Keputusan Presiden Jokowi selaku pemerintah pusat untuk mengambil alih dalam penyelesaian tindakan intoleransi di beberapa daerah di Indonesia sudah tepat. Itu disampaikan Presiden Jokowi Rabu (12/2/2020). Â Publik melihat, beberapa kepala daerah yang seharusnya menjadi simbol pemimpin dan juga teladan di daerahnya seakan tidak mampu berbuat tegas untuk menjalankan amanat konstitusi, yaitu menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah sesuai dengan kayakinan agamanya masing-masing.
Kepala daerah cenderung "takut" tidak dipilih lagi oleh mayoritas warganya yang kini mulai terjangkit virus intoleransi, menolak pembangunan rumah ibadah, hingga pembubaran masyarakat yang tengah beribadah.
Akhir-akhir ini kita dihadapkan dengan beberapa kasus yang membuat jengkel nurani kita sebagai bangsa Indonesia yang majemuk, bangsa yang didirikan oleh para founding fathers kita sebagai bangsa yang diperuntukan bagi semua golongan, semua suku bangsa dan semua pemeluk agama yang beragam dari Sabang sampai Merauke.
Tiba-tiba kita mendengar adanya pembangunan gereja baru di Tanjung Balai Karimun, Kepri yang dihentikan padahal sudah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sudah berdiri sejak 1928. Â Begitu juga kasus pengrusakan Mushala di Minahasa Utara dua pekan lalu (polisi sudah menetapkan tiga warga sebagai tersangka).
Selain dua kasus yang menonjol beberapa waktu belakangan, terdapat kasus lain misalnya pelarangan ibadah Hindu di Yogyakarta, pembubaran ibadah gereja di Medan Sumatera Utara, dan aksi intoleransi lainnya terkait kebebasan beragama, semakin marak terjadi. WAHID Institute bahkan mencatat jumlah pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia terus meningkat, pada 2017 jumlahnya 265 pelanggaran, dan pada 2018 meningkat menjadi 276 pelanggaran.
Pelanggaran itu mulai dari pembatasan, pembubaran, penyegelan, hingga pelarangan pendirian rumah ibadah. Banyak pihak menilai, seperti PBNU, bahwa akar masalah pelarangan pendirian tempat ibadah itu ada di SKB Dua menteri (Menag dan Mendagri), di mana pendirian rumah ibadah harus disetujui 60 warga sekitar dan memiliki 90 umat yang menandatangani pendirian rumah ibadah. Aturan tersebut perlu dikaji ulang guna menyelesaikan kasus pelarangan pendirian rumah ibadah di berbagai tempat di Indonesia.
Presiden Jokowi yang kini sudah memerintahkan Menkopolhukam Mahfud MD dan Kapolri Idham Azis untuk menyelesaikan langsung persoalan intoleransi yang ada di daerah-daerah ssekali lagi sudah sangat tepat. Hal itu karena jika menunggu Kepala Daerah bertindak, maka penyelesaian bisa "molor", di tengah cepatnya penyebaran arus informasi / viral, tindakan intoleransi beragama di satu tempat bisa memicu aksi balasan di tempat lain.
Kecepatan dan ketegasan pemerintah menjadi sangat penting. Apalagi, dala UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, Gubernur adalah kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Jadi, tidak ada alasan, pemda bertentangan dengan pemerintah pusat dalam hal penyelesaian masalah intoleransi. Maju Terus Indonesiaku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H