Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sakola# Dinasti Fatimiyah

14 Desember 2010   23:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 2445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdirinya kokoh Universitas Al-Azhar Kairo Mesir merupakan salah satu bukti nyata khazanah islam Syiah (Fatimiyah). Pasalnya, Al-Azhar berasal dari sebuah masjid bernama Al-Azhar yang dibangun Panglima Besar Dinasti Fatimiyah, Jauhar As-Shaqaly, 359 H sebagai tempat ibadah semata. Baru setelah enam tahun berfungsi sebagai tempat ibadah didirikanlah bangun tempat kegiatan belajar dan majelis ilmu pengetahuan bermazhab Syi'ah Ismailiyah. Tak hanya berhenti disini. 12 (378 H/988 M) tahun pascapembentukan mejelis Al-Azhar berkembang menjadi universitas besar dan berpengaruh kesuluruh jagat raya ini. Apalagi pada masa kepemimpinan Sultan Al-Zahir Beibars keberadaan Al-Azhar semakin mengokohkan pusat peradaban ilmu, diantaranya; Pertama. Ekspansi yang dilakukan pasukan Tatar terhadap kekhalifahan Dinasti Abbasiah di Baghdad menyebabkan pindahnya pusat kekhalifahan ke Mesir (660-923 H). Sejak itu, khalifahan Abbasiah berakhir dan bermunculnya Daulah Usmaniah di Turki. Walhasil, banyak ulama Muslim dari Timur hijrah ke Mesir karena Mesir berhasil mengalahkan Tatar dalam peperangan 'Ain Jalut yang dipimpin Raja Mesir Sultan Saifuddin Al-Muzaffar Quthz. Kedua, Ketertindasan umat Islam di Andalusia oleh orang Eropa membuat mereka berhijrah ke Kairo. Harus diakui, memang tidak mudah mengadakan reformasi di Al-Azhar, seperti dikemukakan Zuhairi Misrawi dalam buku Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2010). Ini terlihat jelas saat Sheikh Muhammad Abduh mengusulkan Muqaddimah Ibn Khaldun untuk dimasukkan menjadi materi dalam kurikulum Al-Azhar, ditolak oleh Sheikh Muhammad Al-Anbani, Sheikh Al-Azhar waktu itu. Ikhtiar untuk memasukkan materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di Al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M. Kehadiran model perkuliahan yang diklasifikasikan dalam fakultas 'Ilmi (sains) dan Adaby (agama) merupakan salah satu petanda univeristas modern. Terlebih lagi saat membuka tiga Fakultas; Ushuluddin, Syariah dan Bahasa Arah melalui Undang-undang pada 1930 M semakin meneguhkan keberadaan Perguruan Tinggi yang modern. Apalagi pada masa Sheikh Mahmud Syaltut (1961 M) yang berhasil mengekeluarkan Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 M tentang penetapan Fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Kedokteran, Perdagangan, Teknik, Pertanian, dan Farmasi. Sungguh meyakinkan Al-Azhar sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dunia. (Kompas, 28/09) Dinasti Fatimiyah Menurut Philip K. Hitti dalam History of The Arabs: From The Earliest Times to The Present mengutarakan Dinasti Fatimiyah merupakan satu-satunya dinasti syiah dalam Islam yang didirikan di Tunisia pada 909 M sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim yang berpusat di Bagdad (Dinasti Abbasiyah) oleh Said Ibn Husayn, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah (Imam Ismail yang wafat tahun 760), seorang Persia yang bernama Abdullah Ibn Maymun. Kendati masa khalifahan dinasti Fatimiah ini hanya mampu bertahan selama lebih kurang dua setengah abad (909-1171 M) dengan para pemimpin;    Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934); Abu Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946); Abu Ahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953); Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya; Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975-996); Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021); Abu Hasan Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah (1021-1036); Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036-1094); Al-Musta'li bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari; Al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi; Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149); Al-Zafir (1149-1154); Al-Faiz (1154-1160); Al-Adid (1160-1171). (Republika, 24 April 2010 dan www.wikipedia.org) Kemunculan Said, penerus Ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini adalah puncak dari propaganda sekte ismailiyah yang tampil dan terorganisir dengan baik. Kesuksesan mereka itu sama dengan kesuksesan gerakan pertama sekte ini yang pernah berhasil menggoyang kekhalifahan Umayyah. Keberhasikan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya personal dai (propaganda) utama sekte ini, yakni Abu Abdullah al-Husayn al-Sya'i. Ia adalah seorang penduduk asli Shan'a Yaman yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan dirinya sebagai pelopor Mahdi dan menyebarkan hasutan di tengah suku Berber di Afrika Utara, khususnya suku Kitamah. Perkenalanya dengan anggota suku ini terjadi pada musim haji di Makah. Wilayah Afrika Kecil--Tunisia dan Afrika Utara saat itu berada di bawah kekuasaan Aglabiyah. Sukse gemilang yang diraih al-Syi'i di wilayah asing mendorong Sa'id untuk meninggalkan markas besar Ismailiyah di Salamiyah dan pergi sambil menyamar sebagai pedagang menuju barat laut Afrika. Ketika ia terlempar ke penjara bawah tanah di Sijilmasah atas perintah penguasa Dinasti Aglabiyah, Ziyadatullah (903-909) Sa'id ditolong oleh al-Syi'i yang kemudian pada 909 menghancurkan Dinasti Agbaliyah yang telah berkuasa selama beberapa abad dan mengusir keturunan terakhir Ziyadatullah keluar daari negeri itu. Dinasti Aglabiyah merupakan kubu terakhir kekuatan Islam-Sunni di Wilayah Afrika. Sejak itu Sa'id memproklamirkan dirinya sebagai penguasa dengan julukan Imam Ubaydullah al-Mahdi dan mengklaim sebagai keturunan Fatimiah melalui al-Husayn dan Ismail. Dinasti ini sering disebut sebagai Dinasti al-Ubaydillah, khususnya oleh mereka yang tidak mempercayaiinya sebagai keturunan Fatimiah. Mengenai keaslian dan keabsahan silsilah al-syai'i sebagai keturunan Fatimiah para sejarawan muslim berbeda pendapat. Setidaknya ada delapan garis silsilah berbeda yang dikemukakan baik oleh para pendukung maupun musuh-musuhnya. Bahkan, sebagian orang memusuhinya melangkah lebih jauh dengan mengatakan ia adalah anak seorang Yahudi. Beberapa sejarawan terkemuka yang mendukung keabsahan silsilanya adalah Ibn al-Atsir, Ibn Khaldun dan al-Maqrizi. Kalangan yang menyangkan dan meregukan, hingga menganggap Sa'id sebagai penipu lihai di antaranya Ibn Khallikan, Ibn al-Idzari, al-Suyuthi, Ibn Taghri Birdi. Kuatnya ajaran Syiah Ismailiyan dalam diri Ubaidillah al-Mahdi (910-934) semakin meneguhkan sebagai pengikut sekte Syiah Ismailiyah. Apalagi pascakematian Jafar As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam (Jafar as-Shadiq). Ismail selaku putra Jafar yang sedianya akan dijadikan pengganti, telah meninggal terlebih dahulu. Di saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka masih terdapat sosok Musa Al-Kazhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan spiritual. Suansana ini membuat tampil Abdullah (Ubaidillah Al-Mahdi) untuk mengambil kepemimpinan spiritual langsung dari jalur Ali melalui Ismail. Bersama keluarga dan para pengikutnya, Ismailiyah menyebar di wilayah Salamiyah, sebuah pusat kaum Ismailiyah di Suriah. Maka pada tahun 297 H atau 909 M, ia dilantik menjadi khalifah. (Republika, 25 April 2010) Khalifahan Ubaydullah sangat menegakan pemerintahan di istana Aglabiyah, yakni Raqqadah yang terletak dipinggiran kota Kairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Dua tahun setelah memegang kekuasaan tertinggi ia membunuh panglima dainya al-Syi'i. segera setelah itu, ia memperluas kekuasanya sampai meliputi wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan Mesir. Pada tahun 914 ia menguasai Iskandariyah; dua tahun kemudian ia menundukan wilayah Delta. Lalu ia mengirim Gubernur baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spayol. Malta, Sardinia, corsica, Balearic dan pulai-pulai lainnya ikut merasakan kekuatan armada yang ia warisi dari Dinasti Aglabiyah. Sekitar 920 ia memindahkan pusat pemerintahanya ke ibu kota baru, al-Mahdiyyah yang didirikan di pesisir Tunisia, sekitar 27,2 kilometer ke arah tenggara kota Kairawan dan kota ini dinamai dengan nama dirinya sendiri. Kebijakan pengganti Ubaydillah lebih memfokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan wilayah. Anaknya Abu al-Qasim Muhammad al-Qa'im (934-946) mengirim armadanya pada 934 (935) untuk menyerbu pantai utara Prancis, menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria serta berhasil membawa para budak dan harta rampasan lainya. Di bawah pemerintah cucu al-Qa'im, Abu Tamim Ma'add al-Muiz (952-975) pasukan Fatimiah menyerbu pantai Spayolyang khalifahannya pada saat itu al-Nashir yang agung. Baru tiga tahun kemudia tentara Fatimiah berhasil menuju Atlantik. Dari situlah komadan pasukan mengirimkan ikan hidup dalam beberapa buah buli-buli kepada khalifahannya. Pada 969, Mesir telah terbabas dari penguasa Iksidiyah. Armada pasukan ini diperkuat dengan tambahan sebuah unit baru yang dibangun di Maqs sebalum Bulak sebagai pelabuhan Kairo. Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang mengagumkan ini adalah Jawhar al-Shiqilli (orang Sisilia) atau al-Rumi (orang Yunani). Aslinya ia seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium, mungkin Sisilia yang dari sana ia dibawa sebagai seorang budak ke Kairawan. Segera setelah kemenangannya atas ibu kota Fusthat pada 969, Jahwar mulai mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah. Kota ini Kairo modern yang menjadi pusat kota Bani Fatimiah sejak 973. Setelah mendirikan ibu kota baru yang sekarang menjadi kota paling ramai di Afrika. Pada 972 Jawhar mendirikan Mesjid Agung al-Azhar yang kemudian oleh Khalifah al-Aziz dikembangkan menjadi Universitas besar. Jahwar menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua setelah al-Syi'i yang daerh kekuasanya meliputi seluruh wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian barat adalah warisan dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa Abbasiyah sebagai perlindungan terhadap kota Suci. Setelah kedudukanya di Mesir kokoh, Jahwar mulai melirik negara tetangganya Suriah dan mengirim seorang panglima perang yang berhasil menaklukan Damaskus pada 969. Lawan utama Jahwar adalah sekte Qaramitah, yang pada saat itu bberkuasa di Suriah. (Philip K. Hitti, 2010:787-790) John L Esposito dalam Ensiklopedia Islam, menambahkan Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya ketika Mesir berhasil ditaklukkan oleh panglima Jauhar As Siqli pada 969 M di bawah arahan Khalifah Al-Muizz. Atas perintah Al-Muizz, Jauhar As Siqli mendirikan kota baru yang disebut Al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan. Tujuan pendirian ibu kota itu adalah untuk menampung keperluan administrasi pemerintah dan tentara Berber. Kota Kairo pada masa-masa selanjutnya dijadikan sebagai ibu kota Khilafah Fatimiyah. Ia menyebutkan, setelah Al-Muizz pindah ke Kairo pada 973 M, kemajuan yang diraih Fatimiyah adalah kekuatan angkatan laut dan militer, kemegahan istana, produk artistik Mesir, serta perkembangan perdagangan internasional. Kemajuan ini memproyeksikan bahwa rezim Fatimiyah sederajat dengan Imperium Bizantium dan lebih maju dari pusat peradaban di Baghdad yang pernah jaya pada masa Dinasti Abbasiyah. Sangatlah wajar bila masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshuriyah. Pasalnya, keempat khalifah Dinasti Fatimiyah hanya menjalankan roda pemerintahan di Maroko, diantaranya Ubaidillah al-Mahdi ( 298-322 H/910-934 M)al-Qaim (322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz (341-362 H/952-975 M). Ikhtiar Ubaidillah Al-Mahdi membuahkan dinasti Fatimiyah menjadi salah satu pusat pemerintahan Islam yang disegani. Puncaknya, terjadi pada masa Al-Aziz (365-386 H/975-996 M). Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernakma Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina. Bahkan, pada masanya ini pula, ia membangun istana kekhalifahan yang sangat megah hingga mampu menampung tamu sebanyak 30 ribu orang. Tempat-tempat ibadah, pusat perhubungan, pertanian maupun industri mengalami perkembangan pesat. (John L Esposito, 2004:58-62) Dalam bidang pemerintahan, Khalifah al-Aziz berhasil meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya. Dinasti ini dapat maju antara lain karena didukung oleh militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh, setelah berkuasa selama 262 tahun. Namun sepeninggal khalifah Al-Aziz, yakni Al-Hakim (386-411 H/996-1021 M), Az-Zahir (411-427 H/1021-1036 M), Al-Mustansir (428-487 H/1036-1094 M), hingga Al-Mustali (487-495 H/1094-1101 M), tak mampu mengendalikan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Al-Aziz. Hingga, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah Fatimiyah itu terus berlangsung paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149 M), az-Zafir (544-549 H/1149-1154 M), al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M), dan al-Adid (555-567 H/1160-1171 M). Krisis internal itu diperparah dengan majunya tentara Salib dan pengaruh Nuruddin Zangi dengan panglimanya, Salahuddin al-Ayyubi. Ketika khalifah al-Adid sedang sakit pada tahun 555 H/1160 M, Salahuddin al-Ayyubi mengadakan pertemuaan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khotbah dengan menyebut nama khalifah Abbasiyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah. (Republika, 25 April 2010) Puncak kejayaan Fatimiyah di Mesir berada di tangan Al-Aziz. Dikisahkan, istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, transportasi sangat lancar, dan keamanan serta stabilitas nasional terjamin. Perekonomian juga dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi waktu itu. Dalam hal ilmu pengetahuan, Dinasti Fatimiyah berupaya menghidupkan tradisi keilmuan dan mendorong para sarjana Muslim agar mengembangkan penelitian mereka. Sejumlah fasilitas dibangun untuk mendukung cita-cita mulia tersebut. Mereka mendirikan Perpustakaan Istana Martabat al Qashr yang menyimpan sekitar 200 ribu koleksi buku yang dihimpun dari seluruh dunia. Koleksi buku tersebut terdiri atas pelbagai cabang ilmu pengetahuan, mulai dari bahasa Arab, astronomi, kimia, sejarah, dan biografi. Perpustakaan ini juga mempunyai 2400 naskah Alquran. Pada tahun 970 M, Al-Muizz membangun sebuah masjid yang didedikasikan untuk penyebaran kebudayaan, ajaran, dan pemikiran Syiah. Masjid tersebut diberi nama Al-Azhar yang pada masa-masa berikutnya berubah menjadi universitas dan didaulat sebagai universitas Islam tertua di dunia. Selain perpustakaan dan masjid, pada tahun 1306 M, Khalifah Al-Hakim mendirikan sebuah lembaga riset yang dikenal dengan sebutan Dar At Hikmah (The House Of Wisdom). Lembaga tersebut didesain sedemikian , rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang astronomi, matematika, dan kedokteran. Salah seorang astronom Arab terkemuka yang berasal dari lembaga ini adalah Aly Bin Yunus. Dia melakukan penelitian di Dar Al-Hikmah lebih dari 17 tahun. Sarjana Dar At-Hikmah terkenal lainnya adalah Ibn al-Haitham. Penelitiannya di bidang teknik, matematika, dan fisika mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik. Di bidang seni bangunan, pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagailapisan warna. Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan Masjid Al Azhar dan Masjid Al Al-Hakim serta kawasan Khan Al-Khalili. Di bawah Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kerajaan yang kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Sisilia, Palestina, Lebanon, Suriah, Laut Merah Afrika, Yaman, dan wilayah Hijaz. Mesir terus berkembang dan Fatimiyah memperluas jaringan perdagangan di Mediterania dan Samudra Hindia. Perdagangan dan hubungan diplomatik telah diperpanjang sampai dengan Dinasti Song, Cina, yang pada akhirnya menentukan arah ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan. Kemajuan yang berhasil dicapai Dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari prestasi dan ditunjang laju pertumbuhan di sektor-sektor terpenting, di antaranya militer yang kuat, administrasi pemerintahannya yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang, dan ekonominya yang stabil. Namun, secara politis, baik dalam maupun luar negeri, Fatimiyah kurang berhasil mengatasi gejolak-gejolak dan persoalan yang muncul. Fatimiyah dianggap lemah menghadapi kelompok Nasrani dan Suni yang sudah lebih dahulu mapan di Mesir. Pada masa pemerintan Al-Hakim, gejolak dan benturan antara kelompok mazhab dan agama tidak bisa dihindari. Sikap ketidaktegasan dan inkonsistensi yang ditunjukkan Al-Hakim memicu kebencian. Di bidang luar negeri, usahanya untuk maju bergerak lewat Suriah sempat diganjal oleh kemunculan kembali kekuasan Bizantium pada paruh kedua abad kesepuluh serta oleh serangan Turkman dan Seljuk pada abadkesebelas. (Republika, 25 April 2010) Sepanjang kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz (975-995) kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamain. ia adalah khalifah Fatimiah yang kelima dan pertama yang memulai pemerintahan Mesir. Di bawah kekuasannya Dinasti Fatimaiah mencapai kejayaanya. Nama sang khalifah selalu disebut-sebut dalam khutbah0khutbah jumat di sepanjang wilayah kekuasanya yang membentang dari Atlantik hingga lautan Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekah, Damaskus bahkan di Mosul. Kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi khalifahan Bagdad sekaligus menenggelamkan kekuasaan Bagdad dan berhasil menemfatkan khalifahan Fatimiah sebagai negara islam terbesar di kawasan Mediterian Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Bagdad berhasil ditaklukan. Seperti pendahulunya, ia melirik Spayol tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu, ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiah memberikan balasan yang tegas "Engkau merendahkan kami karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang akan ku lakukan, kami akan membalasnya" (Ibn Taghir-Bidri, ed poper Jilid II poin 2.2) Bisa dikatakan Al-Aziz merupakan khalifah Fatimiah yang bijaksana dan peling murah hati. Ia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemarlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jenbatan, kanal-kanal yang baru serta memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan perilaku ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazir-wazir yang beragama Kristen Isa Ibn Nasthur dan istrinya yang berasal dari Rusia, Ibu dari anak-anak dan pewarisnya al-Hakim saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerusalem. Sistem Militer administrasi terbagi tiga; Pertama, Para Amir yang terdiri atas para perwira tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadz) dan para kasim, Ketiga, Komando-komando resimen yang masing-masing mengandang nama berbeda Hafizhiyah, juyusyiyah, Sudaniyah atau dengan sebutan khalifah, wazir dan suku. Aturan ini terdapat dalam buku pedoman seorang penduduk Mesir, al-Qalqasyandi (1418). Admintrasi internal dibukukan oleh Ya'qub Ibn Killis (w. 991) seorang wazir khalifah al-Mu'izz dan al-Aziz. Ia juga seornag tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada khalifahan Fatimiah di Mesir yang berhasil mendirikan universitas dan menghabiskan ribuan dinar perbulan untuk membiayainya. Di bawah kekuasanya seorang dokter terkenal Muhammad al-Tamim yang lahir di yerusalem berhasil pindah ke Mesir. Pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-'Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran syiah ekstrem. Untuk membangun institusi ini al-Hakim menggelontorlan dana 257 dinar yang digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan. Kurikulumnya meliputi kajian tentag ilmu keislaman, astronomi dan kedikteran. Meskipun pada tahun 1119 ditutup oleh al-Malik al-Afdhal karena dianggap menyebarkan ajaran bidah. (Philip K. Hitti, 2010: 798-801) Ali Ibn Yusuf (w. 1009) seorang astronomi paling hebat yang dilahirkan di Mesir; Abu Ali al-Hasan (bahasa latin, alhazen) dan Ibn al-Haitsam yang meruapakn peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ibn alHaitsam menulis tidak kurang seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran. Karya monumentalnya Kitab al-Manazhir mengenai ilmu optik; Ammar Ibn Ali al-Maushili dengan karya al-Muntakhab fi  'ilaj al-Ayn (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata) (Philip K. Hitti, 2010: 802-806) Mengenai kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat pascakekuasaan al-Aziz. Pascakemunculan kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka serta pertikaian dengan pasukan dari suku Berber menjadi salah satu penyebab keruntuhan Dinasti Fatimiah. para prajurit dan budak-budak yang berasl dari Sircasse dan Turki yang merebut kekuasaan Fatimiah kepada mereka sekaligus mendirikan dinasti baru. Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru berumur 11 tahun ketika naik tahta. Pemerintahanya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristiani (1009). Ia memaksa umat Kristen dan yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi keledai; setiap orang kristen diharuskan menunjukan salib yang dialungkan di leher ketika mandi; Orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Al-Hakim adalah khalifah islam ketiga setelah al-Mutawakil dan Umar II yang menetapkan aturan-aturan ketat terhadap nonmuslim. Jika tidak, tentu saja kekuasaan fatimiah akan sangat nyaman bagi kalangan dzimmi. Maklumat untuk menghancuran kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen Ibn Abdun dan tindakan itu merupakan salah satu penyebab umata terjadinya perang salib. Akhirnya, khalifah bermata biru ini mengikuti pengkembangan ekstrim ajaran Ismailiyah dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Keyakinan itu diterima dan diakui oleh sekte keagamaan terbaru yang disebut Drusiyah. Nama sekte ini diambil dari nama pendakwah mereka pertama al-Darazi (w 1019) yang berasal dari Turki. Pada 13 Februari 1021 al-Hakim terbunuh di Mukatam kemungkinan pembunuhan ini atas persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya Sitt al-Muluk yang telah diperlakukan tidak kormat oleh khalifah. (Philip K. Hitti, 2010:792-793) Ikhwanus Shafa Dalam konteks merajut persaudaraan sejati sekaligus membangun toleransi antaramadzhab, antaragama komunitas Ikhwnus Shafa (persaudaraan suci) menjadi model yang tak terbantahkan sumbangannya atas khazanah peradaban islam melalui filsafat. Konon, penamaan Ikhwanus Shafa diambil dari sebuah kutipan hadis mengatakan, “Kalau Aristoteles masih hidup, niscara ia akan beriman kepadaku.” Hadis ini bagi mereka menunjukkan tentang para bijak bestari pun akan sampai kepada kebenaran yang sama dengan para nabi. Betapa tidak, Novriantoni Kahar menuliskan harmonisasi agama dan filsafat mereka bukanlah menghimpun kebenaran-kebenaran filosofis dengan kebenaran-kebenaran agama. Mereka tidak menunjukkan penilaian yang berat sebelah kepada salah satunya untuk kemudian sampai kepada sintesis yang menghimpun antara unsur-unsur yang sama dan berkesesuaian sebagaimana dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun upaya mereka tak lebih dari menghindarkan pertentangan (raf'un nizā`), seperti dikemukakan Adil Awa, mereka senantiasa berada di persimpangan jalan (fī muntashaf at-tharīq) antara iman dan akal, agama dan filsafat.  (Islamlib, 17/07/2008) Meski filsafat acapkali dihujat karena dianggap sebagai masyarakat dan ulama mendekatkan kepada kekufuran. Namun, kecintaanya terhadap filsafat ini mengalahkan cacian ini. Sampai-sampai Adil Awa menggambarkan “Filsafat yang sudah sekarat dan tengelam oleh hegemoni Turki, fanatisme Hanbali, dan meningkatnya kekuatan Asy'ari, kini kembali bernyawa dan menemukan daya ungkapnya dengan kemunculan kalangan ensiklopedis yang dikenal dengan sebutan Ikhwanus Shafa” (Adil Awa, 1993;374). Harus diakui, komunitas bawah tanah ini diyakini cukup memberi warna dalam aktivitas berfilsafat di dunia Islam abad pertengahan. Aktivitas mereka dianggap sebagai suatu proyek ambisius (masyru' mitsāli) yang berdiri kokoh di atas landasan ilmu, filsafat, serta teologi Muktazilah. Atas dasar itu, mereka pun tak jarang disebut sebagai kaum Neo-Muktazilah untuk menghidupkan kembali etos keilmuan pendahulunya. Uniknya, seakan-akan mereka tidak gentar akan celaan khalayak dan intaian kaum Hanbalian. Berlatarbelakang Bashrah dan beberapa kawasan lainnya, ide-ide mereka berhasil diidentifikasi lewat 52 pasal risalah filsafat yang mereka tinggalkan: Rasāil Ikhwān as-Shafā' (Surat dari Brethren of Purity) Gerakan mereka untuk mempertahankan semangat berfilsafat dan pemikiran rasional di masa rapuhnya Dinasti Abbasiyah abad IVH/XM cukup massif. Karena itu, kebanyakan penelaah Rasāil berkesimpulan bahwa tujuan Ikhwanus Shafa tidak semata-mata demi memenuhi kebutuhan intelektual dan spiritual. Perubahan nama komunitas mulai dari Khulan al-Wafa, Ahl al-Adl sampai Abna al-Hamd ditempuhnya guna membangun cabang di Baghdad, ibu kota Khalifahan Abbasiyah. (Republika, 31/08) Risalah ini tidak ditulis oleh satu orang, tetapi hasil tulisaan keroyokan; Ahmad bin Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad bin Nashr al-Busti alias al-Maqdisi, Zaid ibn Rifa'ah, dan Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjany. Rāsail sendiri dibagi menjadi empat jilid dan 1.959 halaman. 14 risalah bicara tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, estetika, modal dan logika. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup-mati senang-sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran. 10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam. 11 risalah lain tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, soal magic dan azimat. (The Jakarta Post, 6 Juli 2008) Upaya harmonisasi antara agama dan filsafat itu dapat dilihat dari tiga perkara. Pertama, Pengakuan mereka terhadap nilai yang terkandung di dalam pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Kedua, Menganggap nabi adalah filosof bila tak terlanjur mendapat wahyu. Ketiga, Pandangan bahwa terdapat kandungan lahiriah dan batiniah dalam sumber-sumber ketentuan agama. Semangat keterbukaan terhadap setiap pengetahuan, mazhab, agama, dan umat lain sangat jelas terlihat dalam Rasāil. Ikhwanus Shafa misalnya menganjurkan para pengikut dan simpatisannya “…untuk tidak memusuhi ilmu atau memboikot buku jenis apapun, juga tidak dogmatis dalam bermazhab, karena gagasan dan mazhab mereka melingkupi semua mazhab dan pengetahuan manapun.” (Arthur Saadev & Taufiq Salum, 2000; 126). Namun di luar keterbukaan mereka di bidang agama, tendensi politik pergerakan mereka tetap menjadi lahan perdebatan. Pasalnya, mereka masih berada dalam lingkungan Syiah. Meskipun tidak berafiliasi pada sekte manapun. Ini  terlihat dari pernyataan-pernyataan seperti: “Ketahuilah wahai saudaraku, di antara kita ada sekelompok orang dari yang seagama dengan kita; mereka mengakui kebaikan kita dan Ahli Bait kita, tapi mereka tidak mengerti akan ilmu kita dan abai akan rahasia-rahasia agama dan kearifan dari kita. Karena itu mereka menentang keberadaan kita dan ingin melenyapkan eksistensi kita” (Ma'shum, 1998; 275). Kehadiran Universitas Al-Azhar Kairo Mesir merupakan salah satu bukti nyata khazanah islam Syiah (Fatimiyah). Pasalnya, Al-Azhar berasal dari sebuah masjid bernama Al-Azhar yang dibangun Panglima Besar Dinasti Fatimiyah, Jauhar As-Shaqaly, 359 H sebagai tempat ibadah semata. Baru setelah enam tahun berfungsi sebagai tempat ibadah didirikanlah bangun tempat kegiatan belajar dan majelis ilmu pengetahuan bermazhab Syi'ah Ismailiyah. Melekatnya filsafat dalam khazanah kesyiahan petanda peradaban islam merupakan perjuangan yang tanpa henti dilakukan oleh komunitas Ikhwanus Shafa. Berkat jasa mereka cara berfikir filsafat bisa merajut persaudaraan sejati yang sempat terkoyak-koyak akibat keangkuhan bermadzhab. Semoga. Pustaka Awa , Adil, 1993, Haqiqat Ikhwān as-Shafa', al-Ahali, Damaskus Esposito, John L, 1997, Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Esposito, John L, 2004, Islam: The Straight Path, Penerjemah Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta Hitti, Philip K., 2010 History of The Arabs: From The Earliest Times to The Present, penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta Islamlib, 14 Juli 2008 Ma'shum, Fuad, 1998, Ikhwān as-Shafā: Falsafatuhum wa Ghāyātuhum, Darul Mada, Suriah Misrawi, Zuhairi, 2010 Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, Kompas, Jakarta Republika, 25 April 2010 Republika, 31 Agustus 2010 The Jakarta Post, 6 Juli 2008 Saadev, Arthur & Taufiq Salum, 2000, al-Falsafah al`-Arabiyyah al-Islāmiyyah, Darul Farābi, Beirut

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun