Kementerian Agama RI kembali akan menyelenggarakan Kongres Nasional Tokoh Agama III yang akan berlangsung, 9-11 Juni 2010, di Hotel Mercure Convention Centre Ancol, diikuti oleh 249 orang tokoh dan pemuka agama dari 33 Provinsi di seluruh Indonesia bertajuk "Kongres Umat Beragama untuk Memantapkan Etika Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara." Hadirnya para tokoh agama dari pelbagai majelis agama; MUI, KWI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN; ormas keagamaan NU, Muhammadiyah, Al Wasliyah, Nahdatul Wathan, dan Al Khairat diharapkan bisa membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Mengingat tinginya angka kekerasan antarumat beragama di persada Nusantara ini. Menurut Abdul Fatah, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama menjelaskan dengan diselenggarakannya kongres tokoh agama ini untuk meningkatkan silaturahim para pemuka agama dalam menyikapi persoalan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan secara bersama-sama. Termasuk membangun komitmen bersama pemuka agama untuk memperjuangkan perubahan mendasar dalam rangka memperkokoh etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ihwal materi bahasan dalam kongres III ini; sumbangan agama dalam memantapkan etika hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; agama, budaya, dan pendidikan karakter bangsa; agama dan penciptaan sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat; dan eksplorasi nilai-nilai agama dalam membangun kembali kepercayaan publik dalam perspektif masing-masing agama. (www.kemenag.go.id) Adakah landasan kerukunan antarumat beragama yang dibangun oleh Muhammad SAW semenjak hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam membangun (etika) peradaban yang beradab? Piagam Madinah Salah satu cara beretika dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda termaktub pada Piagam Madinah (Mitsaq Madinah). Pasalnya, Konstitusi Madinah ini merupakan tonggak awal Proklamasi toleransi, kerukunan antarumat beragama. Mari kita menelaah manuskrip Mitsaq Madinah yang terdiri dari X Bab dan 47 Pasal diantaranya; Bab I tentang Pembentukan Umat (pasal 1); Bab II tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 2-10); Bab III tentang Persatuan Seagama (pasal 11-15); Bab IV tentang Persatuan Segenap Warga Negara (Pasal 16-23); Bab V tentang Golongan Minoritas (Pasal 24-35); Bab VI tentang Tugas Warga Negara (Pasal 36-38); Bab VII tentang Melindungi Negara (Pasal 39-41); Bab VIII tentang Pemimpin Negara (Pasal 42-44); Bab IX tentang Politik Perdamaian (Pasal 45-46); Bab X tentang Penutup (Pasal 47) Untuk menjamin kelangsungan masyarakat Madinah yang plural sekaligus mengatur hubungan kerukunan antaragama Piagam Madinah meletakan darar-dasar yang melandasi kehidupan bersama-sama sebagai berikut: Pertama, Semua pemeluk islam, meskipun berasal dari banyak suku, merupakan satu komunitas. Kedua, Hubungan antara sesama anggota komunitas islam dan antar anggota komunitas islam dengan anggota komunitas-komuntas lain didasarkan atas prinsif-prinsif bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama (Munawir Sajali,1990:15). Secara lebih khusus, dalam pasal 25 Piagam Madinah disebutkan ”Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka”. Pasal ini memberikan jaminan terhadap kebebesan beragama. Di antara wujud kebebasan beragama ini ialah beribadah menurut ajara agamanya masing-masing. Juga dinyatakan pada pasal ini bahwa kaum Yahudi satu umat bersama kaum mukmin. Penyebutan demikian mengandung arti--merujuk pada kesatuan berdasar agama, orang-orang yahudi merupakan satu komunitas yang pararel dengan komunitas kaum muslim. Komunitas Yahudi bebas melaksanakan agama mereka. Kondisi ini merupakan sikap toleransi islam terhadap agama lain. (Sukarja,1995:21) Dengan demikian, Isi Konstitusi Madinah antara lain; Pertama, Hak masing-masing kelompok untuk melakukan peradilan. Kedua, Kebebasan beragama bagi semua golongan. Ketiga, Semua penduduk Madinah, baik kaum Muslimin maupun komunitas Arab non-Islam dan komunitas Yahudi, berkewajiban untuk saling membantu baik secara moral maupun material. Mereka harus bahu membahu guna mempertahankan kota Madinah apabila ada serangan musuh dari luar. Keempat, Rasulullah merupakan kepala negara di Madinah dan kepadanya dibawa segala perkara dan perselisihan besar yang tak bisa didamaikan oleh pihak-pihak yang bertikai untuk dapat diselesaikan. Kerukunan Sejati Di Bumi Pertiwi ini Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Indonesia dipelopori oleh Abdul Mukti Ali, Guru Besar Perbandingan Agama bersama Alamsyah Ratuperwiranegara menegaskan, pembinaan kerukunan hidup beragama perlu ditingkatkan dengan memberi bobot, sehingga menjadi musyawarah pemuka-pemuka umat beragama dari berbagai agama di Indonesia. Dari hasil itu dicanangkan strategi pembangunan yang selama ini kita kenal dengan istilah "Tri Kondial" (tiga kondisi ideal/trilogi kerukunan), yaitu kerukunan antarumat beragama, intern/sesama umat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dan pemerintah. Upaya mewujudkan kerukunan umat beragama erat kaitanya dengan kerjasama, dialog seperti yang diusulkan A Mukti Ali pada Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia (1993) di Yogayakarta; Pertama, Dialog kehidupan, rakyat dari pelbagai macam agama hidup rukun dalam satu negara, satu sama lain saling memperkaya keyakinan agamanya dengan perantaraan melakukan ajaran, dan keyakinan masing-masing. Ini terlihat dalam kehidupan antaragama yang sangat baik. Kedua, Dialog kerjasama, dan kegiatan-kegiatan sosial yang memperoleh inspirasi agama. Ini terekam jelas dalam melaksanakan pembangunan untuk memberantas kemiskinan. Ketiga, Dialog Intermonastik yang akan menimbulkan saling menghargai perbedaan, kerjasama antarumat beragama. Keempat, Dialog Koloquim Teologis yang dapat dilakukan oleh ahli-ahli agama dengan jalan tukar-menukar informasi tentang ajaran agama masing-masing. (Mukti Ali, 1993:17). Keterlibatan pemerintah dalam membangun sekaligus menjalankan kerukunan antarumat beragama sangat dinantikan. Tentunya, kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang berada disetiap provinis, kota, kabupaten, dan kecamatan perlu dioptimalkan dan didukung secara penuh. Sebab tanpa bantuan pelbagai pihak kerukunan tak akan tumbuh dan berkembang. Supaya tidak terjebak dalam kerukunan dan dialog antaragama yang bersifat semu dan elitis, maka Olaf H. Schumann, teolog dan pakar Islamologi dari Universitas Tubingen, Jerman mengingatkan kepada kita dalam buku Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (2005) Keterlibatan para pemuka agama dan bersifat grass roots menjadi modal utama membangun kerukunan sejati. Pun dalam dialog antariman harus menjalaninya dengan jujur seperti pengakuan Paus Benediktus XVI saat khotbah pertamanya sebagai Paus juga mengungkap kembali ajaran dasar Gereja dan seruan untuk bekerjasama dengan umat agama lain, khususnya Islam, dalam memerangi kebencian dan sikap intoleransi. Pasalnya, kehadiran umat beragama menjadi tiang penyangga persatuan bangsa dan pemberi solusi atas problem sosial (problem solver), bukannya malah menjadi komunitas yang justru menimbulkan sumber masalah (problem maker) bagi bangsa dan negara. Dengan demikian, kerukunan antarumat beragama menjadi pilar utama dalam membangun kerukunan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kiranya, kita harus mendengungkan kembali petuah suci ini; “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, pengajaran yang baik, dan berdialoglah dengan cara yang baik.” (QS.16:125) dan “Dengan kasih, dengan dialog dan kolaborasi dengan para pengikut agama lain, dengan kesaksian iman Kristen, mari kita mengakui, menjaga, serta mengembangkan kebaikan spiritual dan moral yang ditemukan pada umat beragama lain.” (Ensiklik Konsili Vatikan II Nostra Ætate:2). Selamat Kongres Nasional Tokoh Agama III. IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati kebebasan Beragama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H