kurban (sapi, kambing, kerbau), tetapi menjadi momentum yang tepat untuk meneladani keluarga Ibrahim sebagai sarana menyembelih sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita.
Pasalnya, dalam suasana pandemi Covid-19 ini kita sering melakukan kekhilafan dengan menimbun masker di Semarang, Makassar, Tanjung Duren, Tangerang; oksigen di Surabaya. Alih-alih menumbuhkan sifat egois, ketamakan demi menumpuk kekayaan, memperkaya diri sendiri di atas penderitaan orang lain.
Walhasil, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa hukum haram atas perilaku menimbun oksigen, obat, dan hal terkait Covid-19, untuk kepentingan sendiri di tengah banyak masyarakat yang membutuhkan.
Tindakan yang menimbulkan kepanikan yang menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.
Hawa Nafsu
Ingat, segala bentuk kejahatan, kemunkaran yang terpatri dalam sanu bari kita itu bersumber dari hawa nafsu. Azyumardi Azra, menjelaskan ibadah haji yang bersumber dari tradisi keagamaan Nabi Ibrahim tentu saja terkait erat dengan ibadah kurban. Â Karena itu Hari Raya Haji (Hari Raya Id Al-Adha) juga dikenal sebagai hari Raya Qurban.
Ibadah kurban bermula ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi untuk menyembelih (mengorbankan) putranya, Islamil seperti yang termaktub dalam Al Qur'an Surat Al-Shaffat [37] 100-111.
Perintah Allah ini merupakan ujian yang berat bagi Nab Ibrahim. Sebab baginya Ismail bukanlah sekedar seorang putra, tetapi idalam hatinya dan pelipur lara di tengah perjuangan hidupnya yang berat melawan penindasan Namrud dan pengikutnya untuk menegakan Tauhid.
Akan tetapi inilah ujian yang sebenarnya, dan inilah Jihad Akbar, jihad melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering justru menguasai manusia baik secara individu maupun kelompok. Ketika egoisme diri (kelompok) menguasai manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan dan mengabaikan ajaran-ajarannya yang justru dimaksudkan untuk meninggalkan harkat kemanusian itu sendiri.
Kemunculan egoisme, Ananiyah seperti egoisme politik, agama dan suku yang sekarang cenderung semakin meningkat dalam masyarakat kita. Hal ini hanya akan mengantarkan kita kepada kekalahan (kehancuran).
Kebahagiaan akan dimiliki oleh hamba Allah yang berjuang demi Allah melawan sifat dan nafsu-nafsunya sendiri; orang yang dapat mengalahkan nafsunya akan memperoleh ridha Allah dan orang yang akalnya meninggalkan nafsunya yang memirintah untuk berbuat jahat, melalui perjuangan jihad, penyerahan diri dan kerendahan hatinya demi berbakti kepada Allah, berarti ia telah menenangkan perang yang besar.
Tidak ada selubung di antara seseorang hamba dengan Tuhannya yang lebih gelap (terasing) daripada selubung diri (nafsu); tidak ada senjata yang lebih baik untuk memerangi dan menghancurkan mereka daripada kebutuhan mutlak akan Allah yang Mahamulia. Jika ia hidup sesuai dengan jalan yan lulus, maka akhir hidupnya akan membawanya kepada ridha Allah yang terbesar. Allah berfirman; kepada orang-orang yang berjuang di pihak kami melawan musuh, akan kami tunjukkan jalan-jalan kebahagiaan. Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang berbuat baik. (Al Qur'an Surat Al-Ankabut, [29]:69).
Hikmah Terbesar
Ketika dengan keikhlasan Ismail siap melakukan kurban sebagimana dikehendaki Allah SWT. Berarti Ibrahim telah memenangkan Jihad Akbar, melawan rasa egoisme dirinya. Tetapi, Tuhan Maharahman, sesudah nyata kesabaran serta ketaatan Ibrahim dan Ismail, maka Allah melarang beliau menyembelih Ismail, selanjutnya untuk meneruskan kurban, Allah menggantikannya dengan seekor kewan sembelihan (kambing).
Peristiwan ini menjadi dasar disyariatkannya kurban yang dilakukan pada Hari Raya Haji. Dan binatang sembelihan itu merupakan simbol bagi usaha manusia untuk mendekatkan diri (takarub) sesuai dengan kandungan makna yang terdapat dalam istilah "kurban" itu sendiri. Bahkan lebih dari itu. Ibadah kurban yang dilaksanakan di tempat-tempat yang jauh dari Tanah Suci, seperti di Indonesia berfungsi tidak hanya untuk 'Taqarruh Ila Allah" dekat kepada Allah, tetapi juga "Taqarrun Ila An-Nas' saling dekat dan akrab di antara sesama manusia. Dalam riuh rendah "(pasca)reformasi" Taqarruh Ila An-Nas inilha agaknya semakin sirna dari diri kita, sehingga justru semakin saling menjauh, menista dan berpecah belah.
Ibadah kurban yang dalam pengalaman Nabi Ibrahim ini merupakan salah satu bentuk dari suatu Jihad Akbar. (Hasan M. Noer [ed], 2001;315-318)
Simbol Penyembelihan
Peristiwa kurban pada mulanya merupakan tradisi masyarakat pagan. Demi meraih kebahagiaan diri sendiri, para tokoh--atas nama Tuhan-- melakukan pembunuhan manusia sebagai bentuk pengorbanan kepada Tuhan.
Kejahatan kemanusiaan model ini harus dihentikan. Tanpa menghilangkan tradisi itu, Allah Swt, melalui Nabi menyerukan praktik pengorbanan tersebut diganti dengan penyembelihan hewan yang memberi manfaat bagi kesejahteraan sosial. Maka, kurban dalam ibadah haji adalah simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas sosial-ekonomi demi kesejahteraan bersama.
Rasyid Ridha menyatakan ibadah kurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menurut tingkat kesadaran, ketabahan dan pengorbanan yang tinggi. Pandangan ini mengajak kita untuk menaruh perhatian yang tinggi kepada dimensi moral dan dan perjuangan kemanusiaan.
Semuanya harus diperjuangkan demi keadilan dan kesejahteraan sosial. Keberpihakan Islam terhadap komunitas muslim miskin (dimiskinkan) oleh struktur sosial merupakan komitmen utama Islam.
Menyembelih hewan adalah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang menyesatkan, yang sering kali tidak peka dan tidak peduli terhadap penderita orang lain. (Husein Muhammad, 2016:42-43).
Mari kita evaluasi diri kita: adakah berhala di sekitar kita? Ibrahim telah 'korbankan' Ismail. Apa 'Ismail' kita di tahun ini? Mari kita sembelih semua berhala tersebut. Mari kita deklarasikan pesan moral lakon Ibrahim dan Ismail.
Selain Dia, semuanya hanya berhala. Yang kita kurbankan bukan sekedar domba, sapi, kerbau, kambing, tapi berhala yang bisa memalingkan kita dari-Nya, seperti hawa nafsu dan sifat binatang kita. Yang kita sembelih adalah kebanggaan dan arogansi kita terhadap harta, keturunan, gelar, dan jabatan. Semuanya nothing dibanding kebesaran-Nya.
Mereka yang selepas Iduladha masih menyombongkan diri, pada hakikatnya belum berkurban meneladani Ibrahim dan Ismail. (Nadirsyah Hosen, 2019:19)
Untuk mengorbankan, menyembelih sifat-sifat kebinatangan pada diri manusia. Ada sifat kebinatangan pada kita. Apa misalnya, Bi? Rakus, angkuh, mau menang sendiri. Korban itu. Sembilan itu. Iya kan? Di sisi lain, dengan korban yang disebutkan ini tadi, melalui itu kita membantu orang lain. Karena itu, sembelihlah korban, berikan kepada yang butuh. M. Quraish Shihab dan Najwa Shihab, 2019:78-79).
Dengan demikian, ibadah kurban menjadi media yang tepat untuk menyembelih sifat kebinatangan (rakus, tamak, saling membunuh, angkara murka) yang ada dalam diri kita. Apalagi saat ini kondisi Indonesia dinilai negara yang serakah.
Tentunya, Semua ini bersumber dari hawa nafsu untuk menguasai orang lain (masyarakat, bangsa dan negara) demi kepentingan diri sendiri, kelompok dan golonganya. Sudah saatnya dengan semangat Idul kurban, sejatinya manusia harus mampu menyembelih watak buruk dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya (rakus, serakah, zalim, menindas, tidak mengenal hukum, norma, etika). Semoga. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H