Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saatnya Merayakan Kebebasan Beragama

28 Juli 2010   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus diakui, hingga kini tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara (agama suku) yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu dan jaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada di daerah pedalaman. Mengerikan memang. Haruskan jaminan kebebasan berkumpul, berserikan dan beragama sesuai dengan keyakiannya dan hak kemerdekaan pikiran, nurani dan kepercayaan hanya berhenti pada ayat-ayat, Pasal-pasal dalam undang-undang semata. Menilik ketidakmandirian dalam beragama dan berkeyakinan Djohan Effendi mengelurkan Maha Karya Merayakan Kebebasan   Beragama- Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi terbitan ICRP & Buku Kompas tahun 2009. Kado Ulang Tahun Ke-70 ini berisi enam bagian; Pertama, Jejak Djohan Effendi dalam Wacana dan gerakan Keagamaan di Indonesia (h.1). Kedua, Membumikan Toleransi dan Pluralisme (h.75). Ketiga, Wacana Pluralisme Agama (h.145). Keempat, Negara dan Kebebasan Beragama (h.313). Kelima, Gerakan Dialog Agama (h.495). Keenam, Agama, Teologi, dan Demokrasi (h.675). Ihwal keagamaan, seperti ditulis Mujiburrahman dalam Legitimasi dan Kritik: Pemikiran Keagamaan Djohan Effendi. Para sarjana sepertinya kurang memperhatikan perhatian yang layak terhadap pemkiran Djohan Effendi tersebut terutama jika dibandingkan dengan perhatian pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Ini menarik karena Djohan termasuk tokoh penting di kalangan pengusung ‘Islam non-ideologis’ tersebut. (h.47). Sebagai pengusung Islam non-ideologis lainnya menerima Pancasila sebagai titik temu bagi berbagai elemen bangsa. Pandangan ini tentu saja sejalan dnegan rezim Orde Baru sehingga ia di terima di departemen Agama dan Sekretariat Negara dimana Djohan juga bekerja sebagai penulis pidato presiden Soeharto. Meskipun diterima di kalangan Orde Baru bukan berarti ia setuju dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak demokratis. Djohan justru bergabung dengan gerakan demokrasi meskipun harus “mengorbankan nama baik”nya di mata pemerintah. (h.48). Baginya, nilai-nilai Pancasila sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam. Pasalnya, Islam sebagai ideologi politik tidak diperlukan. Apalagi soal konsep ‘negara Islam’ tak lebih dari utopia yang tidak berpijak pada realitas. Parahnya, tak ada negara Islam yang bisa dijadikan model ideal. Malahan keberadaan negara berbasis syariat itu menjadikan islam sebagai agama tidak toleran, kejam, bengis dan tidak menghargai hak-hak dasar civil. Mengenai keislamannya, Franz Magnis Suseno pada Gold Talk menuliskan DJohan Effendi yakin pada Islamnya tapi bebas dari segala sikap sombong atau merendahkan agama lain. Dia amat yakin bahwa agama harus betul-betul baik dalam arti menunjang tarikan kebaikan hati nurani, jadi harus menolak segala kecenderungan untuk membenci yang berbeda.(h.73) Ia menyakini dalam agama-agama pasti ada hal-hal baik yang bisa menjadi kepunyaan bersama, seperti ditulis Andreas A. Yewangoe, Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama di Indonesia. Seakan-akan kita semua, apapun agamanya, berziarah bersama di dalam perjalanan ziarah kemanusiaan, mencari nilai-nilai tertinggi. Dalam interaksi itulah kita memeproleh kekayaan spiritual bersama. (h.87). Kendati, bingkisan Milangkala ini dinilai tidak menyajikan dan tidak dibahas bagaimana posisi perempuan dalam agama-agama, kritik Yunianti Chuzaifah dari Komnas Perempuan “Sayang sekali buku ini tidak ada kata pengantar dari penerbit yg elaboratif yg cukup mengantar buku ini,” ungkap Ihsan Ali Fauzi dosen Universitas Paramadina Minimnya kehadiran orang muda yang terlibat dalam penulisan menjadi terkesan searah, cetusnya. Namun paling tidak Inilah beberapa ikhtiar Djohan Effendi dalam mengkampanyekan sekaligus merayakan kebebasan beragama di Indonesia. Kini, saatnya merayakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. [Ibn Ghifarie]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun