Kuatnya pencitraan komunitas musik bawahtanah (underground) identik menyuarakan anti-kemapanan, anti-kapitalis, anti-barat, ugal-ugalan, urakan dan tidak pernah ikut melestarikan budaya buhun sebagai identitas bangsa. Justru keberadaan komunitas Ujungberung Rebels giat menyebar virus-virus pelestarian budaya karuhun. Saking akrabnya dengan usaha menjaga, melestarikan khzanah kesundaan yang mulai tercerabut dari akarnya, sebutan Sunda Underground sangat melekat karena menjadi penyelamat alat musik dan seni memainkan Karinding. Hasil laporan Zaky Zamani di Pikiran Rakyat (19/9/2010) bertajuk Karinding, Diselamatkan Komunitas Metal menunjukan kepedulian anak-anak muda untuk mencintai khazanah Sunda. Karinding adalah alat musik yang terbuat dari bambu gombong. Suara alat musik itu sulit untuk dideksripsikan. Untuk membunyikanya, karinding harus dipasang di antara dua bibir, kemudian salah satu ujung dipukul-pukul dengan jari, agar terjadi getaran pada bagian tengahnya. Selanjutnya, irama musik karinding ditentukan oleh gerakan lidah dan bibir, yang menjadi media pemantul gema getaran karinding. Secara ringkas suaranya mirip suara kodok besar di tengah sawah. Kabarnya getaran san bunyi yang ditimbulkan karinding memiliki fungsi mediatif, dan bisa memberikan ketenangan bagi jiwa dan raga yang memainkanya. Entah sudah berapa lama karinding tidak dimainkan dan dilupakan orang. Berkat Abah olot yang memainkan karinding di acara Tumpak Indung Poe (2007), sebuah acara pertemuan antara peminat tradisi Sunda yang dilaksanakan setiap 35 hari sekali di situs Sumur Bandung. Karinding Abah Olot memukai peserta pertemuan itu, salah satunya Dadang "Utun" Hermawan, aktivis lingkungan hidup yang berguru kepada mang Engkus yang tingal di Cimahi karena berguru di Abah olot tingal di Parakan Muncang, Sumedang. Kesibukan Abah Olot untuk menghidupi keluarganya, sampai tidak terlalu memikirkan karindingnya yang secara turun temurun. Abah Olot belajar dari ayahnya, Abah Entang. Abah Entang belajar dari ayahnya, Aki Maja, begitu seterusnya sampai entah berujung di mana. Pada suatu hari, Abah Olot membaca artikel sebuah majalah, yang menyatakan alat musik karinding telah punah. Terkesiaplah si Abah. Dia merasa sebagai seorang yang paling bertanggung jawab atas kelestarian alat itu, karena secara turun-temurun selalu diajarkan, bahwa lata itu harus dijaga kelestarianya oleh setiap generasi di dalam silsilah keluarga Abah Olot. Oleh karen itu, dia buat karinding sebanyak-banyaknya. Dia jual karinding itu. Ketika tahu karinding tidak laku dijual dia bagi-bagikan karinding secara gratis. Sekarang, di tengah acara musik yang ingar bingar, mulai dari yang underground sampai yang mainstream, bisa terdengar bunyi-bunyian mediatif dari karinding di tengah acara. Misalnya, di launching album band punk Bandung yang tenar saat ini. Tcukimay, di diskotek Score! beberapa waktu lalu, Karinding Attac adalah salah satu band pembukanya. Karinding telah diselamatkan komunitas metal. Dalam buku Jurnal Karat, Karinding Attacks Ujungberung Rebels yang ditulis oleh Kimung terbitan Minor Books pada 20 Agustus 2011 menunjukan ihwal melekatnya Sunda pada komunitas metal ini tak bisa dilepaskan dari sosok Mang Utun, Ujungberung Rebels, dan kelompok-kelompok kampung adat yang ada di Bandung dan sekitarnya.
Dua hingga tiga bulan sejak Bandung Death Metal Syndicate (BDMS) sepakat memasukkan kesenian Sunda dalam Bandung Death Fest II 2007, mereka masih tak bisa menemukan kelompok kesenian Sunda yang mau nabeuh di konser death metal itu. Hingga akhirnya satu minggu sebelum Bandung Death Fest II, cahaya mulai mendatangi
Man, Amenk, dan
Okid. Suatu malam Minggu yang cerah, Themfukk mengontak Man. Man tuh di Cikapayang aya nu keur penca silat! Kabar Themfukk. Maka Man, Amenk, dan Okid pun segera menuju Cikapayang. Di sana Man, Amenk, dan Okid bertemu Mang Utun dan Mang Deni. Man segera saja mengutarakan keinginannya kepada Mang Utun bahwa ia sangat ingin konser Bandung Death Fest II dibuka oleh kesenian pencak silat. Tapi Mang Utun kemudian menawari debus untuk konser itu. Tentu saja sebuah tawaran yang menggiurkan. Mang Utun sendiri sangat senang bisa mengenal anak-anak Ujungberung Rebels. Saat itu, Mang Utun bersama organisasi kepemudaan bentukannya Gerakan Pemuda Sunda Pajajaran (GPSP), sedang menggelar acara Kandang Penca On the Street. Acara ini adalah salah satu upaya yang dilakukan Mang Utun dan GPSP untuk kembali memasyarakatkan Sunda, terutama keseniannya. Kendang penca kadung identik dengan segala hal yang sifatnya seremonial dan kemudian terpuruk dalam sudut-sudut nilai sosiologis saja. Kendang Penca perlahan seperti terpisahkan dari akarnya : rakyat. Mang Utun ingin mendobrak kecenderungan yang kontra produktif dengan perkembangan Sunda itu dengan mengembalikan lagi kendang penca ke jalanan, tempat di mana kesenian menjadi sagat demokratis. Dapat dinikmati semua orang, tanpa kecuali, bebas menari, bebas mengapresiasi. Mang Utun sendiri semakin bersemangat dan merasa cocok dengan Ujungberung Rebels ketika tahu logo BDMS Panceg Dina Jalur yang ternyata serupa dengan logo GPSP. Seperti halnya BDMS, GPSP juga memakai figur dua kujang sebagai logo organisasinya. GPSP juga memperguankan semboyan yang hampir sama dengan BDMS, hanya saja GPSP semboyannya adalah Panceg Dina Galur, Babarengan Ngajaga Lembur, Nyaah ka Diri, Nyaah ka Ibu Pertiwi. Belakangan, Mang Utun juga memberi masukan kepada Man untuk mengoreksi semboyan “Panceg Dina Jalur”nya BDMS menjadi “Panceg Dina Galur” menjelang persiapan Bandung Death Fest III tahun 2008. Pelan-pelan, Mang Utun menjadi gerbang kepada ranah Kasundaan bagi anak-anak metal Ujungberung Rebels. (h. 13-14)
Urusan keagamaan sangat melekat pada komunitas ini. Apalagi kita masih memagang anggapan Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Ageman # 1, 1 September 2009, Karat di "Laptop Si Unyil" Syuting dilakuakn di Common Room sore hari dengan setting karat sedang ngabuburit menjelang buka puasa. Karat juga mengajak serta anak-anak di syuting kali ini. Kaka dan Dinda putri-putri Mang Utun, keponakan Man dan berbagai anak ikut serta dalm syuting tersebut. Karat sendiri membawakan lagu-lagu yang seperti biasa dimainkan, serta membawakan kawih shalawatan. Ceritanya, karat melakukan latihan karinding untuk mengsi waktu ngabuburit mereka dan di sela-sela ngabuburit datanglah anak-anak kecil serta Si Unyil yang minta untuk diajarkan karinding. Karat mengajarkan Si Unyil dan anak-anak karinding sampai waktu berbuka puasa dan semua berbuak puasa bersama. (h. 32-33) Ageman # 2, 10 September 2009, Karat di Penggalangan Dana untuk Korban Gempa Jabar. Acara ini digelar Solidasitas Independen Bandung (SIB) sebagi bentuk kepedualin terhadap korban-korban bencana alam gempa bumi yang terjadi 2 September 2009 di pangalengan. Bentuknya adalah gelaran Community Gathering sekaligus penggalangan dana. Selain bazar yang diisi berbagai komunitas kreatif Kota Bandung, acara ini dimerahkan oleh penampilan berbagai musisi Bandung dan sekitarnya. Dalam acara ini Karat tampil bersama musisi-musisi lain seperti Mang Ayi (Subang), Markipat (Cicalengka), Killafternoon, Daminatilada, serta band punk Tjukimay featuring Butchex The Cruels. Karat juga berkolaborasi dengan Markipat menutup acara ini. Belakangan, dlam wawancaa dengan Gembok mengenai sejarah Markipat, ia menegaskan tanggal itulah Markipat mulai diberi nama. Namanya sendiri mendadak dibuat pada sat itu juga, terinspirasi oleh kata-kata yang sering dilontarkan Dani Jasad ketika Jasad konseri di Ccalengka beberapa waktu sebelumnya. Addy Gembel sebagai ketua SIB mengumumkan jumlah perolehan bantuan semantara saat itu terkumpul Rp. 2. 760.000,00 ditambah bantuan barang seperti lation nyamuk, biskuit, penganan bayi, selimaut, pakaian dan lain-lain. Bantuan-bantuan tersebut akan didistribusikan hari Minggu tangal 13 September 2009 ke korban gempa di Desa Sukalilah, Pangalengan. Penggalangan dana sendiri secara maraton terus dilakukan oleh SIB untuk sumbangan kepada korban bencana secara berkala. (h. 33) Ageman # 3, 8 November 2009, Tak cuma bersinggungan dengan kelompok-kelompok dan aktivitas kebudayaan Ujungberung Rebels juga bersinggungan dengan aktivitas pelestarian lingkunagn hidup. Tanggal 8 November 2009, bekerjasama dengan Common Room, mereka melakukan penanama pohon di sekitar Curug Cilengkrang, Gunung Manglayang, gunung yang melindungi Ujungberung. Penannam pohon ini dimaksudkan untuk memperkuat persediaan air tanah bagi Ujungberung ketika musim kemarau tiba. Kondisi hutan pinus yang mengkhawatirkan di gunung manglayang juga menjadi dasar pikiran utama penanaman pohon ini. Krinding Kimung dan Hendera mewarnai aksi penanaman pohon di lerang gunung Manglayang tersebut. Kimung, Ki Amenk, Wisnu, Addy Gembel dan Arief Bandung Oral History adalah yang menyurvai lahan penanaman pohon di sekitar gunung Manglayang dibantu oleh polisi hutan kawasan tersebut yang juga kawan SMP dan SMA Kimungdan Addy Gembel, Asep Rohmat. (h. 36-37) Ageman # 4, 13 Desember 2009, Sepanjang siang ini Bandung dihentakan oleh berbagai acara musik. Di lapangan Saparua, Badnung dihajar oleh penampilan band punk legenda dunia, Total Chaos, sementara di sisi lain kota Bandung, tepatnay di Cikapundung dan kawasan Braga Bandung dimeriahkan oleh acarapenutupan Helarfest II 2009 dan Baraga Fest oleh Biker Brotherhood. Dalam penutupan Helarfest II 2009, sebagai simbol kepedualain komunitas kreatif kepada lingkungna Kota Bandung, perwakilan dari BCCF melepaskan enam puluh dua ekor ikan di sungani Cikapundung. Butchex The Cruels dari Ujungberung Rebels adalah tokoh yang melepaskan enam puluh dua ekor ikan tersebut. Selain perlambang kepedulian terhadap lingkungan, dilepasnya ikan-ikan tersebut di Cikapundung merupakan doa dan harapan semoag makhluk hidup yang ada di Kota Bandung akan semakin berpadu dengan lingkungan di mana mereka hidup dan senantiasa berkomintem untuk terus mencintai Kota Kreatif ini. Karinding Attack menggung sebagai pembuka di acara tersebut, menampilkan "Rajah Bubuka" oleh Mang Ayi, "Hampura Ma" dan "Halo-halo Bandung" (h. 40)
Ageman # 5, Senin 25 januari 2010 jam 10 malam, Dddrrrrrrrttttt! Dddrrrrrrrttttt! Dddrrrrrrrttttt! Kimung yang saat itu sudah mulai ngalenyap menuju mimpi indah sontak terbangun dr ketika hp yg tgletak di dpn wajahnya bgt menderit-derit manja. Hmmm Man Jasad. Ad ap mlm2 gnii? “Halow..?” “Wheyy cskuu!! Geus sare nya..? Wehehehee..” “Heueuh hehe… kmh kmh csku..?? “Ieu kami geus boga pirigan anyar yeuh! Tapi karinding hungkul! Duh sorii yeuh ngaganggu.. tp kami keur sumanget pisan yeuuhh..!!!” “Wehehehe kaleum cskuu.. Irh atuu pggh?” “Euuhh ku kami rekam heulanatuu nyaa.. ngke cd-na dititipkeun di mang ismet?” “Orayt siap cskuu.. ngke kami bawa ka kamenrum. O nya Kawih Pati ge geus jadi da. Kari fiks bareng kabeh.” “Okeh okeh atu ari kitu mah csku. Sip sip. Dilajeng atu ahh hehehe.” “Orayt 86, nuhuns csku!” Kimung baru dapat rekaman pattern karinding ciptaan
man hari kamis setelah pemutaran film The US Vs John Lennon di forum Bandung Oral History. Ia mencatat selasa, 26 januari 2010 gabung bareng abah & dinan dlm sesi pemotretan model untuk majalah newnoise. Rabu ujan gede bgt trus banjir trus macettt paraaahhhh!!! Kimung juga belum menggarap pola karinding man malam itu krn ia masih fokus fiks lagu Kawih pati yang 90% beres pola celempungnya. Baru esok paginya,
kimung menggarap lagu man. Ini adalah dua lagu yang berbeda. Kawih Pati ditulis man, menceritakan tentang kematian sebagai akhir dari perjalanan hidup manusia dan menjadi refleksi apa yang harus dilakukan menusi untuk mengantarnya ke 'tempat tujuan' tersebut. . Ini salah satu penggalan liriknya : Rek kamana atuh nya balik (mau ke arah mana)/Rek kamana atuhnya mulang (mau ke mana pulang)/Gening ieu waruga (ternyata jiwa)/Gening ieu raga (ternyata raga)/Tangtu pasti binasa (tentu binasa) Sebuah pengambaran jauh ke dalm diri sendiri. Apa lagi kalau menyimak bait-bait selanjutnya. Kelam namun begitu tenang. Mungkin kita punya berbagai versi ttg kematian, ada yg bercahaya, ruang putih, siksa kubur, kekosongan dan lain-lain. Tapi tetap saja kematian itu adalah tentang ketenangan. (h. 49-50) Ageman # 6, Kamis 11 Februari 2011. Sore itu para personil Karat berkumpul di
Commonroom. Kamis yang sangat ramai!! Selain Openlabs yang juga sedang pada berkumpul, Bandung Oral History yang sedang Kemisan dengan menu presentasi Historiografi Eropa oleh Kimung, Kamis itu tampak juga para personil Beside, manajemen, dan kru sedang berkumpul untuk merencanakan pengajian dan doa bersama untuk memperingati Insiden Sabtu Kelabu 9 Februari. Acara pengajian ini rencananya akan dilakukan hari Rabu tgl 17 Februari 2010 di Commonroom. (h. 57-58) Ageman # 7, Jumat 26 Maret, Bersuka Ria dengan Anak-anak di Sekolah Cendekia Muda dan Jumat Kramat. Pagi yang cerah. Sekolah Cendekia Muda di Puri Ayu Arcamink terlihat sangat ceria pagi itu. Mereka bersenda gurau di lapang sekolah, memakai baju warna-wani, kebaya, pangsi, batik, dan baju-baju lain yang bernuansa Sunda. Yaa hari ini Sundanesse Week Sekolah Cendekia Muda dan semua anak sangat antusias menyambut hari ini karena berbagai perlombaan sudah disiapkan, dari membaca carpon, cerdas cermat bahasa Sunda, hingga permainan-permainan seperti perepet jengkol, balapan egrang, sampai bambu gila sudah siap sedia. Untuk mendukung kemeriahan warna-warna ceria semangat anak, Sekolah Cendekia Muda mengundang Karat untuk tampil di sesi pergelaran musik Sunda. Kimung, yang juga guru Sekolah Cendekia Muda juga lalu menyarankan sekolah untuk mengundang Jimbot & Mang Ayi untuk nabeuh mengiringi keriaan lomba. Maka jam delapan kurang lima belas menit, Jimbot, Mang Ayi, dan Deni sduah hadir di Sekolah Cendekia Muda. Tepat jam delapan mereka mulai nabeuh. Jimbot dengan energik nabeuh kendang pencak silatnya bertimpal ditimpal kecrek Deni yang mengundang ria. Mang Ayi lalu membangun aura Kasundaan dengan tiupan tarompetnya membuat pagi semakin semarak saja. Tak seberapa lama, Kimung bergabung memainkan bonang mengiringi alunan rancak Jimbot-Mang Ayi-Deni. Semua bersuka ria pagi itu. Tak henti-henti Jimbot, Mang Ayi, Deni, dan Kimung tertawa-tawa melihat tingkah polah anak-anak Sekolah Cendekia Muda yang sangat bersemangat ikut lomba-lomba kaulinan budak. Dari perepet jengkol hingga egrang dijajal semua anak dengan antusias dan semangat tinggi. Saking semangatnya tingkah mereka akhirnya sering mengundang tawa ngakak. Tawa tambah berderai-derai ketika anak TK datang berkunjung. Hahahahahaaa… lucuuuuunyyaaaaa hahahahahaaaa… Mereka begitu kecil, begitu innocent hahahahahahaaaa… Anak TK juga tak mau ketinggalan dari kakak-kakaknya di SD dan SMP. Mereka ikut bermain perepet jengkol dan memberikan dukungan kepada kawan-kawan serta kakak-kakaknya yang berlomba. Saat itu Okid dan nenengnya tiba, disusul Man yang pergi langsung dari Garut tiba tak lama kemudian. Tak terasa waktu berlalu cepat. Tiba-tiba jam munjukkan sudah jam setengahs epuluh dan waktunya snack time di Sekolah Cendekia Muda. Jimbot, Mang Ayi, Deni, dan Kimung pun beristirahat nabeuh sejenak. Mereka ke warung Oma untuk segelas dua kopi dan the. Saat itulah Mang Utun dan Jawis tiba. Hendra yang dihubungi jam Sembilan ternyata mengaku tidak tahu acara ini sehingga tak siap-siap. Ki Amenk juga berhalangan hadir pagi itu. Namun pasukan sudah cukup dan sangat siap. Karat siap menggoyang!!! Dan benar saja! Anak-anak kelas 4, 5, 7, 8, beberapa anak kelas 9, dan guru-guru berkumpul memadati di ruang aula kelas Hexagon – Axis. Semangat anak-anak yang begitu meluap-luap menular seketika kepada Karat. Dengan semangat Jimbot, Mang Utun, dan Man bergantian bercerita memperkenalkan waditra yang dimainkan Karat pagi itu mulai dari karinding, suling, toleat, celempung, bangkong reang, hingga tarompet Mang Ayi. Wuiiihhh tak akan terlupakan wajah-wajah cilik yangbegitu antusias ituuuu hahahahaaa… Karat membuka gig ini dengan “Karinding Sampurasun” yang merupakan permainan karinding pakem dasar bagi Karat yaitu tonggeret dan leumpa leumpi leumpong. Setelah hening dan tepuk tangan, Karat lanjut dengan “Rajah Bubuka”. Mang Ayi yang ngarajah pagi itu… duuhh Mang Ayi halimpuuu pisaaann Mang!!! Rahayu!!! Permainan sedikit dinaikkan dengan “Ayun Ambing” dan akhirnya karena begitu banyak rikues dari anak-anak SMP yang ingin Karat memainkan musik yang more hardcore, maka Karat menaikkan tempo dengan “Lagu Perang”. Anak-anak yang terbengong-bengong segera dibuai lagi dengan “Kinanti Blues” Hapal dengan lagu pupuh kinanti “Budak Leutik”, anak-anak menyanyi bersama. Lagu yang dibuka oleh Mang Ayi dan kemudian dieksekusi Man ketika Karat membelokkan pirigan ke blues ceria itu, membuat anak-anak tercengang. Tapi seluruh anak-anak di kelas bernyanyi bersama. Mereka menyahut bersama-sama ketika Man bernyanyi dari bait per bait. Hahaha ceriaaa teruusss!! Karat akhirnya menutup gig dengan lagu kaulinan murangkalih, “Oray-Orayan”. Namun ternyata ada rikues Karat membawakan “Manuk Dadali” Hajar teruuusss hahahahaaa. “Ibu Regina… Ibu Regina… Ibu Regina… Ibu Regina…” Rikues dari anak-anak agar Bu Regina yang rikues lagu ini untuk bernyanyi. Namun ternyata Bu Regina malu-malu hingga Karat menghajar lagu ini kembali diisi koor anak-anak yang bernyanyi “Manuk Dadali” Hahahahahaaa.. The best unforgettable gig ever hahahahaha… Terima kasih Sekolah Cendekia Muda ^^ Setelah beres gig ini karat segera berangkat ke kelas Sekolah Cendikia Muda Arcamanik Endah atau Aren. Bangunannya terpisah sekitar satu kilometer dari Sekolah Cendekia Muda Puri Ayu dan di sini hanya kelas 1, 2, dan 3. Anak-anak kecil ini dua kali lebih antusias!!! Mereka dengan semangat menyimak Man dan Jimbot yang bercerita tentang karinding. Karat segera saja menghajar dengan “Karinding Sampurasun” dan ketika Jimbot bertanya, “Hayoo karinding suaranya kaya apaaa..?” salah seorang anak menjawab “Kaya per di film kartun Kak!!” Hahahahahaaa.. iya juga sih yaaa hahahahaaa… Sayang di kesempatan ini Karat tak maksimal. Karena hujan turun dengan deras dan anak-anak harus pindah ke panggung maka situasi menjadi tidak terkendalikan. Anak-anak itu masih tetap sangat antusias hingga akhirnya Karat menutup gig dengan lagu palid karinding toleat. Karena hujan semakin lebat semua segera masuk. Lagi pula sudah jam setengah dua belas dan sebentar lagi Jumatan. Maka semua masuk ke kelas masing-masing, sementara Karat ke ruang guru untuk makan siang bersama dulu. Hmmmm yuummmiiieee… ^^ Ayam bakar, tahu, cabe, sambel, lalab hantaaamm!! Alhamdulillah Ya Allah… Pas lagi nunggu makan, tiba-tiba beberapa anak berseragam tim bola SD Cemdekia Muda masuk ruang guru dan nyamperin Man. “Kak minta tanda tangannya donk…” Man tercengang dengan permintaan anak-anak itu, namun tak urung ia membubuhkan tanda tangannya ujuga. Asalnya si anak minta tanda tangan di tangannya, tapi Man minta si anak membawa bukunya untuk ditandatangani. “Untuk Faris, Sekolah yangRajin dan Rajin Shalat yaa..” Tingkah satu anak ini segera disusul dengan yang lain yang juga minta tanda tangan dari Man. Whaaa man di mana-mana pasti punya fans uuuyyy hahahahahahaaa… Bahkan di SD Cendekia Muda hahahaaa… Sehabis gig, Karat kembali ke Sekolah Cendekia Muda Puri Ayu. Mereka sempat berteduh sambil ngopi-ngopi di Warung Oma sambil ngobrol ngalor ngidul menunggu hujan reda. Benar Mang, banyak yang harus kita kerjakan. Menggarap kawih-kawih kaulinan murangkalih dalam aransemen karindingan itu snagat utama!! (h. 97-99) Ageman # 8, Selasa, 30 Maret 2010, “Dadangos Bagong” dan Ruang Baru untuk Karat Sore itu sejak magrib Hendra sudah nongkrong di depan rumah Kimung nunggu Kimung pulang. Ya, hari itu ia dan Kimung emmang janjian untuk menggarap lagu berikutnya yang diciptakan Kimung. Ada tiga lagu yang rencananya akan digarap, yaitu “Dadangos Bagong”, “Teroris Generasi”, dan “Burial Buncelik”. Karena tiga lagu ini seangkatan dengan tiga lagu sebelumnya yang digarap Kimung – Hendra (“Ririwa Di Mana-Mana”, “Sia Sia Asa Aing”, dan “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol”), napas yang terasa dari tiga lagu tadi hampir sama. Kimung masih tetap dalam titik di mana ia ingin lebih menyederhanakan pirigan celempung dan ingin lebih mengedepankan karinding dan suara-suara vokal. Celempung juga sebenarnya makin diperkaya. Bukan dalam hal variasi pirigan atau skill beat yang njelimet, tapi lebih ke eksploasi bunyi-bunyian sederhana yang terdapat atau bisa didapat dari sekujur tubuh celempung. Malam itu, Viki, Zia, dan Arief bergabung dengan Hendra. Gangster Bandung Oral History (BOH) ini datang diundang Kimung untuk membicarakan Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) yang meminta BOH untuk menggarap acara obrolan santai dalam peringatan 55 Tahun KAA 1955. Mereka juga akan membicarakan pematangan rencana workshop sejarah lisan tahun 2010. Sebelum itu, Kimung dan Hendra menggarap dulu lirik-lirik lagu yang tersisa untuk Karat. Kimung – Hendra mengawali dengan lagu “Burial Buncelik”. Lagu ini susunannya mirip dengan “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol”. Namun lebih patah-patah dan lebih aneh dalam aransemen liriknya. Jika “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol” terus geber tanpa jeda, “Burial Buncelik”pun sama. Namun pindah-pindah pirigan dan beatnya jauh lebih chaotic dan sangat tidak popular. Kimung – Hendra sempat mencoba beberapa aransemen dan menemukan beberapa pirigan yang paling cocok. Namun demikian karena begitu kental kemiripan pirigannya dengan “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol”, Kimung memutuskan untuk break dulu menggarap lagu ini sampai menemukan aransemen pirigan yang lebih pas dan variatif. Setelah seputeran nyah nyeh nyoh, Kimung – Hendra mulai menggarap lirik selanjutnya, “Dadangos Bagong”. Berbagai pirigan dihajar malam itu, namun tak juga menemukan pola yang cocok untuk jumlah diksi kata dalam baris-baris lirik “Dadangos Bagong”. Lagu ini mulai terbayang ketika secar tidak sengaja terngiang lagu “Sabilulungan” di telinga Kimung. Ia minta kepada Hendra untuk nabeuh pirigan “Sabilulungan” buat “Dadangos Bagong”. Dan ternyata pas nian! Maka demikianlah, sejak awal lagu ini sangat terinspirasi “Sabilulungan”. Tapi tentu saja tidak nyontek lohh.. lagian kalo ntar terasa nyontek setidaknya udah say ceritakan gimana proses kreatif Kimung – Hendra dalam menggarap lagu ini yess wekekekekekkk… Lagi, lagu ini minim celempung, dan lebih mengutamakan harmonisasi vocal. Kimung mengutarakan visinya akan lagu ini kepada Hendra, bahwa ia ingin semua Karat bernyanyi bergantian dalam lagu ini. Dalam hal ini Kimung terinspirasi dari proses belajar mengahapal Qur’an di sekolahnya dengan teknik tadarusan. Dalam tadarusan, anak-anak akan bersahut-sahutan saling sambung membacakan ayat-demi ayat Al-Qur’an. Dalam “Dadangos Bagong”, Kimung mengharapkan harmonisasi dari keragaman warna vokal Karat yang ada dan bisa dimaktubkan sebagai sebuah lagu. Dalam sekali puteran “Dadangos Bagong” beres sudah. Kimung – Hendra tidak menemukan hal yang berarti dalam memainkan lagu ini selanjutnya. Di ending lagu, Kimung meminta Hendra memainkan tempo yang bertambah cepat seperti lagu “Wasit Kehed”. Kali ini pirigan dapat dikejar dengan mudah, kecuali sepuluh ketukan terakhir yang memang gantel abis yang sempat menyulitkan Hendra hihihihihiii… Lagu selanjutnya yang digarap adalah “Teroris Generasi”. Dalam bayangan Hendra, lagu ini harus cepat karena lirik yang simpel dan tema yang najong. Namun Kimung berpendapat lain. Karat sudah terlalu banyak lagu kencang saat itu. Ia ingin “Teroris Generasi” dimainkan dalam tempo yang lambat, bahkan mungkin sangat lambat, atau jazzy, atau bluesy, despite the crucifying hardcore lyric yang lebih cocok dengan musik yang kencang. Kimung – Hendra sempat jam session memainkan lagu ini dalam dobel celempung. Kimung memainkan celempung Cisolok dengan dua pemukul hingga menghasilkan nada-nada melodik, tanpa memainkan tepukan dan goong. Lagu ini sudah jadi, namun tetap masih ada ganjalan dalam hal pola yang menurut Kimung terlalu rame, terlalu rancak. Walhasil, Selasa ini haya “Dadangos Bagong” yang benar-benar fiks walau secara gambaran abstrak “Teroris Generasi” dan “Burial Buncelik” sudah terbayang juga. Menjelang tengah malam Kimung – Hendra merekam “Dadangos Bagong” sebagai patokan buat Karat yang lain. (h. 101-102) Ageman # 9, 23 Juni, Rabu, Shoot Hampura Ma II Par 2. Take pertama tengah malam itu adalah perform Karat. Yang diambil pertama kali adalah Karat secara keseluruhan dan setelah beres, take kemudian diteuskan ke detil tiap personil. Detil pertama yang diambail adalah Kimung dan Hendra sebagai para pemain celempung. Detil selanjutnya adalah para pemain karinding, dimulai dari Ki Amenk, Jawis, dan kemduian Mang Utun. Para pemain suling diambil selanjutnya ersamaan dengan detil man sebagai vocal dan yang memainkan Awi Cai. Take selanjutnya adalah perform dua penari, Andra dan Ilva. Yang pertama diambil tariannya adalah Ilva dan kemudian dilanjut oleh Andra. Selanjutnya, kru mengambil gambar tarian Ilva dan Andra berdua, menggambarkan duel tarian mereka, duel tarian kekuatan baik dan jahat yang saling berseteru. Take tarian lumayan memakan waktu lama karena koreografi yang sayang untuk dilewatkan tiap anglenya. Sambil menunggu take tarian, para personil Karat ada yang serius melihat tarian, ada yang mencari kayu bakar dan sempat kena shock therapy (hehehe…), ada juga yang tanding catur. Kru Under senantiasa mendokumentasikan semua momen baik dalam media foto maupun movie. Tak selanjutnya adalah scene bersama, Karat dan dua penari serta pertempuran di antara mereka. Take awal adalah tarian Ilva dan Andra di sekitar personil karat yang memainkan waditra. Selanjutnya adalah tarian Andra yang menggoda para pemain karat untuk ikut bersamanya dalam kekuatan kegelapan. Take selanjutnya adalah kedatangan Ilva sebagai Dewi Bumi menghalau Dewi Kegelapan. Mereka berdua bertempur dengan heroic di sekeliling personil Karat yang tetap menekung, panceg pada waditra masing-masing, hingga akhirnya Dewi Kegelapan berhasil dijatuhkan. Ada sebuah refleksi transendental dari sifat ilahiah dewa-dewi ke sifat humanitas manusia ketika Dewi Kegelapan jatuh. Sifat dewinya hilang berganti pilu, sesal. Sang dewi menangis meminta ampunan dan penyerahan diri untuk diraih oleh Karat yang berlalu begitu saja, sama sekali tak menolehnya. Sifat humanitas juga ditampilkan dalam sifat welas asih Dewi Bumi yang tetap saja meraih Dewi Kegelapan setelah segala hal terjadi. Ini mengukuhkan sebuah perenungan bahwa sifat-sifat ilahian tak demikian jauh jika manusia mau melihat jau ke dalam dirinya sendiri. Ini cerminan sifat dua kutub ilahiah dan humanitas yang seperrtinya jauh, namun sebenarnya—seperti disebutkan dalam kitab Qur’an—lebih dekat daripada urat syaraf. (h. 145-146)
Ageman # 10, 27 Juni, Minggu, Panggung Karat di Perpisahan SLTP Terbuka Kecamatan Arcamanik, Markipat feat Kimung. Ceritanya, di Kecamatan Arcamanik terdapatlah lima Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Terbuka. Bagi mereka yang tak tau SLTP Terbuka—ini adalah bentuk sekolah yang khusus dirancang oleh pemerintah untuk anakanak yang tidak mampu. Siswa diberi modul untuk belajar sendiri, sementara guru yang mengarahkannya hanyalah guru pamong yang biasanya datang bertatap muka hanya seminggu sekali atau paling banyak seminggu tiga kali walau ada juga yang melakukan pertemuan penuh seminggu enam hari kelas. Sesuai namanya, SLTP Terbuka, jenis sekolah ini sama benar-benar terbuka, dalam arti tak memiliki gedung sekolah tertentu. Di manapun mereka bisa belajar, ya belajarlah mereka. Antara tahun 1998 – 2001, Kimung pernah mengelola SLTP Terbuka di Desa Padaasih, Cisarua, Lembang dan mereka belajar menumpang, kalau tidak di Sekolah Dasar yang kosong waktu siang, ya di mesjid, atau di Bale Desa. Namun demikian, kita tak boleh menyepelekan para siswa, terutama keinginan belajar mereka. Mayoritas siswa SLTP Terbuka adalah anak tidak mampu yang fokusnya adalah mencari uang untuk biaya kehidupannya. Datang ke “sekolah” untuk belajar bagi mereka memerlukan motivasi berlipat-lipat ganda dibandingkan siswa-siswa kebanyakan. Dan inilah yang harus kita perharikan. Motivasi. Dan dengan motivasi itulah, Kimung sempat berkaca-kaca ketika melihat salah satu siswa SLTP Terbuka yang dulu ia ajar, kini ternyata sudah lulus kuliah di UIN Sunan Gunung Djati, Ujungberung, Bandung, dan memutuskan untuk menjadi guru menggarap pendidikan bagitak mampu di Desa Padaasih. Walau akhirnya SLTP Terbuka Padaasih bubar karena pemerintah tak bisa menyokong dana pendidikan. ditambah Kimung sendiri tahun 2001 semakin dituntut untuk komit menyelesaikan skripsinya hingga harus mundur teratur dari SLTP Terbuka Desa Padaasih, namun anak-anak ini tetap bersekolah di SLTP Terbuka Kecamatan Cisarua. Sekolah baru yang harus mereka tempuh dengan berjalan kaki sejauh tiga sampai lima kilometer jalan menanjak. Alhamdulillah, semua siswa yang pernah dididik Kimung lulus semua tahun 2003, tahun di mana Desa Padaasih akhirnya benar-benar menyetop program SLTP Terbuka di desanya—karena ketergantungan anggaran biaya kepada pemerintah. Untuk mengumpulkan dana swadaya masyarakat anggaran dana pendidikan tentu tak mungkin. Ini bukan masyarakat kota dengan tingkat perekonomian baik. Ini adalah kampung yang pelan dilibas kawasan industry di mana hanya ada dua pilihan bagi para lulusan sekolah dasar yang miskin : KAWIN atau KERJA DI PABRIK! Stop dreaming in school boys and girls and hey teachera, leave the kids alone!!! Pink Floyd kadang tak ngerti juga hati guru walau saya fans berat mereka gtyuu lohhh. Mati saja lah Pinky Floydieeee!! Sentimental inilah yang menggugah Kimung untuk meneruskan permintaan tolong warga Arcamanik yang selama ini menggarap SLTP Terbuka di Kecamatan Arcamanik kepada Man selaku pentolan Karinding Attack, juga salah satu sosok yang sangat ngetop di kalangan kaum muda. Alkisah, permintaan tolong ini disampaikan oleh Pak Ali dan Bu Luna selaku warga Arcamanik yang selama ini menaruh perhatian besar terhadap pendidikan anak-anak tak mampu sekitar Arcamanik. Mereka meminta Kimung untuk membantu mereka meningkatkan motivasi belajar siswa-siswa lima SLTP Terbuka di Arcamanik dalam ajang perpisahan SLTP Terbuka. Oww, perpisahan? Ternyata kisah pilu pembubaran SLTP Terbuka tak hanya di Padaasih. Arcamaik yang katanya merupakan masyarakat ekonomi menengah ke atas dan memilki konstanitas yang lebih dibanding Kimung di Padaasih pun harus kesulitan mempertahankan keberadaan SLTP Terbuka. Dari lima SLTP Terbuka yang kini buka, tiga di antaranya akan ditutup dan sisinya tinggal dua saja. Ini tentu akan menjadikan pemusatan kegiatan di duatempat saja dan tentuini bukan hal yang efektif dalam pembelajaran. Duh pemerintah…. Untuk meningkatkan motivasi belajar di kalangan para siswa itulah diperlukan satu sosok yang pas bercerita kepada anak-anak itu. Sosok muda yang kata-katanya lebih bisa didengar ketimbang kata-kata guru-guru mereka. Untuk itulah Pa Ali dan Bu Luna meminta bantuan Kimung untuk memberikan masukan siapa kira-kira musisi yang bisa memotivasi para siswa ini. Kimung langsung teringat Man dan Karat, namun kebetulan acara SLTP Terbuaka itu bentrok dengan panggung Sonic Toerment tanggal 27 April di Yon Armed. Maka Kimung mencoba mencari kawan-kawan yang lain yang akhirnya urung juga karena kebanyakan bentrok jadwalnya. Karena Karat kemungkinan tak bisa maka Kimung lalu menawarkan Karmila. Namun ternyata ada beberapa panitia yang menolak dengan alasan konyol dan tak akan saya ceritakan di sini hahaha… Kimung sempat menawarkan Markipat featuring Man yang segera disambut hangat oleh panitia. Namun ketika Kimung curhat ke Man memintanya untuk bisa hadir dan memberikan motivasi, ternyata Man menyanggupi Karat oke maen di acara tersebut, apalagi ini benar-benar konser amal untuk memotivasi semangat belajar anak-anak Indonesia. Paling konsekuensinya, Karat tidak maen dengan full tim. It’s ok csku! Keberadaan karinding di sana akan lebih dari cukup untuk menggugah semangat apapun yang sedang sekarat. Karat memang manggung tidak full tim. Cuma bertiga : Man, Jawis, dan Hendra. Namnun ini tak mengurungkan semngat mereka untuk berbagi. Man bahkan merombak Lagu Perang menjadi lagu Pintar. Nyanyian koor diakhir lagu, “Aku ingin peraaaannnggg…” yang dirobah oleh Man menjadi “Aku ingin pintaaaarrrr…” terus disenandungkan oleh para siswa ini setelah acara usai ditutup si Karat. Itu lebih dari cukup menggugah motivasi dibandingkan koar-koar walikota di sebuah arena konser punk band internasional, berjanji membangunkan gedung konser di Kota Bandung kota barometer music Indonesia. Sebuah janji memalukan karena tak pernah ditepati sama sekali oleh sang tolol itu. sama dengan janji-janji presiden yang meningkatkan anggaran pendidikan, ilusi media mengenai perbaikankualitas pendidikan, tapi kenyataan yang ada dari lima SLTP Terbuka di Arcamanik, tiga di antaranya ditutup karena masalah motivasi belajar. Di saat yang sama si Karat maen di perpisahan SLTP Terbuka Arcamanik, Kimung sedang bersiap2 manggung sama Sonic Torment di Yon Armed Cimahi. Di panggung Akbar Tiga Genera situ, ternyata Markipat juga manggung. Kimung yang dating awal banget ke gig lansung saja kongkow dengan Mang Gembok dan ditawari maen bersama Markipat. Kimung tentu saja langsung mengiyakan. Ia sempet brifil di belakang tank-tank baja tentara sama Markipat, membawakan empat lagu : Rajah Bubuka, Pahlawan Kesiangan, Bangbung Hideung, dan satu lagi lupa judulnya pokonya ada Perang-perang gitu hehehehe. Panggung berjalan lancar!! Poll banget si neng sinden Uci pas bawain lagu Bangbung Hideung hheuu… Rahayu Markipat!!!! (h. 150-152) Ageman # 11, 29 Juni, Selasa Ceria, Karat Session di Commonroom. Karat tak jadi latihan Selasa ini karena diundang oleh Alinea untuk berdiskusi membahas tentang alkohol. Selain itu, kejadian memilukan juga terjadi. Remains Rottrevore distro yang dikelola Okid kebongkaran. Hmmm smoga barang-barang yang dicuri itu bisa berguna bagi sang pencuri, berkah dan akhirnya membawa pencerahan bagi hidupnya sehingga ia segera bertobat dan memberikan banyak-banyak kebaikan bagi orang-orang di sekelilingnya dan juga orang-orang luas pada umumnya, amiin! Smoga barang-brang yang dicuri juga bisa diiklaskan oleh Okid sehingga ia bisa mendapat gantinya lebih banyak lagi di masa mendatang dan bisa lebih banyak berbagi kepada orang-orang di sekitarnya, amiin! Semoga si Karat Jumat bisa latihan hehehehe… Amiin! (h. 152) Ageman # 12, 15 Juli, Parakan Muncang Magical Mystery Tour. Karena hari selasa kesorean di kawe, rombongan karat akhirnya memutuskan untuk menunda kunjungan ke Bah Olot dan sepakat akan berkunjung hari ini. Kini yang pergi cuma berempat : Okid, Widya, Hendra, dan Kimung. Mereka berangkat jam 11 dari rumah Okid. Sampai di Cicalengka sekitar jam 12 ternyata sudah ada Mang Utun di sana sedang mengantar Elise, seorang mahasiswi asal Florida, Amerika Serikat yang sedang belajar lingkungan hidup di Indonesia. Ia tertarik belajar karinding dan kemudian diajak Mang Utun ke sanggar Bah Olot. Karat segera ngedeuheus ke Bah Olot sebagai guru karinding si Karat. Vila Karinding Bah Olot ada di daerah Manabaya, Parakan Muncang. Ketika kita masuk gerbangnya terhampar luas halaman rumput yang asri dan tanaman-tanaman buah yang menambah kesejukan lingkungannya. Di halaman itu kita bias memarkir kendaraan. Di ujung halaman rumput, beridri Villa Karinding yang bias disewakan. Bangunannya khas bangunan Sunda. Besar dan nyaman untuk ditempati. Sanggar Bah Olot ada di bawah halaman. Kita harus meuruni tangga dan menyebrangi selokan kecil yang dibangun sebagai irigasi dari Sungai Cimanggung yang berada tepat di belakang sanggar Bah Olot. Tak lama kemudian Mang Iwan dari Cicalengka juga datang membawa sekeresek bambu pesanan Bah Olot untuk dibuat gelas dan segera bergabung dengan Karat. Saat itu, Okid sudah memesan dua karinding surupan Karat yang dengan cepat dikerjakan oleh Bah Olot. Ia juga langsung mendapat celempung dari bambu hitam dengan tandatangan Bah Olot di badannya. Kimung lain lagi, melihat begitu banyak bambu gombong yang berukuran raksasa untuk bahan celempung, ia segera saja memesan celempung indung yang berukuran raksasa untuk mengejar suara low celempung Karat. Bah Olot dengan bersemangat mengiyakan. Ia mempersilahkan Kimung untuk memilih sendiri bambu yang akan dijadikan celempung. Bergiliran, semua mencoba memainkan celempung bambu hitam milik Okid siang itu. Sanggar Bah Olot semakin semarak ketika Gola sang musisi ahli suara mulut dari suku Dayak Sagandu datang beserta temannya. Gola sangat mengesankan. Sebagai seorang Dayak Sagandu ia kemana-mana telajang dada dengan kulitnya yang coklat terbakar, wajah khas Dayak Sagandu, iket batik di kepala, pangsi hitam dan sinjang batik senada dengan iket. Sepanjang di sanggar Bah Olot, Gola tak henti-hentinya memainkan alat-alat musik yang ada di sana. Sementara itu Bah Olot tak sedikitpun terganggu dengan kedatangan tamu-tamunya ini. Ia tetap saja ekun mengerjakan kerajinan karinding sambil sesekali menyapa dan menghampiri tamu-tamunya, termasuk kami. Ketekunan itu tanpa disadari seperti menular. Melihat begitu banyak bambu dan alat-alat pertukangan serta melihat bah Olot begitu asyik dengan pekerjaannya kamipun masing-masing asyik membuat berbagai kerajinan dari cincin bambu, gelang bambu, tempat karinding, hingga tempat pemukul celempung. Mang Hendra yang terlihat sangat bersemangat berkreasi. Bah Olot sempat nabeuh celempung rentengnya yang segera saja ditimpali oleh Kimung, Hendra, Okid, dan Gola. Wow berbeda benar memang bermain bersama sang maestro! Bah Olot lalu meminta beberapa kawannya di sanggar menyiapkan liliwetan untuk bersantap bersama nanti. Tak lama kemudian, Koki Kika datang menemui rombongan Karat, disusul pacarnya Reffy serta sang adik Rexy. Kedatangan mereka menambah semarak hari yang semakin beranjak sore itu. bah Olot sendiri saat itu tampaknya mulai berbenah membereskan sanggarnya dan bersiap-siap untuk mandi. Melihat Bah Olot mau mandi, kami tentu saja semakin bersemangat untuk nyebur guying di Sungai Cimanggung tepat di belakang Villa karinding. Setelah bah Olot mengijinkan, semua rombongan langsung saja menuju belakang sanggar dan guying bersama-sama. Semua penat dan lelah pupus seketika dimanjakan dingin aliran Cimanggung. Huuummmm… Ketika semua kembali naik ke sanggar, liwet Bah Olot ternyata sudah masak. Di halaman sanggarnya yang asri Bah Olot sudah menanti semua orang dengan nasi kastrol serta lauk pauknya : jambal, peda, tamu, telur, sambal, dan kerupuk. Hummm yummieee… Kami semua makan dengan lahap soe itu disertai bincang-bincang ringan yang menambah keakraban kami. Hummm lezat bah Olot!!! Poll!! Trimakasih katampi pisan liwetna Abah… Selesai makan, Okid dan Kimung secara pribadi menemui bah Olot yang sedang berdoa untuk menyampaikan amanat dari Karat serta menceritakan berbagai hal kepada sang guru yang disambut dengan baik oleh Bah Olot. Dan ketika malam benar-benar turun, kami semua pamit kepada Bah Olot. Kami pasti akan kembali bah Olot!!! Hatur nuhun atas semuanya!!! (h. 163-164) Ageman # 13, 18 Juli, Kudeta Gigs By Karat: Sonic Torment Gig Kickfest 2010 & Pembukaan Pameran The Loss of The Real Selasar Sunarya. Akhirnya Karat menyanggupi untuk membuka gig Sonic Torment di Kickfest 2010 lapangan Siliwangi, bandung. Konsepnya adalah karat memainkan Bubuka sebelum Sonic Torment manggung dan kemudian di akhir gig, di akhir lagu Status Tai Anjing, Karat menutup gig dengan Panutup. Panutup ini konsepnya sama dengan Bubuka hanya akan lebih chaos sebelum akhirnya di fade out tanda gig Sonic Torment usai. Di kedua sesi ini Ayi dan Opik akan memainkan gitar mereka memberikan nuansa Sonic Torment di aransemen Bubuka dan Panutup si Karat. Untuk itu,sejak jam tiga sore Karat dan Sonic Torment sudah berkumpul di Commonroom. Ada kawan-kawan dari Bandung Oral Histroy, juga Kika dan kawannya dari Cicalengka yang datang khusus untuk panggung ini. Latihan akhirnya dimulai sebelum akhirnya semua berangkat bersama ke venue. Begitu sampai sekitar jam setengah lima, di panggung kiri Alone At Last sedang menggeber panggung dan Sonic Torment langsung didapuk untuk segera bersiap-siap di panggung. Dan kahirnya, here’s the fukkin gig! Karat maen di dua sisi panggung. Sebuah set yang menerik sebetulnya jika tata suara tidak jelek. Hmmm patut disayangkan untuk pergelaran sekelas Kickfest, panitia masih saja tetap menggunakan tata suara seadanya. Alhasil suara karinding timbul tenggelam. Tak kedengaran oleh para audiens yang segera merangsak ke depan. Well well but show must go on… Hingga akhirnya Sonic Torment menghajar panggung dengan lagu-lagu Black, Montong Didenge, Anjing ti Bandung, Golok Berbicara, dan Status Tai Anjing, tata suara tetap saja jelek hahahahaaa… Waktu maen band juga ternyata dipotong hingga Karat tak jadi menutup gig Sonic Torment hehehe… Malamnya, Karat diundang untuk melakukan kolaborasi dengan musisi noise sound dari Prancis, Benyamin Amman dalam pembukaan pameran The Loss of the Real yang digelar di Selasar Sunaryosebagai bagian dari Nu Substance Festival 2010. Karena itu sejak pukul setengah delapan Karat sudah bersiap di kafe Selasar. Tamp[ak suasana begitu meriah. Banyak sekali pengunjung dari mancanegara karena para peserta Expert Meeting yang akan digelar keesokan harinya di Commonroom juga pada datang ke acara ini. Namun demikian, masuk pukul setengah Sembilan, tak ada tanda-tanda acara akan dibuka. Entah kenapa mungkin karena mereka yang in charge acara kebingungan dengan ketidakberadaan Gustaff di lokasi karena ayahnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan, Karat segera mengambil inisiatif membuka acara dengan penampilan karinding yang sebenarnya sama sekali tak ada di dalam rundown hehehehe… Karena itu Karat tak mau berlama-lama tampil. Rencananya hanya membawakan Bubuka, dadangos bagong, Burial Buncelik, Lagu Perang, dan Kawih Pati. Audiens yang asalnya nyah nyeh nyoh di kafe atas segera saja memenuhi tribun amfiteater Selasar menikmati musik si Karat. Karat manggung dengan mantap malam itu. ini adalah salah satu panggung terbaik Karat walau Hendra mengaku ada gangguan di celempungnya. Tapi tetap saja mantaps mangs hahahahaaa… Audiens memberikan aplus panjang ketika Karat menutup gig dengan Kawih pati yang begitu emosional… Innalillahiwainna ilaihi roji’un, turut berduka cita atas meniggalnya ayah Gustaff Hariman iskandar, semoga amal baik beliau diterima di sisi-Nya, dan semoga yang ditinggalkan diberikan kesabaran, amiin!!! (h. 166-167) Ageman # 14, 8 Agustus, Minggu Berguru ke Bah Olot Sang Maestro … Ini jurnal perjalanan yang ditulis Iyank Sundanesse Metalcore di
http://www.facebook.com/notes/iyank-sundanese-metalcore/road-to-bah-olot-wisata-rohani-ke-rumah-abadi-sang-rockstar-scumbag-and-panggung/409525667214. Enjoy, Road To Bah Olot, Wisata Rohani Ke Rumah Abadi Sang Rockstar -[Scumbag]- And panggung Sonic Torment Hmmm tgl 8 agustus 2010,ya ya ya pagi itu saya bergegas bangun jam 8 pagi buat prepare untuk ikut serta rombongan karat singgah dan tertawa di vila sang maestro karinding Abah Olot. Pagi yang cukup berat dan di sertai keraguan untuk ikut gabung karena hari yang acara keluarga besarpun dilaksanakan, tapi karena keinginan dari sejak beberapa lama untuk gabung di acara munggahan kali ini, saya putus kan untuk tetap ikut.hmmm ngareeettt?hahah pa kimung pun terlambat heu…. jam 10 sayapun nunggu rombongan di daerah ci biru deket kosan anak anak,untung uje yang pagi itu sedang nunggu kiriman barang dari kuningan sedang duduk di pinggir jalan dengan beberapa batang rokok nya,mari isap asap itu kawan,nyalakan alat bakar dan mari menunggu.haha kita sama sama menunggu ang. Hmmm lama takunjung datang pakims, saya pun beranjak ke kosan,sms pun diterima.tanda pa kimung sudah nyampe cibiru. Mari berangkat… heheh ternyata pakims seorang diri,hahah hajar sajah… dijalan pun bersenda gurau di atas tunggangan masing masing.hmmm pecut pakims… hahah… “ka dangder heula yank” saut pakims, oke hancas mangs. Di jalan saya bertanya dalam hati mau kemana dulu kita berdua??? Tp mari kita ikut sajah.tiba daerah dangdeur cicalengka,saya di bawa pakims ke sebuah pemakaman. Heuh… dan saya pun langsung ngeuh, ya benar -[sumbag]- sempat sedikit pusing nyari satu makam di tengah ratusan makam dan akhirnya ketemu juga.mari bersihkan… kami pun serentak membersihkan makam sang legendaris. pakims pun merawat makam itu,membersihkan,seolah olah dia sedang menyapa dan membelai lembut sang soulmate dan bercerita bahwa “si BK biasana tiap munggah sebelum puasa sok jarah kadieu,urg ges lila teu kadieu”. Asli terharu, walau saya ga pernah tau kedekatan mereka sebelumnya, tapi kabayang pisan mereka dulu bukan sekedar sahabat, tp keluarga dan bahkan sodara yang selalu ada (dalam benak saya) hmmm a friend indeed “Pa punteun pimpin Doa na” saut pakims ke salah seorang penjaga makam, dan kamipun berdo’a tentunya semoga semua amal ibadah diterima disisinya dan mendapat tempat yang baik di alam sana amin ya allah ya rabbal alamin. Ta berhenti di situ,sayapun dengar pa kimung sedikit memberi tahu kepada anak anak kecil yang ada di sekitar makam “ieu the makam rock star” yess he is a legend pakims,sayapun sangat setuju. Oke,mari beranjak dari wisata rohani yang cukup mengharukan. Bah Olot, we are coming… Haha hari yang baik, nampak giri kerenceng lagi mnghibur warga dengan lagu lagunya,nice song bah ,mari ngibing pakims… selang beberapa lama, kika datang bawa beberapa ikat kangkung.hihih ayo masak. Pakims dan kika pun ke pasar untuk beli bumbu lain.dan ta lama kemudian “kawan kawan sayah pada datang bawa alat bakar cap kapal dan sayah kabandang.hahahhah” mang Okid dan mang hendra pun tiba hihihihh mari hajar liweut… ups punteun bah,kami bade nabeuh heula di nagrek kata pakims, secepatnya kembali merapat bah, dan liweut pun di tinggalkan T.T hikshiks asli lapar padahal mah.. hahah goes to nagrek sonictorment pun menghajar gigs ulang taunnya TIKUS KAMPUNG.heheh kali ini om dinan ta hadir,mang Okid pun ikut nabeuh hell yeah… mantaps mangs, selamat ulang taun “TIKUS KAMPUNG”. Waktunya kembali hahhaah kami pun ke station untuk menjemput teman mang Okid,walaupun jalanan di warnai kemacetan yang cukup hellyeah… lalu belanja ke swalayan daerah GDN.heu… sayah sama kawan sayah pada lapar ma hanaang. Wakakakkk baso ikan gorengan na mang,1 2 3 hajaaaarrr… kembali ke vila si abah.nampak giri kerenceng pun kembali tampil karena ada sesi pemotretan oleh beberapa mahasiswa yang saya ga tau berasal dari mana. Solalilali… solalilali… solali solali… hahaha very nice song I love all of song dari giri kerenceng, seakan ta puas saya mang hendra,mango kid,mang jawis ngibing malam itu di iringi giri kerenceng dengan additional palyer nya mang kimung.hahah hajar mang malam yang indah. Sesudah giri kerenceng beres nabeuh,bah olot mempersilahkan kita untuk tatalu dengan instrumennya.hihihhh hajar mang naon we… kohkol,celempung,karinding dan semua nya.hihihh cociks mari berpoto and say cheeerrrsss :D ta lama,kang Man pun datang,akhirnya si karat tatabehan dengan sinden sejatinya. Mari ngawih… Hmmm lapar ayo anak2 mari santap liweutnya, hajar… jengkol, sambel terasi, tahu, tempe, dan juga bayi gurita a.k.a cumi cumi.cociks pisan hihih… hah jam 10 lebih 15 mang, saya harus pulang. Sedih memang ga bisa ikut begadang bareung yang lainnya.maaf pakims, mang jawis, mang
okid, mang hendra, kang Man dan tentunya abah, saya duluan, ada beberapa task penting yang nunggu saya hajar dan akhirnya alhamdulilah saya sampai dengan selamat tanpa di pegat culik yang di kabarkan kawan kawan sayah.heu… Senang bisa ikut hari itu,dan saya tidak akan kapok untuk ikut lagi dikemudian hari.rahayu cs cs ku… (h. 178-179)
Ageman # 15, 9 Agustus, Senin, Kearifan Lokal Kasundaan Parakan Muncang dan Sejarah Pelestarian Karinding Bah Olot, Kemudian Kita Berenang Bersama Beliau di Sungai Cimanggung… Malam itu, awalnya saya akan wawancara bah Olot tenatng sejarah hidup beliau, kasundaan, dan tentunya juga tentang karinding. Namun demikian ternyata saya tak usah banyak bertanya karena Abah segera saja bercerita panjang lebar tentang berbagai hal. Ngadu bako kita malam itu dimulai dengan kisah Bah Olot tentang kasundaan yang ia pahami berdasarkan kearifan lokal yang beliau alami, dengar, dan rasakan semenjak kecil hingga hari ini di Parakan Muncang. Kearifan local ini ia tarik dari sejarah Sunda yang ada di Parakan Muncang serta empat kerajaan besar kekuasaan Prabu Siliwangi di Tatar Sunda : Cirebon, Sumedang, Galuh, Banten, pengaruh Islam yang bersinergi dengan ajaran Prabu Siliwangi, juga berbagai mitologi, terutama legenda Sangkuriang berdasarkan logika geografis parakan Muncang yang berada di sebelah timur tatar Sunda : tempat di mana Dayang Sumbi membuat gebyar-gebyar tanda matahari akan terbit di fufk timur katika Sangkuriang tengah sibuk membuat perahu yang kemudian ia tending dan menjadi Gunung Tangkuban Parahu. Dari berbagai latar sejarah dan mitologi itu kita jadi semakin mahfum bagaimana kita harus bersikap dan berlaku lampah sebagai orang Sunda yang mencerahkan, bukan orang Sunda yang sempit hati dan pandangan sehingga malah mempersulit diri dalam percaturan kerakyatan yang umum. Karenanya Bah Olot memiliki kritik tajam kepada berbagai gerakan aktivisme dan juga pemikiran yang sempit dan seakan mengurung Sunda dalam satu kotak tertentu sehingga membuat Sunda hanyalah dipahamai sebagai ras, sebagai sesuatru yang eksklusif, sebagai sesuatu yang asing teralienasi dan tak berbaur dengan yang lain. Sebuah ras yang mengagungkan diri sendiri sehingga akhirnya menjadi sombong. Di titik ini Sunda sebenarnya mulai mengerdil, jauh dari percaturan kerakyatan semesta, sebuah konsep yang sebenarnya sangat dekat dengan kasundaan. Dalam Islam identik dengan rahmatan lil alamiin, rahmat bagi semesta alam. Sunda yang eksklusif tak akan bisa jadi seperti ini. Karena itu bah Olot menghimbau agar kita tetap emmlihara sikap-sikap baik, ideal-ideal dan kearifan local Sunda sehingga dengan terpeliharanya diri sendiri, maka kehidupan social yang baik juga akan terpelihara kerena individu-individunya yang bersih dan sehat. Inilah inti berdirinya Kerajaan Pajajaran bagi Bah Olot. “Karajaan Pajajaran mah ayana di jero diri urang sorangan. Mun nilai-nilai kasundaan geus ditinggalkeun ku individu urang Sunda, harita Karajaan pajajaran sabenerna geus runtuh!” Kisah Bah Olot tentang kasundaan masih terus panjang lebar dan sangat mengasyikkan sebelum akhirnya tak terasa perbincangan mulai mengarah ke karinding. Bah Olot bercerita sangat banyak mengenai karinding dan sejarah panjang karinding di parakan Muncang. Leluhur Bah Olot yang membuka kawasan Parakan Muncang adalah keturunan ketigabelas Prabu Siliwangi. Karinding sudah dimainkan sejak masa Prabu Siliwangi oleh rakyat Sunda dan juga di masa-masa sebelum Prabu Siliwangi tampil sebagai raja Sunda. Namun demikian, yang membawa karinding ke Parakan Muncang adalah leluhur bah Olot keturunan Prabu Siliwangi ke tiga belas. Oleh mereka lah karinding terus dilestarikan dan dimainkan di berbagai hajat hidup rakyat, dari hajat buruan, hajat taun, upacara-upacara adat, hingga ketika gerhana bulan dan gempa bumi. Mata rantai ini sempat terputus akhir tahun 1800an ketika Abah Maja, buyutnya Bah Olot tidak memiliki pewaris pengrajin dan pemain karinding. Mata rantai karinding baru tersambung lagi ketika Bah Entang, ayah Bah Olot, memutuskan untuk terjun ke dunia karinding ketika ia terus terngiang dengan penglihatan dan pendengarannya akan karinding yang dibuat oleh kakeknya, dalam hal ini Bah Maja, buyut Bah Olot. Bah Olot juga kemudian mengungkapkan rahasia permainan karinding Giri Kerenceng sehingga apa yang dimainkan oleh Giri Kerenceng selalu enakeun gituhh hheuu… Ternyata rasa musikalitas karinding ciptaan Bah olot distel berdasarkan titi nada kacapi sehingga sebenarnya ada lima nada yang idealnya ada dalam satu permainan karinding. Jika satu karinding bisa mengejar dua nada saja, maka dibutuhkan minimal tiga orang pemain karinding untuk membangun nada-nada harmonis dan dinamis. Jika kita berpatokan pada titinada diatonic yang memiliki tujuh nada, maka setidaknya minimal kita harus punya empat pemain karinding yang bisa mengejar dua nada dalam satu karinding untuk mengejar nada-nada yang ideal. Jadi karinding dalam satu band ternyata tak harus satu surupan. Justru yang terbaik adalah memiliki beda-beda surupan, namun disiplin dan bertanggung jawab terhadap surupan yang ia mainkan. Inilah kunci lain dari
filsafat karinding selain yakin, sadar, dan sabar = disiplin dan tanggung jawab. Tak aka nada kesabaran tanpa ada kedisiplinan dan tanggung jawab yang besar terhadap diri sendiri dan kehidupan sosialnya. Bah Olot juga mengisahkan posisi celempung sebagai tetekon atau pemancang permainan karinding. Sebagai gong, celempung harus bisa menjembatani berbagai waditra yang dimainkan sehingga tak keluar dari gong yang sudah ditentukan oleh celempung. Dengan keberadaan celempung maka karinding dapat dimainkan dengan cara teratur, harmonis, dan terpadu. Mantap Bah… Karat lalu melakukan session dengan Bah Olot untuk mempraktekkan apa yang bah Olot ungkapkan. Kesempatan bagi Kimung mencoba celempung baru hehehehe… bah Olot menggunakan Kacapi Awi untuk menjembatani Karat memainkan karinding dan celempungnya. Wuiihh masih banyak banget nilai-nilai luhur yang diungkapkan bah Olot dalam ngadu bako semalaman kami. Yang jelas, dari apa yang diungkapkan bah Olot tentang semua kearifan dan kisah sejarah serta mitologi Parakan Muncang, maka kita pasti akan paham kenapa di setiap alat kriya kayu buatan Bah Olot selalu ada kata “Sampurasun”, “Jati diri”, “Padjadjaran”, “Giri Kerenceng”, atau simbol kujang dengan lubang empat, simbol empat kerajaan besar Pajajran : Cirebon, Sumedang, galuh, dan Banten. Hmmm sepertinya saya harus menuliskan secara khusus pandangan-pandangan Abah Olot mengenai Kasundaan, karinding, dan juga metode permainan karinding yang ideal menurut sang master dalam sesi essay yang lebih fokus. Rekaman di MP3 player saya menunjukkan waktu 1,5 jam dan punya Okid 3 jam merekam pembicaraan kami malam itu, so kami berbincang di halaman bersama bah Olot sekitar 4,5 jam dan waktu sepanjang itu sama sekali tak terasa heheheheee… Karena Kimung ketiduran di halaman, sementara yang lain juga terlihat sudah cape walau tetap saja exciting dengan apa yang diungkapkan Abah, maka kami pun dipersilahkan untuk beristirahat di dalam villa oleh Abah. (h. 181-182) Ageman # 16, Jumat Kramats, 20 Agustus. Akhirnya hari jumat tiba. Sejak pukul dua karinding attack dan kru sudah bersiap di Commonroom. Acaa akhirya dimulai jam tiga lebih, dimulai dengan sambutan oleh Gustaff dari Commonroom sebagai tuan rumah. Ustaff sedikit flashback, mengulas workshop karinding oleh Bah Olot tahun 2008 di Commonroom sampai sejarah Karinding Attack. Masuk ke fenomena yang sama di berbagai daerah di Bandung dan sekitarnya dan kahirnya ke pembuatan film documenter karrinding, tutorial, dank lip. Gustaff berharap ini bukan upaya pendokumentasian yang pertama dan terakhir tapi akan dilanjut dengan berbagai upaya pendokumentasian karinding lainnya. Gustaff juga menyoroti bahwa ekspansi karinding ke ranah video merupakan gejala avant-gardisme dalam perkembagan musik di Indonesia dan perlawanan perkembangan musik secara mainsream yang didominasi instrumen modern dari Eropa dan Amerika. Ini juga jelas merupakan kontribusi terhadap konstelasi global, di mana pada akhirnya hubungan lokal dan global semakin cair, membentuk semangat kebebasan untuk mengembangkan karya terbaik. Selamat untuk Under pic untuk perilisan film-filmnya!!! Setelah itu, sambutan dilanjutoleh dari Kapten Jek dari Under Pi cyan tetap saja malu-malu. Ia mengucapkan terimakasih atas kedatangan semua audiens dan bercerita mengenai penggarapan karya-karyanya tentang karinding dan keangannya akan masa pertama kali berkenalan dengan Karat. Sambutan lalu dilanjut oleh Man mewakili Karinding Attack yang menegaskan bahwa degan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh kolaborasi Under Picure dan Karinding Attack semoga kesenian tradisional aawian tidak dipandang sebelah mata, semua masyarakat bias menjaga dan mengembangkan karya tradisional, karya-karya ini diharapkan menjadi trigger terhadap kemajuan alat musik bambu, dan ditutup oleh ucapan selamat dan teruma kasih kepada Under Picture. Man juga tak lupa mengajak audiens untuk sejenak berdoa atas meninggalnya Aang Kusmayatna atau Kang Ibing dengan membaca Al Fatihah bersama-sama. Setelah iu, tanpa berlama-mala, MC Luna Ranti segera saja mengajak audiens menonton film documenter “Karinding Alunan Merdu Instrumen Bambu”. Film ini menampilkan sejaah dan fungsi karinding menurut Abah Olot dilanjut dengan sejarah karinding versi Abah Olot, alat musik lain yang sepermainan dengan karinding, filosofi dari bentuk karinding, jenis di Jawa Barat berdasarkan bahan, bambu dan kawung (aren), karinding dan dunia mistis, proses pembuatan karinding oleh Bah Olot, tata cara bermain karinding dari cara memang karinding, cara memukul karinding, posisi mulut, cara mengatur napas ketika memainkan karinding, hingga belajar karinding bersama bah olot, dan erbagai pirifgan yang digunakan dalam permainan karinding Bah Olot, tonggeret, gogondangan, iring-iringan, rereogan, serta pesan abah olot untuk generasi muda sunda. Film kemudian berlanjut ke markas Karinding Attack, dimulai dengan frame Man yang mengisahkan markas dan kehidupan karinding attack, komunitas, dan kelas karinding yang digagas karinding attack, kecenderungan siapa saja yg bermain, frame mang hendra yang mengisahkan kelas karinding dan arbitrasi sekitar Bandung yang tertarik belajar karinding di Kekar, serta latar para pemain karinding di Kekar; Mang Utun yang mengisahkan sekilas sejarah karinding dan bandung death metal syndicate, fenomena kekar dan wabah karinding. Film ditutup oleh pesan Man kepada nonoman untuk bangit tuktek dek saha wae posisna naon wae babarengan keur bangsa ieu, pesan Mang Utun “Sunda kiwari nyanding bihari, kudu nyaho karakter sunda, karakter leluhur sendiri” dan pesan Mang Hendra “Ulah hilap ngamumuyle budaya indung siorangan, jati kasilih ku junti!” Sehabis film documenter, pemutaan film berlanjut ke Behind the Scene penggarapan klip hampura Ma Part II, yang menayangkan Man, Andra, kru Under Pic, take per take, berbagai take session selama shooting, dan dilanjut dengan pemutaran klip Karinding Attack Hampura Ma Part II. Audiens tampak antusias melihat tayangan ini, dan ketika klip berakhir, Karat dan Under sama-smaa berdiri untuk saling bertukar kado, serah terima rasa terima kasih : DVD klip Hampura Ma Part 2 diterima oleh Man, poster klip diterima Ki Amenk, piagam ucaan terima kasih untuk film documenter “Alunan Merdu Instrumen Bambu” diterima Jimbot. Karat memberikan celempung dan karinding untuk Kapten Jek, Andra, dan Ilva. Acara berikutnya adalah penampilan Karinding Air Mata atau Kramat yang merupakan anak-anak Kelas Karinding asuhan Mang Hendra. Kramat terdiri dari enam pemain karinding, satu pemain suling, dan sau pemain celempung. Mereka membua pertunjukan malam itu dengan lagu klasik “Sabilulungan” dengan pirigan standar, dilanjut dengan lagu ciptaan sendiri mengalun seperti lagu Sunda lazimnya, puji-pujian terhadap Allah dan Rasulullah, doa selamat untuk ayah ibu. Lagu terakhir, Kramat bermain dobel celempung, membawakan lagu “Jampe-Jampe Harupat” dalam aransemen sendiri yang rancak. Ini merupakan doa-doa keselamatan bagi semua mahluk dan benda di alam dunia. Sambil menungu waktu buka, acara kemudian dilanjutdengan dongeng Kimung mengenai sejarah karinding. Ini merupakan hasil risetnya selama dua bulan sebelum acara dan bukan merupakan riset yang sudah tuntas. Dapat dikatakan ini adalah langkah awal menuju riset karinding yang lebih serius dan lebih objektif. Acara break dulu untuk buka puasa. Audiens saling berbaur, bersilaturahmi, saling berknalan dan mendekatkan diri. Kimung tampak ermain celempung bersama salah satu kru Under yang selama ini banyak sekali membantu riset dan pengarapan film-film Under Pic. Setelah Adzan Magrib dan buka puasa, Karat kini yang tampil. Dibuka oleh Rajah Bubuka yang menampilkan Mang bUdi Dalton sang presiden Brotherhood untuk merapalkan rajah, Karat menghajar audiens sepuluh lagu mereka. HAJAR MANGS!!!! Acara kemudian benar-benar dituutp degan pemutaran film DVD Permainan karinding oleh Mang Hedra. Uhhh sebuah acara yang sukses besar dilihat dari jumlah penonton yang mencapai dua ratusan orang dan semua terus bertahan dari awal samapi akhir acara. Mantaps!!! Salut untuk semua audiens yang hadir!!! Hellyeah!!!! (h. 187-188) Ageman # 17, 2 September, Kamis, Kepedulian Karinding terhadap Korban Kebakaran Jl Veteran : Karmila Project & Solidaritas Independen Bandung. Konser amal ini diotaki Yuki Karmila yang kemudian dibantu Angga Badilz. Awalnya adalah keprihatinan Yuki ketika suatu malam setelah kebakaran ia melewati Jalan Veterand an mendapati begitu banyak anak kecil yang mengamen di malam hari. Ketika Yui parker dan mengajak ngobrol beberapa anak, mereka ternyata adalah korban kebakaran Baranang Siang – Veteran. Ini tentu saja sangat menyentuh dan Yuki merasa ia harus melakukan sesuatu. Maka selama seminggu sebelumnya, ia berencana mengamen di kampus UPI untuk mencarid ana sekedar meringankan beban korban kebakaran. Namun banyak suara menyarankan untuk membuat charity di level yang lebih besar. Maka, Yuki mengontak Angga Badilz dan Kimung untuk membantunya membuat sebuah konser charity karinding untuk korban kebakaran. Ia juga mengontak Mang Tisna Sanjaya untuk ikut berpartisipasi yang segera disambut hangat olehnya. Yuki dan Badilz juga direkomendasi menghubungi Solidaritas Independen Bandung (SIB), menemui Addy gembel dan Reggi untuk membantu kelancaran acara. Awalnya konser ini akan digelar hari Minggu, namun urung karena berbagai persiapan belum matang. Namun demikian, Yuki dan Angga Badilz terus berkomitmen menggelar acara ini. Mereka lalu mengest dua kali sesi acara, yang pertama hari Selasa tanggal 31 Agustus, acaranya adalah kolaborasi mang Tisna dengan musik karinding di lokasi kejadian kebakaran. Yang diplot bermain karinding adalah Karat dan Karmila. Namun karena Karat banyak yang berhalangan, maka yang berkolaborasi dengan Mang Tisna hanya Karmila saja. Karat rencananya akan berkolaborasi dengan Mang Tisna di hari Kamis. Lukisanyang dilukis Mang Tisna selama karmila maen akan dilelang dan uangnya diberikan kepada korban kebakaran veteran. Untuk itu, foto lukisan langsung disebar di Facebook dan Twitter, berharaps emoga ada seorang dermawan yang akan membeli lukisan itu. Waktu yang kedua, ya hari Kamis ini. Adalah acara ngamen mengumpulkan dana untuk korban, sekaligus lelang lukisan, dan beberapa barang kecil seperti karinding Man Jasad, dll. Untuk acara hari Kamis ini ada empat band yang akan berkontribusi, yaitu Liven Up, Klopas, Karinding Militan feat Prima Tiga Pagi, dan Karat. Siang menjelang sore itu cuaca mendung, namun Gedung Indonesia Menggugat mulai dipadati massa karinding. Satu demi satu berdatangan untuk menghadiri konser amal tersebut. Karmila tampak sedang mengecek tata suara dan alat-alat panggung, sementara Man menyiapkan properti performance artnya, berupa hawu, kompor minyak tanah, dan kompor gas di pelataran panggung. Ia memang rencananya akan memasak sambil manggung. Akhirnya MC Addy Gembel membuka acara, dimulai dengan sambutan dari Angga Badilz mewakili SIB sebagai penyelenggara. Beberapa sambutan lain dari Gedung Indonesia Menggugat dan Karang taruna lokasi kebakaran terleatkan karena yang bersangkutan datang terlambat. Untuk itu, acara segera saja ke perform. Liven Up tampil pertama membawakan musik pop yang asik untuk sore hari itu. liven Up adalah Indri pada vokal, Amri pada gitar, Ega pada gitar, Ariq pada kibor, Arif pada carjon, dan Rio pada bass. Awalnya adalah kebersamaan Indri, Amri, dan Rio sebagai sesama anak SMA 20, namun Liven Up sendiri kemudian berdiri Juni 2010. Kini mereka bermarkas di Lombok 27. Liven Up membawakan tiga lagu mereka sendiri, “Apakah Ini Cinta”, “Bersama Dirimu”, “Sahabat Sejati”, dan satu lagu dari Radiohead “High and Dry”. Penampilan selanjutnya adalah, Klopas. Kang Agus dan partnernya tampil di panggung menenteng gitar dan menghangatkan sore itu dengan nomor-nomor lawas dari Iwan Fals. Uuhh sangat cocok dengan kondisi Indonesia padahal lagu-lagu Iwan Fals ini diciptakan sekitar tahun 1980an. Hmmm atau jangan-jangan kondisi di Indonesia sebenarnya tak pernah berubah dari waktu ke waktu dan hanya kita saja yang selalu tertipu oleh kesan-kesan perubahan yang berhasil dibangun politik citra republic mimpi ini? Hmmmm a hell… Karat manggung berikutnya. Awalnya Karat diplot maen terakhir namun karena Hendra harus segera berangkat naek travel jam 5 menuju Jakarta untuk wawancara Trax FM mewakili Karinding Attack dan juga komunityas karinding lainnya, maka Karat meminta Karmila untuk diseling. Untunglah mangs karmila bisa mengerti dan mempersilahkan Karat mempergunakan waktu mereka. Karat kembali mengundang Mang Budi Dalton salah satu guru kasundaan Karat dan tokoh yang sangat dihormati di scene jalanan oleh Karat, untuk mengisi Rajah Bubuka. Keberadaan mang Budi Dalton di panggung bersama Karat selalu sangat membantu secara mental. Sepertinya energi Karat bertambah berlipat-lipat jika mang Budi Dalton merajahkan doa untuk si Karat dan semua yang hadir di sana, di mana-mana. Rahayu Mang Budi!! Seusai rajah, Karat tak membuang-buang waktu langsung menggeber panggung dengan “Tabung Kehed” plesetan dari “Wasit Kehed”, kemudian “Burial Buncelik”, “Lagu Perang”, dan akhirnya “Kawih Pati” Seberes manggung, hendra langsung ciaaooww brangkits menuju Jakarta. Tiba di Jakarta, mang Hendra langsung diwawancara Marsya dari Trax FM dan Iis dari Media Indonesia mengenai dinamika karinding di Kota bandung sampai akhirnya bergelora ke mana-mana. Oww ya Hendra diwawancara bersama penggiat musik keroncong juga. Usai manggung, Kimung menghampiri Mang Budi yang sedang asyik SMSan. Kimung menceritakan rencana recording Karat di Kawe pertengahan September dan meminta kesediaan mang Budi untuk mengisi Rajah Bubuka di sesi recording nanti di Kawe. Ternayta Mang Budi menyambut ajakan Kimung! Whaaa trimakasih Mang Budi!! Rahayu slalu untuk Mang Budi!!! Setelah itu giliran Karmila menggeber panggung sekaligus menjadi penutup panggung sore itu. satu demi satu personil Karmila naik panggung : Kukuh, Akay, Maul, Acef, Trisna, Ntex, Alep, dan Yuki tampil. Mereka menggebar audiens dengan lima lagu mereka berturut-turut “Muringkak Bulu Punduk”, “Manunggalih Kaula Gusti”, “Persib Militan”, dan dua lagu yang merupakan kolaborasi ga Pagi, “Sembah Sayati” dan “Yes We Are Lost in Our Hometown”. Setelah Karmila, Man Jasad kemudian tampil memimpin lelang, diteruskan Reggie memberikan sedikit wawasan mengenai kebijakan pemerintah yang tolol tentang konversi minyak tanah ke gas yang ia sebut sangat berbau kapitralis dan memang itu adalah kebijakan kapitalistis total dari SBY seorang presiden pembimbang di Indonesia. (h. 193-195) Ageman # 18, 5 September, Minggu, Karat VS Donor Darah Part 3 FSRD ITB Porch. Sore itu sesuai permintaan, Karat dan Donor Darah kembali berkumpul di pelataran FSRD ITB untuk berlatih format pertunjukan medley lagu-lagu mereka. Karat yang datang hanya bertiga, Man, Hendra, dan Jawis saja. Yang lain semua berhalangan, tapi Kimung berjanji akan datang. Jam tiga itu ia SMS Man masih dalam perjalanan menuju Bandung, somewhere between Sukabumi dan Cianjur karena bis yang ia tumpangi, ngetemnya parah sekali. Di Donor Darah, Rily sang pencabik bass juga berhalangan hadir. Jeje yang biasa bergitar menggantkan Rily bermain bass untuk sementara. Tak jadi masalah karena pada intinya Karat masih bisa menyambung lagu-lagu Donor Darah melalui permainan celempung Handra dan karinding Jawis. Man juga jelas penting untuk datang karena vokal adalah elemen terpenting di Karat. Sebetulnya Kimung harusnya datang untuk lebih melengkapi bentuk medley. Smoga ia cepat datang. Dan lagu-lagu terus dihajar! Pasangan-pasangan medley Karat vs Donor Darah kembali diraungkan. “Donor Bagong” vs “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol”, “Pemberontakan Rakuti”vs “Maap Kami Tidak Tertarik Pada Politik Kekuasaan”, dan akhirnya “Donor Darah Paksa” yang dikesempatan itu karena Kimung tidak hadir, untuk sementara dirobah oleh Hendra dipasangkan dengan lagu “Wasit Kehed”. Setelah tiga putaran akhirnya menjelang magrib Kimung datang juga. Sambil menunggu buka puasa, Ghera membawakan celempung Kimung di Commonroom karena Kimung yang baru sampai banget tak sempat membawa celempung di Commonroom. Namun karena tak hapal tempat menyimpan si Big Jon, celempung besar Kimung buatan Bah Olot, maka Ghera membawakan Kimung celempung kecil batan Ago Cicalengka. Hmmmm that’s okay. Mantap juga!! Setelah buka puasa, Karat dan Donor Darah sepakat mengulang satu putaran lagi. Pasangan “Donor Darah Paksa” kembali disepakati dirobah menjadi “Burial Buncelik” untuk menjaga keseimbangan beat dan ruh lagu karena kini Kimung sudah ada untuk bergabung. And here we go!! Satu putaran cukup untuk memantapkan rangka kolaborasi medley Karat vs Donor Darah dan semua sepakat menyudahi sesi latihan sore itu. sambil mendengarkan alunan pengajian dari Masjid Salman menjelang tarawih, semua berbincang sambil menunggu hujan reda. Opi kawan Karat dari Widyatama juga bergabung karena akan buka bareng Kimung sore itu. (h. 199-200) Ageman # 19, 10 September, Jumat Kramats, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H Minal Adin Wal Faidzin, May Tomorrow Will Be Better Than The Last ^^. SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H MINAL ADIN WAL FAIDZIN, MAY TOMORROW WILL BE BETTER THAN THE LAST ^^ (h. 201)
Ageman # 20, 12 September, Minggu, Move Ahead To Cicalengka. Catatan perjalanan Kimung khusus dibuat untuk Jon 666: Karena tak tahan kangen sebulan ini ga ketemu Abah, aku akhirnya memutuskan buat bersilaturahmi kepada Bah Olot di hari ketiga lebaran. Okid dan Hendera tak berhasil aku kontak, sementara Wisnu sedang berada di Jogja. So, here i go alone. Aku juga janjian sama Ema, Kika dan Apuy di Cicalengka dan beberapa kawan di Tanjungsari. Hmmm semoag bisa ditemui semua. So menjelang siang aku berangkat. Lewat bypass jalanan lengang sekali, menuai rasa baru: coba kalo Bandung tiap hari seperti ini. Uhhh lancar semua. Sebelum jam dua nelas aku sudah ada di Parakan Muncang. Segera saja bersalaman dengan Bah Olot dan Mang dedi. Seperti biasa, mereka berdua tampak tekun dengan bambu dan pisau rautnya. Mang dedi tampak meraut karinding, sementara Bah Olotsibuk membuat celempung renteng melodi. Bentuknya seperti celempung biasa yang sering dibuat Abah, tapi distel bersusun enam sampai tujuh renteng menghasilkan suara yang melodis. Abah bilang ia akan mulai pakai celempung melodi selain juga menggunakan kohkol renteng. (h. 202) Ageman # 21, 29 September, Rabu, Giri Kerenceng Live Recording Session # 2 feat Kimung & Hendra Attack. Pagi yang cerah. Jam setengah delapan Kimung tiba di Kawe. Semua semangat pagi itu untuk melakukan sesi kedua rekaman Giri Kerenceng. Karena setting pertama kurang mengena untuk Giri Kerenceng, setting rekaman sepakat dipindahkan ke area Flying Fox di area pertigaan batas wilayah Bandung – Sumedang – Garut. Kru dan perso nil sarapan dulu sebelum mulai menyetting ruang rekaman, sementara Kimung, Hendra, jawis, dan jaka jalan-jalan ke Rumah Pohon. Di sana mereka kembali merasakan aura yang pas untuk merekam lagu-lagu Karat. Tak lama mereka kembali dan membantu setting rekaman untuk Giri Kerenceng. Bah Olot meminta Kimung mengisi karinding untuk Giri Kerenceng di sesi rekaman ini, karena Kang Rahmat, pemain karinding kedua Giri Kerenceng, harus pulang untuk menghadiri acara tumpek kampung adat esok harinya. Lagu-lagu yang akan direkam siang itu adalah “Sampai di Sini”, “Yanti”, “Bulan Sapasi”, “Hibar Layung”, “Sadar”, “Bulan Nu Moncorong”, “Lembur Matuh”, “Sagara”, “Sumedang”, “Giri Kerenceng”, “Rajah – Karinding”, dan akhirnya “Lagu Sisindiran”. Kembali Giri Kerenceng memperlihatkan performa yang mantaps! Rata-rata lagu hanya diulang hingga dua kali dan Bah Olot menyebutkan lagu-lagu sudah siap dibungkus. Hanya “Yanti” yang memerlukan enam kali take, itupun bukan karena kesalahan para pemain Giri Kerenceng, namun karena setiap kali “Yanti” dimainkan, selalu saja ada motor yang lewat dan suaranya terekam. Bahkan sampai akhirnya Giri Kerenceng menyerah dan memasrahkan “Yanti” di proses miksing, setiap Andri memutar Yanti dari file komputernya, selalu saja ada motor yang lewat. Dengan bercanda Jimbot berkata, “Si Yanti na hayangeun motor sigana Bah, mata motoreun hahahaha…” Untuk lagu “Rajah – Karinding” Hendra kini bergabung yang mengisi karinding bersama Mang Dedi dan Kimung. Permainannya yang mantap menambah aura magis lagu ini. Kimung sendiri hanya bermain menebalkan pola tonggeret di “Rajah” ia tak ikut main ketika “Rajah” usai dan Giri Kerenceng menyambung lagu ini langsung ke “Karinding”. Uhhh lagu lagu yang sangat mantap! Rancage!! Alhamdulillah, selesai sudah sesi rekaman Giri Kerenceng. Semua menarik napas lega dan duduk-duduk di kawasan flying fox Kawe sambil mendengarkan semua lagu yang sudah direkam diputar kencang-kencang dari komputer operator. Suasana sejuk membuat betah. Karena proses rekaman sudah selesai, para personil Giri Kerenceng akhirnya berpamitan pulang. Waditra-waditra segera dibereskan dan diangkut kembali ke sanggar Giri Kerenceng di Bah Olot dengan angkot yang dibuking dari Parakan Muncang. Andri, Casper, dan Wandi juga berpamitan pulang untuk kembali esok paginya. Jimbot dan Mang Iwan memutuskan untuk turun dulu dan belanja kebutuhan dua hari ke depan. Sementara itu, mengisi waktu luang, Okid, Kimung, Hendra, Jawis, dan Jaka jalan-jalan ke Cimulu. Kabarnya Cimulu adalah sebuah kampung yang jumlah rumahnya dari dulu hingga kini hanya sembilan rumah saja, tak bertambah maupun berkurang. Karena penasaran, merekapun memutuskan untuk melihat langsung Cimulu. Dari Kawe ke Cimulu kita harus berjalan melewati jalanan koral yang bisa ditempuh dalam waktu setengah sampai tiga perempat jam. Kampung ini ada di lembah dan jika malam tiba dinginnya minta ampun. Mang Iwan yang lumayan sering ke Cimulu berkisah, dinginnya bisa mencapai hingga lima derajat selsius di sana. Tak jarang kampung ini juga bagaikan hilang tanpa jejak jika sedang terselimuti halimun. Jalanan koral menuju Cimulu melewati tiga titik batas Bandung – Garut – Sumedang, dan melewati melewati makam Eyang Pameget yang seluruh badan makamnya diselimuti lumut lembut yang menyejukkan mata, makam Eyang Sakti yang sepanjang perjalanan masuk ke dalam makamnya juga diselimuti lumut, hingga akhirnya tiba di Cimulu dan bertemu Ma Nyai, kuncen Cimulu. Kami berbincang, mendengarkan Ma Nyai bercerita tentang Cimulu, tentang karuhun yang sudah membuka kampung ini, mempersilahkan para petani untuk tinggal di Cimulu dan bertanam kopi di jaman penjajahan Belanda, pertanian tahun 1970an, hingga akhirnya masa kini. Ia juga mengisahkan berbagai karakter karuhun serta kesaktian mereka sehingga Cimulu terkenal di luaran dan banyak yang ziarah menujju makam para Karuhun. Kimung memotret makam Eyang pameget, Eyang Sakti, Aki Omo, dan seluruh landscape Cimulu dari berbagai sudut. Dalam perjalanan pulang Mang Okid, mencetuskan ide untuk merekam tawasul Ma Nyai dalam album Karat. Well, what a brilliant idea!!! Malam akhirnya tiba dan semua awak tidur dengan nyenyak di aula Kawe. (h. 214-216) Ageman # 22, 30 September, Kamis, Karat Live Recording Session # 1. Baru juga awak tidur, masuk jam satu dini hari rombongan Karat berikutnya tiba. Man, Mang Utun, Ghera, dan Ranti datang setelah perjalanan dua jam dari Commonroom. Mereka juga segera beristirahat untuk bersiap pagi nanti. Dan pagi yang cerah Kamis itu! Sejak pagi kru dan personil mengeset alat di Rumah Pohon Kawe. Sementara itu, Okid, Kimung, Ranti, dan Ghera berangkat ke Cimulu untuk bertemu Ma Nyai dan menanyakan kesediaannya dalam memberikan tawasul untuk si Karat. Namun di tengah perjalanan, rombongan bertemu dengan Ma Nyai yang akan berangkat untuk memenuhi sebuah undangan. Namun demikian, Ma Nyai berjanji akan singgah di aula Kawe dalam perjalanan pulangnya nanti. Rombongan pun meneruskan perjalanan menuju, dua makam dan kemudian memutar ke rumah pohon untuk bergabung dengan yang lain mempersiapkan rekaman di Rumah Pohon. Sampai di Rumah Pohon terlihat beberapa alat sudah siap, tinggal diset, namun yang lain ternyata belum kembali ke Rumah Pohon, karena itu rombongan segera menuju aula untuk membantu persiapan lainnya. Di aula, semua personil dan kru bersiap-siap. Tampak Ki Amenk sudah datang di aula Kawe dan terlihat siap untuk merekam hari itu. Lengkap sudah Karat semua!! Setelah mandi dan sarapan semua berduyun-duyun ke Rumah Pohon untuk mengeset alat. Kimung, Okid, Man, dan Addy Gembel berangkat belakangan karena akan menunggu dulu Ma Nyai. Di tengah persiapan, Mang Gembok dan dua kawan dari Sunda Metal datang berkunjung. Welcome mangs!! Terdapat perdebatan mengenai lokasi take. Kimung, Jimbot, Hendra, dan Jawis cenderung ingin di lapangan tengah di mana rumah pohon mengelilingi area. Ini merupakan tempat rekaman yang ideal karena semua energy kawasan itu berpadu di sana. Suasana yang tercipta juga lebih kena. Namun demikian suara genset terdengar lumayan jelas dari area itu. Kimung sempat meminta area mikser dipindahkan ke tengah-tengah arena, di kolong salah satu rumah pohon agar genset bisa dipindahkan lebih jauh lagi. Sementara itu, Man dan Okid memilih mencari aman, merekam di halaman salah satu rumah pohon menjauh dari area lingkaran lapang. Jimbot menegaskan, “Rekaman di tempat eta mah sarua weh jeung rekaman di aula!” cetusnya. Namun karena Man, Okid, dan yang lainnya sudah mengeset, akhirnya rekaman sesi pertama dilakukan di sana. Semua bersiap-siap untuk segera merekam. di tengah persiapan Kika dan kawan sekolahnya datang dan meilhat proses rekaman dari posisi mikser. Welcome Kika!! Setelah Karat berdoa bersama-sama, sesi rekaman dimulai! “Burial Buncelik” adalah lagu pertama. Setelah empat kali take, Karat memutuskan untuk merekam lagu selanjutnya. “Wasit Kehed” digeber kemudian. Di lagu ini Kimung kehabisan napas dan bernyanyi sampai serak. “Washed” memang lumayan menyedot tenaga, dan ketika harus diulang-ulang lima sampai enam kali, ini tentu saja sangat menguras tenaga. Karat akhirnya, memutuskan untuk merekam lagu selanjutnya, “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol”. Lagu ini juga tak kalah menguras tenaga, namun tak separah “Washed”. Setelah “Nu Ngora”, Karat langsung mengeber “Lagu Perang”. Lagu ini relatif lancar, hanya diulang empat sampai lima kali setelah akhirnya diputuskan untuk break dulu karena hujan. Sambil menunggu hujan, Karat mendengarkan hasil rekaman. Hasilnya jelek banget! Banyak suara yang tidak seimbang karena kurangnya control antara personil dengan engineer. Andri mungkin engineer metal jempolan dan dia juga sudah pernah merekam Karat dalam hampura Ma II, tapi Andri sama sekali belum mengenal karakter instrument secara mendalam dan perlu didampingi oleh Karat sepanjang control dilakukan. Dalam jarak yang saling jauh antara Andri dan Karat, sulit melakukan koordinasi, terutama koordinasi kualitas suara. Karena itu, suara gong celempung Kimung tak tertangkap dengan jelas. Tepakan dan hantaman celempungpun demikian. Pun, celempung Hendra tak begitu jelas. Ini jelas menjadi bahan evaluasi bahwa karat dan engineer harus berkumpul di satu area agar bisa mudah berkoordinasi. Kimung segera saja ngotot memindahkan lokasi rekaman ke tengah lapangan Rumah Pohon. Sereda hujan, semua segera mengeset ulang posisi rekaman. Di sini suasana memang terasa lain. Lebih enjoy, lebih fokus. Jimbot, Wisnu, Andri, dan Gembel memindahkan genset lebih jauh dan membendung air sungai agar bersuara lebih besar meredam suara genset. Gembel bahkan membuatkan rumah-rumahan buat genset agar terlindung dari air, embun, atau hujan jika hujan turun. Setting personil juga lebih sejajar karena ada di tanah lapang, membentuk satu lingkaran. Di sisi timur, berjajar sesi karinding—Mang Iwan, Mang Utun, Ki Amenk, dan Jawis. Di sisi selatan diisi sesi celempung Hendra dan Kimung. Di sisi barat diisi sesi waditra tiup Okid, sementara di utara diisi sesi tiup Jimbot. Operator miksing ada di sisi utara dan berada lumayan dekat dengan rekaman sehingga bisa berkoordinasi dan evaluasi secara langsung mengenai proses take. Dalam posisi saling berhadapan, salng berdekatan, tata suara lebih bisa saling memperhatikan sehingga tercipta suasana rekaman yang lebih efektif. Di tengah persiapan Apuy datang. Jam empat sore rekaman kembali dilanjutkan. Di setting ini, rekaman dimulai dengan “Maap kami Tidak Tertarik Pada Politik Kekuasaan”. Untuk lagu ini Ranti, gembok, dan Apuy diminta bernyanyi bersama. “Maap” tak banyak diulang. Hanya tiga atau empat kali take karat sudah puas dan sepakat mengulang “Burial Buncelik”. Lagu ini juga tak memiliki kendala berarti dan berhasil direkam dengan baik. “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol”, “Wasit Kehed”, “Dadangos Bagong”, “Lagu Perang”, “Sia Sia Asa Aing”, berhasil direkam. Di tengah sesi rekaman, Abah Olot dan Mang Dedi datang dan ini menambah semangat untuk Karat. Sementara itu, Mang Jaka dan Ghera diminta secara khusus oleh Okid dan kimung untuk menemui Ma Nyai dan menanyakan kesediaannya untuk melakukan tawasul. Senja semakin tiba, dans etelah beristirahats ebentar. Karat kembali melakukan sesi rekaman berikutnya. Sementara suara hutan kareumbi area Rumah pohon semakin ramai saja. Burung kaak, tonggeret, turaes, dan binatang-binatang hutan lain mulai reang menyambut matahari yang terbenam. Suasana mistis peralihan siang ke malam semakin terasa sementara matahari senja terbias butiran hujan di pinus yang merobek-robek senja memerah itu dengan silhuetnya. Karat kembali memulai sesi rekaman dengan “Kawih Pati”. Mereka hanya melakukan dua sesi take dan memutuskan tidak akan emngulang lagi. Di sesi kedua Kimung bermain peluit jatiwangi yang terbuat dari tanah menirukan suara sirit uncuing, manuk jurig penanda kematian. Selepas magrib senja makin turun dan malam semakin gelap. Beruntung pertomaks gas segera tiba dan membantu penerangan rekaman. Namun sedikit insiden terbakarnya kaos petromaks dan kehawatiran takut api membakar gas sedikit mengganggu konsentrasi Karat. Namun dmeikian dalam lampu yang diset remang, Karat melanjutkan rekaman ke “Bubuka”. Di lagu ini, Mang Budi Dalton seharusnya mengisi sesi rajah. Namun demikian, sampai keberangkatan man dkk ke Kawe, Mang Budi tak juga bisa dihubungi. Akhirnya Man memutuskan untuk membawakan sendiri rajah dari teks rajah yang ia dapatkan dari buku rajah. Semua bermain karinding dalam “Bubuka” dan tentu saja ini hanya dilakukan satu kali saja. Malam semakin larut ketika Karat akhirnya merekam “Yaro”. Lagu ini masih saja susah dicerna untuk dimainkan, bahkan hingga saat-saat terkahir rekaman. Akhirnya disepakati saja bahwa dalams esi rekaman saat itu, hanya rampak celempung Kimung – Hendra – Jimbot yang akan direkam. Maka mereka bertiga memulai take. Tiga kali take sepertinya tak memuaskan dan akhirnya take kembali terpotong oleh hujan. Sambil menunggu hujan reda, semua mendengarkan hasil rekaman tadi. Kali ini kualitasnya jauh lebih baik. Man tampak tekun memilih take mana yang terbaik untuk dibawa ke studio sebagai bahan miksing dan ditambah fill in. ia mencatat semua di buku Kimung. Sementara itu hujan mulai mengecil. Karat tampak asik bergabung dengan bah Olot yang sedang sidenag di api unggun kecil yang ia buat bersama mang Dedi. Tak disangka tak dinyana, Andri kembali emmbereskan setting, padahal rekaman belum juga usai malam itu. karat masih emngunggu Ghera dan Jaka yang sedang memanggil Ma Nyai. Bagaimana jika Ma Nyai datang dan tak jadi direkam? Dan benar saja, ketika setting alat selesai dibereskan, Ghera, Jaka, Ma Nyai dan salah satu putra kembarnya datang. Karat segera mengeset ulang alat. Jimbot, Kimung, dan Jawis segera menyalakan kembali genset yang kembali susah dinyalakan. Dan yang membuat merinding, rumah-rumahan genset yang dibuat Gembel ternyata sudah berantakan bagaikan diamuk sesuatu malam itu. Yang jelas bukan diamuk hewan karena tak mungkin ada hewan memporakporandakan semua tanpa mengahncurkan gensetnya. Hmmmm… Akhirnya rekaman tawasul dimulai. Ma Nyai memulai pembacaan tawasul dengan berdoa dan bersimpuh di tanah. Setelah siap, ia memberi tanda kepada semua, dan mulai melakukan tawasul. Setelah puji dan puja kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan para nabi, serentetan nama yang berkaitan dengan sejarah bumi ini, sejarah keyakinan,serta leluhur-leluhur yang berkaitan dengan peradaban dunia, Sunda, serta khususnya Cimulu ia hadiahi doa dan puja-puji. Ma Nyai berdoa dalam bahasa Sudna dan kemdian ke bahasa Arab. Bahasanya lancer mengalir, mengalunkan nada-nada mistis dalam segala kata dan bunyi huruf yang dilantunkan dalam rima puja-puja yang sacral. Karat mengiringi doa-doa dengan pirigan karinding buhun dengan gong celempung yang dipukul satu-satu, konstan, berulang-ulang dan meditatif. Tawasul Ma Nyai panjangnya hamper setrngah jam setelah Ma Nyai meringkas tawasulnya. Ada aura lain yang terasa selapas tawasul ma Nyai selesai. Perasaan lega, lapang dada, dan ketenangan yang magis. Tak terdefinisikan. Sayang, tawasul ternyata tak terekam semua. Hanya lima belas menit terkahir yang terekam karena Andri menyangka tawasulan tadi merupakan latihan. Kimung terlihat sangat kecewa dengan kenyataan ini. Sementara alat terus dibereskan dan ma Nyai serta kedua putranya yang tad tertidur sepanjang tawasul, berpamitan dan kembali di antar pulang oleh Ghera dan jaka. Kimung, Hendra, dan Jawis bermalam di Rumah Pohon untuk menjaga alat, sementara yang lain kembali dan tidur di aula Kawe. (h. 216-220) Ageman # 23, 1 Oktober, Jumat Kramats, Karat Live Recording Session # 2. Paginya, Kimung, Hendra, Jawis, Kimo, Dado, dan Addy Gembel mengangkut alat ke Kantin Kawe yang kosong agar gampang mengeset alat di Rumah Adjie. Setelah tiga kali bolak-balik Rumah Pohon – Kantin Kawe, semua barang akhirnya terangkut. Setelah sarapan di warung sebelah bendungan Kawe dan mandi, kru dan personil akhirnya mulai mengeset alat-alat. Lokasi rekaman hari terkahir adalah di halaman samping dalam Rumah Adjie. Suasana Rumah Adjie tak kalah mistis dengan Rumah Pohon. Rumah ini diresmikan tanggal 6 Juni 1966—identik dengan number of the beast 666. Adjie di sini sepertinya adalah Ibrahim Adjie, salah satu Panglima Siliwangi yang serjasa membuka dan mengembangkan Kawe. Bangunan ini sendiri sudah lama kosong dan halaman samping antara dua rumah Adjie terbentang lapang kecil yang diselimuti lumut-lumut yang membuat kawasan itu begitu hijau. Di sanalah Karat mengeset untuk mulai rekaman jam sepuluh. Hari ini rencananya akan mengejar rekaman “Ririwa Di mana-Mana”, “Gerbang Kerajaan Serigala”, dan mengulang “Tawasul Ma Nyai”. Maka setelah semua siap, menjelang jam dua belas “Ririwa Di Mana-Mana” segera digeber. Untuk lagu ini Karat kembali meminta bah Olot untuk bermain karinding bersama Hendra, Mang Dedi, dan Mang Utun. Kimung, Okid, dan Ranti ikut bernyanyi bersama Man, sementara Jawis bermain kecrek, dan Mang Iwan bermain suling. Setelah beberapa kali take ulang Karat tak juga merasa puas, akhirnya mereka memutuskan untuk break. Sambil break dan Karat mengutus Ranti, Ghera, Kimo, dan Dado untuk meminta kesediaan Ma Nyai kembali merekam tawasul. Karat sendiri akhirnya memutuskan untuk mengulang “Ririwa” dua kali lagi sebelum diputuskan berlaih ke “Gerbang Kerajaan Serigala”. Selesai “Ririwa” rombongan penjemput Ma Nyai kembali datang. Kini Ma Nyai disertai dua putra kembar dan suaminya. Suasana langsung ramai dengan kedatangan dua putra kembar Ma Nyai yang semuanya aktif hahaha… Untunglah ma Nyai bersedia mengulang tawasul walau ia sendiri sedikit heran apakah tawasul bisa dilakukan di siang hari? Hehee tapi karena Ma Nyai sendiri sudah paham jika ini adalah rekaman model tawasul saja maka ia bersedia melakukan tawasul. Dan Ma Nyai juga kemudian menguatkan Karat jika ia bersedia melakukan apa saja untuk mendukung kebangkitan kesenian tradisional, terutama karinding. Maka tawasul kembali dilakukan dan kali ini berjalan mulus walau sempat dua kali terekam suara motor dan sorakan para mahasiswa Unpar yang sedang hiking menuju Kawe. Namun demikian secara umum semua selesai. Alhamdulillah! Ahung rahayu Ma Nyai!!! Sehabis rekaman tawasul, Kimung lalu mewawancara Ma Nyai berkaitan dengan tawasul dan kisah-kisah Cimulu. Sementara itu, Mang Jaka dan kru yang lain melakukan syuting permainan karinding Bah Olot untuk DVD kelas lanjutan dari karinding Mang Hendra yang rilis beberapa waktu sebelumnya. Dalam satu sesi rekaman karindingnya, Bah Olot didampingi pasukan Karat : Ki Amenk, Jawis, Hendra, Mang Iwan, dan Mang Utun. Suasana semakin temaram dan kahirnya Karat memutuskan untuk mengakhiri sesi rekaman live di Kawe untuk kesempatan saat itu dan disambung dengan rekaman fill di studio. Lagu “Gerbang Kerajaan Serigala” dan “Yaro” disepakati direkam di studio. Kru dan personil semua membereskan alat dan waditra. Dado dan Kimo mengantar kembali Ma Nyai ke Cimulu, Okid pergi ke bawah untuk mencari angkot yang bisa disewa untuk membawa alat-alat ke sanggar Bah Olot di Cimanggung. Ketika bersiap-siap pulang, Wija dan Trica datang. Sayang sekali kalian berdua terlambat datang say hahahaha… Akhirnya semua kemudian pergi ke Bah Olot untuk bermalam di sana. Semua berkumpul di pelataran sanggar menunggu liwet yang sedang dibuat oleh Mang Dedi. Sambil bercanda bersenda gurau semua melepas penat rekaman dihibur oleh tembang-tembang Mang Maman tentang randa hahaha… tak terasa, liwet akhirnya masak dan semua makan bersama. “Agama mah ageman, nu ngabela urang, nu nuntun urang ngarah teu nyasab. Agama teu perlu dibela. Gusti oge teu perlu dibela.” Bah Olot (h. 220-222) Ageman # 24, 9 Des, Kamis, Darah Hitam Kebencian Session #6, Norvan Hardian Pecandupagi R.I.P, wawancara Kimung dengan Risa Saraswati. Latihan hari ini diset dilakukan dari siang hingga malam. Di sesi siang, yang latihan hanya Andris, Jene, Hendra, Kimung, dan Jawis karena Papay berhalangan hadir. Ia baru bisa hadir di sesi latihan malam karena harus mengajar drum terlebih dahulu di Purwacaraka. Namun demikian hingga sore latihan belum juga dimulai hingga akhirnya datanglah kabar itu : Norvan Pecandupagi—sahabat karib kimung kondisinya semakin kritis karena pecahnya pembuluh darah akibat kanker pancreas yang dideritanya. Kimung memutuskan untuk berpamitan dan bergegas menjenguk Norvan. Norvan meninggal dengan tenang bada magrib. Rest in peace brother… Work on!. Malamnya Kimung hadir di Commonroom untuk sesi wawancara dengan Risa Saraswati, vokalis
Sarasvati yang sudah satu bulan ini menjadi rekam kolaborasi Karat. Wawancara yang sangat menyenangkan mengenai kabar-kabar terbaru Sarasvati, latar belakang dan sejarah musikalitas Risa, tentang Sarasvati, tentang persinggungan Risa dengan Ujungberung Rebels dan Karat, tentang penulisan sejarah Ujungberung Rebels dan juga tentang karinding. Mungkin nanti Kimung sendiri yang akan merilis hasil wawancaranya dengan Risa. Yang jelas wawancara ini dilakukan untuk buku Panceg Dina Galur, Ujungberung Rebels. Dalam jurnalnya Kimung menulis, “Betapa saya selalu berdoa kepada kawan-kawan yang selalu mendukung Karinding Attack agar mereka senantisa berada dalam kesehatan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kerahayuan. Risa adalah musisi yang sangat berbakat, semoga bakatnya ini bisa memberikan warna bagi musik pop di manapun di dunia ini dan ia akan sukses selalu atas kerendahan hatinya kepada siapa saja, amiin.” (h. 285-286)
Ageman # 25, 11 Des, Sabtu, Manunggaling Kawula Gusti dan Perdebatan mengenai Nyunda. Karat tak bisa manggung di acara ini karena Mang Man harus manggung di Makassar dan Palangkaraya bersama Jasad. Untuk itu Kimung lalu berinisiatif membuat band baru yang sekiranya bisa menggantikan Karat. Band yang ia buat adalah Paperback Reader, salah satu format music karinding-celempungan yang membawakan lagu-lagu The Beatles. Paperback terinspirasi dari sosok
Zemo yang begitu mencintai The Beatles dan meyukai singalong lagu-lagunya The Beatles. Namun bukan itu yang utama. Kimung ngotot membentuk Paperback agar anak-anak Karat, terutama yang inti mengaransemen lagu bisa berlatih nuansa lain dalam menggarap lagu dan para back up vocal bisa berlatih bernyanyi dalam nuansa yang harmonis. Kimung kira band paling harmonis membangun suara satu suara dua adalah The Beatles dan Nirvana. Pilihan Kimung kemudian jatuh ke membawakan lagu-lagu The Beatles. Ia meminta tolong David untuk bermain gitar di proyekan ini. Sepertinya Angga Badilz sang manajer telah membuat review acara ini di Facebook kemarin. Saya kopi paste saja review yang ia bikin, silahkan klik di
http://www.facebook.com/note.php?note_id=468912826790 Atau bisa juga di klik di
http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fformagz.com%2Ffor-event%2Fkarmila-manunggaling-kawula-gusti&h=c7160 untuk review acara yang dimuat di Formagz. Saya hanya akan menambahkan beberapa hal yang ingin Kimung ungkapkan secara personal mengenai pertanyaan pertama yang sedikit menyengat dari seorang teteh-teteh ceesnya Akay, “Kenapa harus membawa-bawa beberapa keyakinan bahkan agama besar dalam bermain music karinding? Kenapa tidak membedah sisi kasundaan saja demi vitalitas bersama?” Ini pertanyaan yang melelahkan untuk dijawab. Bukan karena jawabannya sulit, tapi karena pertanyaan ini sudah begitu sering dilontarkan dan diskusi-diskusi mengenai kasundaan sudah begitu sering digelar oleh anak-anak sehingga pertanyaan seperti ini terasa begitu membosankan. Namun ini adalah forum lain dan pertanyaan harus dijawab. Manunggaling kawula gusti adalah ajaran yang dibuat oleh Syekh Siti Jenar yangnotabene adalah seorang beragama Islam dan hidup dalam tradisi Jawa yang kental. Otomatis studi mengenai “Manunggaling Kawula Gusti” jelas harus mempelajari dua ajaran tersebut : Kejawen dan Islam. Terkecuali jika Jenar berasal dari Sunda, maka diskusi mengenai Manunggaing Kawula Gusti pasti akan bersumber dari Kasundaan. “Bisa saja saya belokkan ke diskusi kasndaan, namun tak adil sepertinya bagi sejarah ajaran Manunggalking Kawula Gusti yang kemduian seakan-akan harus disundakan sementara inti ajaran Kejawennya sendiri terupakan begitu saja. Saya kira banyak nara sumber yang lebih kompeten membahas ajaran sinergi dengan tuhan ini dalam konsep-konsep kasundaan. Saya di sini hanya memerikan kilasan sejarah yang melatari lahirnya ajaran ini.” demikian dengus Kimung dengan lelah. Mengapa Karmila harus mengeksplorasi ajaran ‘Manungaling Kawula Gusti’ sebagai lirik mereka? Bukankah masih ada konsep kasundaa lainnya yang bisa diangkat? “Duh ini juga pertanyaan lain yang tak kalah konyol untuk dijawab. Saya kira saya akan snagat merasa konyol jika saya ikut menjawab pertanyaan ini. Namun biarlah saya jawa juga. Saya kira siapapun di dunia ini bebas untuk menyukai apapun, termasuk dalam menyelami tema-tema yang sifatnya ideologis seperti ajaran manungaling. Dan untuk menyukai secara murni tak harus ada alas an. Ini seperti menjawab pertanyaan konyol dari seorang gadis, ‘kenapa sih kamu mencintaiku?’ Cinta ya cinta! Tak ada alasan utnuk mencinta. Jikapun kita kemudian dipaksa untuk beralasan, tentunya kemurnian cnta akan ternoda dengan penjelasan. Cinta tak butuh penjelasan. Pun apa yang kita sukai. Jika kita menyukai manunggaling kawula gusti, tak peduli berasal dari mana konsep itu berasal, kita pasti akan terus mencintainya. Lagi pula manunggaling kawula gusti adalah ajaran yang universal, tak lekang oleh kedaerahan sebatas Jawa atau Kejawen saja, semua peradaban di dunia memiliki satu konsep sama dengan manunggaling. Tak perlulah saya sebutkan contoh-contohnya, brows saja di google. Adalah hal yang konyol jika awalnya kita menaruh hormat pada seseorang karena kita mencintai pencapaian-pencapaiannya, lalu karena belakangan kita tahu ia orang Jawa atau Batak atau Yahudi atau Negro, rasa hormat kita tiba-tiba buyar. Hormat adalah hormat. Tak mengenal batasan ras, suku bangsa, dan agama. Jika saya seakan memajukan ras tertentu, agama tertemu, suku bangsa tertentu, karena ini memang relevan banget dengan tema yang sama bawakan : manungaling kawula gusti, asal Kejawen dan diadopsi Islam oleh Jenar. Kimung lalu menambahkan, “Lagi pula degan kebebasa itu kita boleh dong mengeksplorasi tema apapun di luar budaya kita. Hal ini akan mengasah kita untuk saling asah – saling asih – saling asuh karena silihwangian bukan cuma dengan saudara sedarah namun juga saudara yang liyan. Bukankah setiap peradaban memiliki konsep surge yang sama? Yag jika kemudian surge-surga itu bersatu kita bisa hidup dengan harmoinis di dalamnya. Atau misalkan jika memang tak ada surge seperti dalam konsep reinkarnasi; bagaimana jika kita orang Sunda ketika kita mati dan lalu dilahirkan kembali menjadi orang Jawa misanya, atau orang Nepal, atau orang Eropa? Dan setelah konsep ini diyakini, sudah relevankan kengototan kita akan kemurnian darah dan ras?” Arrgghh sudah ahh saya ga akan meneruskan cuplikan obrolan saya degan Kimung. Panjang boooo hahahaha… Lagi pula saya tutup saja dengan penggalan kata-kata Kimung diakhir obrolannya, “Kalo kita bisa melihat degan seksama, Karmila tak harus menggadang tema Sunda dalam liriknya. Kita lihat saja penampilan mereka sudah memakai iket. Lirik lagu Manunggaling Kawula Gusti juga Sunda walau bertema Kejawen. Ngobrol sehari-hari berbahasa Sunda. Tingkah laku dan gaya sudah nyunda banget. Justru dega kemduian menyebrang ke ranah emikiran lain di luarSunda, itu namanyarebitalisasi! Dan ini menjadi revitalisasi yang membangun jika kita melihat Karmila tetap saja nyunda, tak lantas jadi Kejawen,” tandasnya. Kimung lalu membahas Panceg Dina Galur sebagai imbangan Papat Kalima Pancer yang menjadi inti ajaran Manunggaling Kawula Gusti, ketika ia menjawab pertanyaan penuh retorika dari Miing yang menyinggung masalah masa depan generasi dan masyarakat. Jawaban ini juga sekaligus memperjelas inti yang kebih sederhana mengenai apa yang harus kita lakukan untuk tidak terbawa arus penghancuran alam dan kehidupan oleh manusia dewasa ini. Well, well, selamat kepada Karmila yang kini sudah meiliki video klip “Manunggaling Kawula GUsti”! Klipnya keren banget mangs!! Full artwork from hell!! Mantaps!! Hajar terus jalanan!!! (h. 288-90) Ageman # 26, 15 Jan, Sabtu, Karat vs Sarasvati di Bazaar SMA 2 Bandung, Sabuga, dan Man Jasad Vs Ausie Noise. Jam setengah lima Karat dan Sarasvati sudah berkumpul di ruangan artis Sabuga yang telah disediakan oleh panitia bazaar SMA 2 Bandung. Karat dan
sarasvati dijadwalkan manggung jam lima sore, dan jam segitulah mereka akan naik panggung menututp sesi pertunjukan sebelum break adzan magrib. Mantaps! Berkali-kali saya kagum dengan profesionalitas adik-adik di SMA 2. Mereka begitu sigap dan juga sangat berdisiplin dalam mengatur acara. Semuanya tepat waktu dan berjalan dengan baik. Saya selalau kagum dengan hasil kerja anak-anak SMA. Kalian semua pol!! Kru juga bekerja dengan sigap mengeset panggung ketika panitia sudah meminta Sarasvati dan karat untuk bersiap-siap. Dan ketika MC sudah emmanggil Sarasvati dan Karat, semua sudah benar-benar siap, sampai akhirnya Risa naik ke panggung dan memulai pertunjukan. This is the show time baby!!! Risa membuka pertunjukan dengan “Perjalanan” dari Franky and Jane. Semua tampak santai mengiringi nyanyian Risa diiringi lantunan merdu Dian dan Sella. Tata lampu yang pas dan penonton yang menunjukkan antusiasme tinggi melengkapi atmosfer nyaman sore itu. Karat banyak melakukan improvisasi spontan mengiringi lagu ini di panggung, di samping pola utama yang sudah fiks dilatih di studio. Tepuk tangan panang menutup “Pejalanan” malam itu. “Fighting Club” langsung dilantunkan kemudian. Intro duet kibordis Fery-Yura bersahutan dengan renteng Kimung-Papay dan indung Hendra, membangun suasana “Fighting Club”, diombang-ambing dengan suling Jimbot yang bahayiks. Nada semakin naik, semakin naik bersahutan dengan drum hingga akhirnya Risa masuk, “We are happy family…” Yea, we are happy family brother and sister. There’s a lot goin’ on and still we are happy family ^^ Semakin mengalun mencair antara Karat dan Sarasvati setelah empat panggung dihajar bersama-sama selama ini, dan ini adalah awal yang baik di 2011 untuk membuat segalanya semakin baik. “Fighting Club” tuntas dengan tepuk tangan panjang dari audiens di sana. Sehabis itu, Risa mengundang Tulus naik panggung untuk berduet di “Oh I Never Know”. Satu nomor juara yang seakan mempersatukan semua gairah yang ada di gedung saat itu. karat bermain semakin sederhana, terutama di sesi celempung. Kini mereka sudah semakin ada di dalam lagu itu dan hanya perlu member sentuhan-sentuhan untuk memperkokohnya saja. Uhh how I always love “Oh I Never Know” ^^ “Bilur” segera dimainkan. Risa bernyanyi sambil duduk di panggung. Alunan suling JImbot kembali menghanyutkan suasana di antara musik yang dibagun Sarasvati dan Karat. Seperti halnya “Oh I Never Know”, “Bilur” juga dimainkan semakin sederhana namun ada di baian yang semakin pas dengan lagu sehingga semua menjadi semakin menonjol. Kibordis Yura kembali menggantikan Ambu Ida yang berhalangan hadir saat itu. Kembali lantunan merdu sinden Yura membawa kami mencapai klimaks lagu saat itu sebelum kahirnya Risa menyudahinya dengan satu koor panjang di sepanjang sisa lagu. Karena waktu, dua lagu “Story of Peter” dan “Maap Kami Tidak Tertarik Pada Politik Kekuasaan” urung untuk dimainkan. “Tiga Titik Hitam” lah yang akhirnya menjadi lagu penutup malam itu. Risa membuka lagu dengan memanggil kolaboratornya, “Teteh yang satu ini dulu sering saya baca beritanya di berbagai media indie di bandung. Dia adalah seorang wanita, berjilbab, namun bernyanyi untuk satu band metal… Achie Gugat, dulu kita kenal sebagai Achie Dinning Out!” disambut dengan teriakan riuh audiens. Achie berdiri di sana bersama Risa, Sarasvati dan Karat malam itu. Lagu terakhir dari kami, Tiga Titik Hitam, dari Burgerkill!” seru Risa disambut teriakan audiens dari sana. Ada satu perasaan hening yang aneh sejak Achie naik panggung sampai intro dimainkan. Satu hening yang tak bisa didefinisikan. Hening yang semua bisa merasakannya ketika Karat dan Sarasvati memainkan. Hening yang terutama dirasakan para personil Karat. Alunan karinding juga semakin membuat hening itu menusuk. Ada satu desir aneh yang dirasakan Karat ketika memainkan lagu ini bersama Sarasvati. Entahlah, serasa Scumbag hadir malam itu… Dan ini adalah satu panggung yang apik. Semua bermian dengan intens, penuh dengan penghayatan dan perasaan. Yaaa, mungkin karena Scumbag benar-benar hadir malam itu… Kolaborasi antara Risa dan Achie juga sangat unik. Risa yang tampil serba hitam mengesankan gloomy melantunkan nada-nada yang tenang dan merdu, sementara Achie yang tampil begitu muslimah justru bernyanyi dengan berteriak dan gundah. Sebuah titik balik dari hal yang tak terdefinisikan, seperti juga lagunya, “. . . “ Ini adalah panggung pertama “Tiga Titik Hitam” dimainkan oleh Karat dan Sarasvati, and it’s a gudd start really!! Semua tampak sangat bahagia ketika pertunjukan usai. Berkumpul di ruang artis sambil toast bersama, saling tawa dengan lepas. Sarasvati dan Karat diwawancara bersama oleh beberapa media kabar acara ini. Seusai pertunjukan, semua berkumpul di Commonroom. Kebetulan, Commonroom menggelar acara noise exhibition berupa pertunjukan musik noise yang dimainkan beberapa kawan musisi noise musik bandung. Saya lihat salah satunya ada favorit saya Aneka Digital Safari sedang bermain efek dan kabarnya ada juga musisi noise dari Australia yang bermian noise sambil makan kaca. Wah kuda renggong nih, pikir saya sambil berhehehe… Dan benar saja, sampai di Commonroom, suasana sangat ramai. Dari dalam terdengar dengung-dengung noise dimainkan para musisi. Betul-betul impresif. Saya ingat di era tahun 90an ada band Nicfit dari ranah musik Purnawarman yang memainkan beragam noise seperti itu. sekarang Nicfit bermain lebih simpel, namun regenerasi musik noise ternyata terus berlangsung. Salut kepada adik-adik yang memainkan musik ini. Hajar terus!!! Dan akhirnya tibalah saatnya penampilan musisi Australia. Tampak jauh sekali perbedaan musisi ini dengan musisi-musisi dari Indonesia. Ia mempu mengemas musik noise dalam satu konsep pertunjukan yang asik untuk dilihat. Ia menyusun pola musik noise yang baik disertai seni peran yang provokatif : ia menggunakan media kaca sebagai model instrumen noise yang dimainkannya. Dan kaca tak sekedar diperagakan sebagai alat yang bersangkutan, kaca ini ia gigit, ia benturkan ke kepala hingga pecah berantakan, dan pelingnya ang berserakan ia ianjak-injak disertai alunan musik noise yang terus berlanjut sesuai dengan segala gerakan yang ia lakukan. Mantaps! Man Jasad yang menyaksikan pertunjukan itu seakan tersengat. Ia tak mau kalah dan mengajak sang musisi Australia untuk berkolaborasi. Tadinya man mau menggunakan golok atau samurai untuk melengkapi aksi pertunjukannya. Karena tajk juga menemukan golok, Kimung dengan iseng nyeletuk, “Geus weh make motor tah bawa asup ka jero, gerung-gerung weh ku maneh di jero hahaha…” Tak dinyana, Man seakan terinspirasi. Ia segera saja menggotong motor Addy gembel masuk ke dalam dan menjadi media untuk berkolaborasi. Sambil menggerung-gerung motor, ia melakukan vokal sedot atau guttural panjaaaaaaaaannngg banget di mulut knalpot motor yang dengan kencang mengeluarkan asap. Dan Man melakukan ini terus menerus selama mungkin lima sampai sepuluh menit disertai alunan npoise dan sayatan-sayatan kaca di mulut dan tubuh musisi Australia ini. Damn, sick Man Jasad! Akhirnya pertunjukan usai ketika kaca yang dimainkan sang musisi habis. Man Jasad rawkk!! “You sick! Insane Man to do that shit! Next time, I’ll drive the truck and he’s going to do the guttural on the knalpot. And after the show, he’ll dead man hahaha!” canda sang musisi ketika bergabung dengan Karat, sarasvati, dan anak-anak lainnya dipelataran Common Room malam itu. (h. 315-317) Ageman # 27, Sabtu, 16 April, Tasikmalaya Magical Mistery Tour Part 1, Rumah Makan Gentong. Pukul tiga siang, Karat minus Amenk dan Yuki sudah berkumpul di Commonrom. Dua mobil yang rencananya dipakai untuk tur Tasik sudah tiba dan siap berangkat. Menjelang jam lima, semua sudah di jalanan. Di mobil Risa ada Okid as driver, Man, Jimbot, Kapten Jek, dan Kimo. Sementara di mobil Ghera ada Ghera as driver, Viki, Wisnu, Zemo, Kimung, Hendra, dan Papay. Rombongan tiba di Rumah Makan Gentong sekitar jam setengah sembilan malam, disambut oleh Meyti, atau Amey, sang tuan rumah yang ramah, dan Ervan Dayung, salah satu anggota BOH angkatan pertama yang kebetulan ternyata teman Amey juga. Saya sempat membeli marakas atau shaker di toko oleh-oleh yang ada di Rumah Makan Gentong. Tanpa banyak babibu lagi, Amey segera saja meminta karyawannya untuk menyiapkan makanan untuk Karat dan mereka pun makan dengan lahap. RM Gentong adalah salah satu rumah makan paling terkenal di kawasan Malangbong dan Tasikmalaya. Letaknya yang strategis di antara belokan dan tanjakan jika dari arah Tasikmalaya membuat tempat ini gampang ditemukan. Pekarangan yang luas dan bangunan yang asri juga membuat RM Gentong terkenal sebagai restoran yang senang memanjakan pelanggannya. Betapa tidak, bangunan yang ditata resik di atas kolam yang penuh dengan teratai dan suara gemerecik air ini dilatari oleh pemandangan bukit yang hijau dengan perkebunan sawit, aren, singkong, kolam, dan tentu saja sawah yang saat itu mulai menguning tanda akan segera panen. Makan pun lahap tak terasa hehehe… Sehabis makan, Karat bersiap untuk memainkan beberapa lagu menghibur pengunjung rumah makan yang malam itu sedang sepi. Tak apa, yang jelas Karat harus kaul di rumah makan ini dan ini juga merupakan salah satu panggung terpenting Karat untuk ditunaikan. Panggung Karat kali ini hanya panggung papalidan belaka melakukan eksplorasi berbagai pirigan musik berbagai daerah yang dikenal Jimbot sang pembawa melodi. Karat sempat membawakan “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol” versi slower than slow dan hasilnya Jimbot cekakakan terus di atas panggung. Session ini juga menghasilkan sebuah lagu berjudul “Cingciripit” yang khusus dibuat untuk memancing sawer hehe… Lagu ini rencananya akan dimainkan di panggung Walhi besok malam di Hotel Bumi Kitri Bandung. Habis manggung Karat segera diajak naik ke villa Amey yang ada di lereng bukit untuk beristirahat. Subhanallah, lingkungan ini sangat indah dan asri. Di malam hari, dari pekarangan villa kita bisa melihat lekukan jalanan Malangbong – Tasikmalaya serta gugusan pegunungan yang hijau, serta areal perkebunan dan pesawahan yang hijau mengunging membentang di sana. Kimo, Zemo, Kimung, Dayung, dan Amey sempat melakukan sesi potret memotret kawasan sekitar villa yang ditempati anak-anak Karat sebelum akhirnya mengunjungi villa tempat tinggal Amey yang sangat asri. Villa ini dibangun dua lantai dengan dinding kayu yang menonjolkan ornamen bawaan alamiah kayu. Desain interior dan eksteriornya ditata sedemikian ruma sehingga sangat nyaman dengan berbagai tanaman besar dan kecil mengelilingi villa ini. Di pekarangan, kursi-kursi kuno yang diperbaiki sehingga semakin artistik membuat siapa pun yang duduk-duduk di sana akan merasa nyaman, sementara di dalam desain interior tak kalah cozy. Lantai atas pun demikian, menawarkan kehangatan bagi siapa pun yang ada di sana untuk tinggal. Mantap Mey, rumah yang benar-benar idaman! Kimo, Zemo, Dayung, Amey, dan Kimung sempat melanjutkan foto-foto di sekitar Rumah Makan Gentong sebelum akhirnya jam dua dini hari kembali ke villa untuk beristirahat. (h. 347-48) Ageman # 28, Selasa, 19 April, Gladi Resik Rampak Karinding. Karat tak latihan malam ini karena semenjak sore semua sudah berangkat ke Soreang untuk melakukan gladi resik rampak karinding di lapangan alun-alun gedung Pemerintah Kabupaten Bandung. Gladi resik berjalan mulus. Di alun-alun tersebut panggung komando dibagi tiga. Di tengah-tengah sang maestro karinding Bah Olot sebagai komandan utama, diapit oleh Man Jasad dan Mang Engkus di sisi kiri dan kanannya ikut mengawal rampak karinding. Aba-aba juga dipanceg oleh alunan celempung dan kendang kecil yang memberikan pola kepada karinding yang dimainkan. Subhanallah allohuakbar, merinding mendengar alunan karinding dimainkan orang sebanyak itu. Usai gladi resik, Abah memutuskan untuk mengganti komandan sisi kiri yang awalnya mang Engkus menjadi oleh Iwan Cabul dengan berbagai pertimbangan. Semoga besok lancar… (h. 350) Ageman # 29, Rabu, 4 Mei, Ke Abah Olot. Siang ini, Kimung, Okid, dan Wisnu mengunjungi Bah Olot. 4 Mei merupakan hari keempat puluh meninggalnya Bah Entang, ayah sang maestro. Bah Olot sendiri tampak sehat, sibuk dengan rautan karindingnya bersama Mang Dedi, Kang Ibenk, dan Iwan. Bahagia sekali bisa berkunjung ke Bah Olot. Kimung segera menceritakan dinamika yang hangat di kalangan karinding Ujungberungan. Kimung menceritakan Riot dan Flava yang membuat Bah Olot bangga. Kimung juga memesan celempung baru yang hampir seukuran dengan Big Jon. Karena masih basah, bambu akan dikeringkan dulu, dalam waktu satu bulan mendatang celempung baru akan siap dimainkan. Kimung dan Wisnu juga membeli karinding baru. (h. 358)
Ageman # 30, Selasa, 10 Mei, Road to Massive Recording Part 1. Sesi latihan Karat di Common Room. Man dan Okid tak ikut latihan karena masih saja dirongrong oleh arogansi Prapatan Rebels—semoga oknum-oknum Prapatan Rebels secepatnya insyaf sehigga tak menyebarkan getah-getah busuk ke ranah musickini dan juga ranah pergaulan masyarakat yang lebih luas. Polisi juga semoga lebih jernih melihat masalah ini, tidak asal tekan, tidak asal fitnah, tidak asal menyebut orang lain munafik, tidak melihat kasus ini semata-mata dalam kaca mata rupiah karena ada yang lebih krusial dari sejumlah kecil rupiah. Saya kira tak harus saya sebut poin per poin karena saya yakin polisi juga adalah mahluk-mahluk yang pintar. Saya hanya minta jangan tumpulkan kepintaran itu hanya karena anda memutuskan untuk mengenakan kaca mata berwarna hijau yang semakin lama anda pakai akan semakin menyesatkan, membutakan, membodohkan. Get it off man! Jadi Karat berlatih minus Man dan Okid. Padahal sesi ini adalah sesi yang penting untuk dilalui karena merupakan sesi awal masuk rekaman. Kimung sudah mengundang Inu yang malam itu datang bersama Uwox untuk melakukan workshop kecil mengenai permainan karinding. Dua pihak kemudian saling duduk dan bicara mengenai kira-kira teknis rekaman. Inu banyak mengumpulkan informasi menenai apa yang diingikan Karat di sesi rekaman nanti yang dijawab oleh Karat sejauh yang mereka harapkan. Inu juga mengukur frekwensi nada celempung dan dari sana ia menentukan posisi mikrofon yang tepat agar semua nada bisa terekam dengan baik nantinya. Untuks esi percobaan, Inu mengajak Karat untuk sesi rekaman di Studio Massive. Gratis, satu shift! Rekaman pun ditentukan hari Kamis tanggal 19 Mei 2011. Bismillah, semoga semua lancar! Amiin! (h. 360) Ageman # 31, 19 Juni, Minggu, Silaturahmi Bandung Berisik V. Minggu siang, Common Room ramai sekali. Anak-anak Ujungberung Rebels terutama yang secara aktif menggelar Bandung Berisik V (BB V) tampak hadir. Suasana akrab kekeluargaan sangat kental terasa, seperti biasanya ketika anak-anak Ujungberung Rebels berkumpul. Para personil Karat tampak hadir juga di acara sukuran itu. Walau tak manggung sebagai bintang utama, Karat manggung berkolaborasi dengan Gugat dan hamper semua personil Karat juga manggung dengan bandnya masing-masing. Malamnya, Okid janjian dengan Inu, menyalin data hasil rekaman Karat di Studio Massive sebagai bahan evaluasi untuk rekaman sesi selanjutnya. (h. 386) Ageman # 32, 20 Juli, Rabu, Kimung bersama Izzi dan Celempung Ago ala Cisolok. Siang itu Kimung berangkat bersama Izzi ke daerah timur. Izzi sendiri ingin menyambangi makam Ivan Scumbag di Rancaekek, sementara Kimung akan bertemu Ago untuk melihat celempung pesanannya. Setelah berdoa bersama Izzi di makam sang rockstar, Kimung dan Izzi segera meneruskan perjalanan ke Cicalengka. Di depan GDN Cicalengka, Kimung janjian dengan Ago. Ternyata celempung buatan Ago masih belum pas dengan harapan Kimung, terutama di bagian gong yang terllau dekat dengan badan bambu sehingga jika dipukul dalam standar pukulan Kimung, celempung ini suaranya jadi menggeber, tidak built. Kimung lalu meminta Ago untuk merevisinya ulang. Mereka berjanji bertemu hari Sabtu berikutnya. (h. 399) Ageman # 33, 28 Juli, Kamis, Munggahan Kekar dan Pekik Flava. Kamis sore yang ramai. Menjelang pukul tiga sore, Kelas Karinding yang diwakili oleh Flava, Riot, dan Laras berkumpul di Common Room untuk makan bersama, munggahan, saling bermaap-maapan. Untuk acara makan-makan ini, Kimung berkordinasi dengan Hendra dan sasa, sepakat untuk memasak sendiri, liliwetan di Common Room, dibantu Mang Ismet Hellkitchen Homeless Dawg. Untuk itulah semua sepakat untuk membawa beras masing-masing secangkir dari rumah serta patungan lima ribu perak seorang untuk belanja berbagai bahan makanan lainnya. Asyiknya, Sasa dan Zahra ternyata mebawa serta bekal bahan makanan ikan dan lalap-lalapan dari rumahnya. Hummm yummie ^^ Sambil menunggu memasak, Kimung mengajak Selvi, Widya, Syifa, Z, dan Bella untuk menggarap lagu “Pekik”. Metode penggarapan lagu ala Kimung memang dimulai dari waditra inti di mana lagu tersebut dimainkan, dalam hal ini celempung indung yangakan dimainkan Selvi, serta pola karinding. karena lirik sudah jadi, juga melodi vokal sudah fiks, “Pekik” dengan cepat tergarap. Kini tinggal penyesuaian Selvi saja yang bertindak memberikan pagar bagi musik “Pekik”. Karinding sendiri saat itu sudah mulai memiliki pola pirigan fiks untuk “Pekik”. Dibantu Wisnu, trio Syifa, Bella, dan Z mampu mengeksplorasi karinding walau masih belum terpola secara sempurna. Pun dengan vocal. Nana yang dengan cepat bisa menguasai pola vocal dengan cepat pula bisa mengikuti alur lagu. Tinggal celempung anak, celempung renteng, suling, dan gong tiup yang harus eksplorasi. Di kesempatan selanjutnya, ketika bagan lagu semua sudah selesai, empat waitra ini harus sduahbisa dieksplorasi. Usai “Pekik”, Flava ternyata punya lagu sendiri. Liriknya ditulis Teh Yanti dan Nana, walau masih belumusai. Melodi vokalnya terinspirasi dari lagu-lagu Skamigo, band favorit mereka berdua. Temanya tentang pengalaman bereka dengan angkot. Ini satu tema yang segar dan begitu dekat dengan keseharian. Jika tergarap dengan baik, lagu ini akan menjadilagu yang bagus. Terinspirasi dari Skamigo pula, pirigan celempung insung mulai digarap dan sudah terbangun kerangka utamanya. Pukul setengah lima, liliwetan akhirnya matang dan semua berkumpulmembentuk lingkaran di tikar di ruangan biasa mereka berlatih. setelah dibuka oleh Kimung, semua segera menyantap makanan dengan lahap. Yummieeee ^^ Sehabis makan, semua kembali membentuk lingkaran untuk saling bersalaman, melepaskan segala penat agar bersih hati menyambut bulan suci Ramadhan serta menunaikan ibadah puasa. Flava, Riot, Laras, Paperback, dan Karat saling bersalaman bermaap-maapan, semoga nuansa kekeluargaan ini bisa selalu kita pertahankan, amiin! (h. 402-403) Ageman # 34, 31 Agustus & 1 September, SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 4132 H!!!. Karat dan Crew serta semua di Ujungberung Rebels mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1432 H, semoga hidup kita semakin berkah dan dengan kembalinya kita ke fitrah sebagai manusia yang rentan akan dosa kita akan senantiasa terpelihara dari dosa dan godaan. Semoga latihan dan peningkatan kualitas hidup kita sebagai mahluk Allah selama bulan Ramadhan senantiasa memberikan berkah dan pencerahan bagi diri kita sendiri dan untuk orang-orang sekitar kita, amiin! Mari hajar jalanan dengan tatap dan langkah yang lebih mantap! (h. 420) Inilah model keberagamaan komunitas metal Ujungberung Rebels. [Ibn Ghifarie]
Judul: Jurnal Karat, Karinding Attacks Ujungberung Rebels Penulis: Kimung Penyunting: Jon Pasisian Desain sampul: Gustav In Suffer Tata letak: Popup & K666 Olahan foto: Mang Tahu & Zemo Cabalero Artwork: Man Jasad Cetakan pertama, 20.08.2011 Penerbit: Minor Books ISBN: 978-602-8810-17-4 Halaman: 468+viii
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Filsafat Selengkapnya