Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keharmonisan Islam-Buddha

15 Mei 2011   14:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:39 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_109736" align="alignleft" width="300" caption="www.yaskum.info"][/caption] Harus diakui, keharmonisan antara penganut ajaran Islam dengan Buddha merupakan satu kegairahan yang tak pernah usai. Pasalnya, sejak awal hubungannya kian mesra sekaligus konflik yang berarti. Ini yang dikemukakan oleh Chandra Muzaffar dalam jurnal Just Commentary Vol 2 No II November 2002. Mari kita lihat beberapa komentar tokoh Islam tentang kesederhanaa, Sang Buddha yang membabarkan ajaran, kebaikan, kejujuran, kasih sayang, welas asih; Pertama, Ibn Anadim (w. 995) yang memuji sopan santun, kebaikan dan welas asih para panganut Buddha yang hidup disekelilinya. Kedua, Al-Biruni (w.1051) berpendapat tentang moment-moment Buddha di Afganistan yang ditulis dalam maha karyanya The Story of the Two Statues of Bamiyan. Kisahnya memiliki nilai penting khususnya mengingat penghancuran patung-patung itu oleh rezim dogmatis Taliban di Afganistan pada tahun 2001. Ketiga, Al-Shahristani (abad XII) sang eksiklopedis agama-agama yang menelaah liam dasar (pancasila) dan sepuluh dasar (dasasila) dalam teks-teks Buddha. Ia menyamakan sang Gotama nirip dengan nabi Khaidar (Dzulkifli). Keempat, Rasheeduddin Fadlullah (abad XIV) yang mempelajari Buddha dengan memusatkan perhatianya pada kehidupan Sakyamuni (Sang Buddha). Kelima, Chaiwat Satha Anand dan Yusup yang sangat menghargai sang Buddha. Menebar Nilai-nilai Luhur Keharmonisan ini semakin berlanjut, manakal kita melihat sisi persamaan diantara kedua pengikut Muhammad dan Buddhis berpengaruh di Asi ini. Untuk Islam akar dasar spiritualitas keberadaan manusi terletak pada Tuhan. Pada ajaran Buddha meruju Nibbana. Aspek kejujuran, ketulusan, kebajikan, perasaan berkeadilan, welas asih terhadap kaum yang lemah merupakan nilai-nilai dasar yang dinjunjung tinggi kedua agama ini. Tengok saja, pada urusan keadilan bagi umat Islam menjadi jiwa Al-Quran. Pada Buddha keadilan menjadi tonggak kekaisaran, Asoka. Ihwal kasih sayang menunjukkan kualitas menonjol pada Sang Guru Agung. Pun dalam Islam menebar kasih sayang tidak dibeda-bedakan.  Apalagi soal dosa keduanya memiliki persamaan yang meralang untuk berbuat berzinah, mencuri, membunuh, berbong, judi, komsumsi narkoba, korupsi, mengrusak alam. Upaya menjalankan nilai-nilai luhur (Islam dan Buddha) dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, Chandra menawarkan beberapa tahapa yang mesti dilakukan oleh segenap elemen warga Indonesia, diantaranya; Pertama, Hidup harus selaras dengan lingkungan dan melindungi sumber daya alam demi generasi mendatang. Kedua, Mengembangkan perekonomian yang dipandu oleh prinsip-prinsip etika. Ketiga, Memperkuat keluarga sebagai fondasi moral masyarakat. Keempat, Mendirikan pemerintah dan otoritas politik dengan dasar moral. Kelima, Menegakkan integritas dan ikatan dalam masyarakat. Keenam, Memastikan hubungan ramah yang menyenangkan antar berbagai masyarakat religius dan budaya. Ketujuh, Mengembangkan sebuah budaya yang memperkuat karakter manusia dan meningkatkan nilai-nilai seperti keadilan, kasih sayang, welas asih, kebebasan dakn kekukuran. (Chandra Muzaffar, 2004:121-150) Kehadiran peringatan Waisak 2555 yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2011 (pukul 18.08.23 WIB) menjadi momemntum untuk menciptakan keharmonisan, perdamain dan kebahagiaan yang kian memudar di bumi Nusantara ini. Perbedaan Modal Perdamaian Keragaman (adat, suku, agama, golongan, etnis) di masyarakat Indonesia ini bukan menjadi hambatan dalam membangun perdamaian sejati. Ini yang diinginkan  Suryadharma Ali, Kementerian Agama. Ia mengatakan pluralisme yang dalam kehidupan masyarakat tidak bisa dihindari bukan hambatan upaya membangun perdamaian. "Pluralisme tidak bisa dihindari, tetapi bukan hambatan untuk hidup bersama, membangun keharmonisan, dan perdamaian," katanya dalam sambutan tertulis yang dibacakan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul Hayat, saat pembukaan Bakti Sosial Pengobatan Gratis Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) di Taman Lumbini Candi Borobudur, di Borobudur, Sabtu (14/5) Kehidupan yang damai, harmonis menjadi dambaan setiap manusia dan bisa tercipta jika setiap warga memiliki sikap saling menerima dan memahami perbedaan secara positif. "Harus diupayakan terus mewujudkan harmonis, dimulai dari diri dengan mewujudkan perilaku dan ucapan yang membahagiakan orang lain," katanya. Setiap orang dan kelompok masyarakat, katanya, harus menghindari sikap diri sebagai paling tinggi, baik, dan benar, serta membuka sekat-sekat kehidupan yang menghalangi kebersamaan. "Tatap kenyataan kita secara objektif untuk hidup harmonis," katanya. (Antara, 14/5) Mengingat pentingnya perdamaian dan keharmonisan, Kemenag memperinci ulang perbedaan dan pluralitas memang merupakan fakta kehidupan yang tidak dapat dihindari. Namun perbedaan tidak seharusnya menjadi penghambat dalam menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan penuh kedamaian. Keharmonisan dapat terjadi bukan karena tidak ada perbedaan, tetapi keharmonisan tercipta melalui sikap kita yang menerima, memahami, dan menyikapi secara positif setiap perbedaan yang ada. Kehidupan yang harmonis dan damai didambakan oleh setiap umat manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu kita harus bersama-sama melakukan upaya yang baik untuk mewujudkannya. Sebagai anggota masyarakat yang majemuk, kita dapat memulai dari diri sendiri agar dapat mewujudkan hidup harmonis "Marilah kita menatap kenyataan hidup ini secara obyektif, dengan itu akan mampu hidup berdampingan secara harmonis. Kikislah sekat-sekat yang ada, lakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kebersamaan dan persahabatan, yakni dengan berucap yang menyenangkan, melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, dan tidak menjadi tinggi hati karena merasa lebih dari yang lainnya." katanya Menurutnya, kegiatan bakti sosial kesehatan ini merupakan langkah nyata bagi umat beragama untuk turut serta mewujudkan keharmonisan hidup bermasyarakat yang menjadi pilar penyangga kerukunan bangsa. (Kemenag, 15/5) Mari kita ciptakan kehidupan berbangsa, benegara yang menjunjung tinggi persamaan antaragama, perbedaan bukan hambatan untuk membangun keharmonisan dan perdamain suatu masyarakat. Selamat Waisak 2555 BE. [Ibn Ghifarie]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun