Mohon tunggu...
Ghesti Saraswati
Ghesti Saraswati Mohon Tunggu... Ilmuwan - Alumni Fisip UI

Belajar Bersuara Untuk Membangun Bangsa. Cheers

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Naturalisasi Artinya Warga Harus Tangkap Hujan, Pemprov DKI sedang Panik

5 Januari 2020   14:19 Diperbarui: 5 Januari 2020   14:22 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah bencana banjir menerjang daerah Jakarta dengan cukup parah di mana tempat yang sepanjang sejarah tidak pernah terkena banjir, namun saat ini terkena banjir hingga air memasuki rumah warga, Pemprov DKI melalui Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Anies Baswedan justru meminta warga menangkap hujan sebagai solusi mengatasi banjir. Tangkap Hujan disebut sebagai naturalisasi yang dimaksud Anies selama ini.

Tentu saja, pernyataan Pemrpov DKI adalah potret kepanikan Pemprov DKI menghadapi bencana yang di saat bersamaan menghadapi citra Anies Baswedan yang rontok di media sosial, karena ramai-ramai warga menggaungkan #AniesGakBisaKerja #AniesMundur, dll. Konsep Naturalisasi Anies jelas kacau, lalu Kenapa Pemprov DKI terkesan Panik?

1. Kita harus tahu dulu apa yang dimaksud normalisasi dan naturalisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) normalisasi adalah tindakan menormalkan kembali kepada keadaan atau hubungan yang biasa. Sementara naturalisasi adalah pemerolehan kewarganegaraan dan dalam biologi naturalisasi berarti gejala terjadinya penyesuaian tumbuhan yang berasal dari tempat lain dan menjadi anggota biasa masyarakat tumbuhan di tempat baru.

Dari segi bahasa normalisasi masih berkaitan dengan sungai, namun naturalisasi sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan sungai, apalagi menangkap hujan dari sini saja Anies dan timnya sudah salah kaprah dan memberikan pendidikan bahasa yang buruk kepada rakyat.

2.  Anggota TGUPP Muslim Muin yang katanya pakar hidrodinamika ITB menyampaikan konsep naturalisasi dengan tangkap hujan bisa menyelamatkan Jakarta dari banjir. Ia menyebut, natural itu artinya air hujan turun ke hutan, diserap hutan, dan sisanya dibuang ke sungai. Dan karena di Jakarta tidak ada hutan, maka yang harus menangkap hujan menggantikan hutan adalah warga-warga.

Ya, warga diminta seperti di hutan menangkap hujan. Muin meminta warga menyiapkan taman-taman yang lebih rendah dari tinggi rumahnya agar bisa menangkap dan menyerap air hujan di depan rumah seperti di rumahnya Muin.

FAKTA : Anggota TGUPP Anies Muslim Muin ini nampaknya menganggap keadaan DKI Jakarta masih sama seperti masa tahun 1970-an, saat Jakarta banyak lahan luas dan rumah warga tersedia taman luas. Muin pun hanya mengambil contoh rumahnya yang mewah dan luas dibanding mayoritas rumah warga DKI yang hidup berdempetan dan sangat padat. Jangankan membuat taman, untuk tidur saja warga DKI harus berdesakan dengan perabot rumahnya yang sulit tertampung dengan keadaan perabot.

Mayoritas warga DKI hidup dalam keadaan yang sangat padat yang tak mungkin membuat taman di rumahnya. Data BPS menyebut  1 km wilayah di Jakarta dihuni 15.173 jiwa. Bahkan di Kec. Tambora dan banyak daerah di Jakarta satu petak rumah bisa dihuni 3-4 keluarga. Hal itu didukung laporan Oxford Economics berjudul Global Cities 2018 yang menyebut Jakarta akan menjadi Kota Terpadat di dunia pada 2035 dengan jumlah penduduk  38 juta jiwa. Jadi, gimana mau mikirin taman, kalau untuk tidur saja warga DKI sulit??? Meminta warga menangkap hujan jelas pernyataan panik dari Pemprov DKI.

Menangkap Hujan dalam rangka naturalisasi mengatasi banjir adalah konsep aneh yang tidak memiliki contoh keberhasilan di dunia. Jika ingin berhasil, seharusnya Pemprov DKI menjalankan konsep daylighting, proses mengembalikan fungsi alami sungai dan saluran, setelah ditutupi oleh pembangunan fisik kota yang tidak beraturan.

Kemudian saluran dan sungai tersebut dikumpulkan menyatu dengan infrastruktur utama penanganan banjir. Proses yang sebenarnya hampir sama dengan yang disebut normalisasi ini terbukti berhasil di beberapa negara, seperti Korea Selatan, Sungai Saw Mill di New York, Kanal Alam Fairnburn and Parahiku di Auckland,  dan di Zurich Swiss

Di Korsel, Wali Kota Seoul Lee Myu-bak (yang kini menjadi presiden) di Cheonggecheong berhasil menata sungai dengan menghilangkan bangunan, jalan dan infrastruktur fisik untuk membentuk saluran artifisial yang terhubung dengan sungai utama.

Akhirnya, daerah kumuh sungai di sana yang tadinya sarat tindak kriminalitas menjadi micro-climate yang nyaman, menjadi penyedot puluhan ribu turis setiap harinya, dan tentu saja tercipta sistem pengendali banjir yang andal. Seharusnya Pemprov DKI belajar dari Korsel, bukan malah menciptakan konsep aneh dan cenderung menyalahkan daerah lain.

3. Anggota TGUPP Muin justru Menyalahkan Pemerintah Pusat (Presiden Jokowi) yang tidak menginstruksikan daerah di Bogor untuk melakukan "tangkap hujan" sehingga berakibat banjir di Jakarta.

FAKTA : Presiden Joko Widodo telah melalui KemenPU PR telah membangun bendungan Ciawi dan Sukamahi di daerah puncak untuk membantu mengatasi banjir. Pada akhir tahun 2020, dua bendungan tersebut bisa beroperasi. Di DKI Sungai Ciliwung yang sepanjang 30 KM pun 50 persen (15 km) sudah dinormalisasi sungainya, yaitu fungsi sungai dijadikan seperti semula, tidak ada lagi hunian liar di atas sungai yang merusak fungsi sungai, sungai diperdalam dan dilebarkan. Namun sejak Anies menjabat, proyek normalisasi tidak lagi dijalankan karena Anies menuruti keinginan warga yang tinggal secara liar (tanpa izin) di bantaran dan atas sungai untuk tidak digusur.

Anies mungkin menuruti keinginan warga karena tidak ingin kehilangan suara mereka di mana Anies berniat berkuasa menjadi presiden di 2024.

Keputusan Anies berdampak fatal, di sepanjang sungai yang sudah dinormalisasi oleh pemerintah pusat tidak ada genangan air, namun di tempat yang belum dinormalisasi, air sungai meluap, bahkan luapannya sampai menyebar ke wilayah yang sungainya sudah dinormalisasi. Keadaan yang tidak akan terjadi jika sungai di DKI tuntas dinormalisasi.

Jadi, TGUPP DKI yang mencoba menyalahkan pemerintah pusat tidak perintahkan "tangkap hujan" di Bogor sebenarnya adalah upaya melempar tanggung jawab dan menutupi kepanikan Pemprov DKI yang terbukti belum berbuat banyak dalam menghadapi bencana rutin yang mengancam DKI Jakarta sejak dulu, yaitu BANJIR.

4. Anies Sebut Naturalisasi Bukan Tangkap Hujan. Pada 2018, di hadapan media, Anies menyampaikan, naturalisasi sungai yang akan dilakukan itu maksudnya adalah membuat sungai bisa mengelola air dengan baik agar tidak melimpah, namun ekosistem sungai tetap dapat dipertahankan. Pada pertengahan 2019 Anies pun mengatakan, naturalisasi sudah dijalankan dan warga diminta melihat hasilnya di akhir Desember 2019. HASILNYA BANJIR PARAH.

FAKTA : Anies tidak pernah menjelaskan dengan detail maksud naturalisasi sungai ke pemerintah pusat, jajaran Pemprov DKI pun bingung saat ditanya maksud naturalisasi. Itu menghambat Kemen PU PR bertindak dan mengerjakan proyek mengatasi banjir di DKI. \

Faktanya, naturalisasi yang dimaksud Anies bukan tangkap hujan. Jadi, dalam ilmu sosiologi, apa yang dilakukan pemprov DKI mencerminkan perilaku sosiologi kepanikan, mereka sedang bingung bin panik menghadapi banjir di DKI ditambah hujatan netizen kepada Anies yang sedang pencitraan demi Pilpres 2024. Warga DKI yang Sabar Ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun