Mohon tunggu...
Ghery Helwinanto
Ghery Helwinanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca memiliki banyak tujuan seperti mencari arah ke tempat tujuan, mencari arti dari suatu kata, mencari penjelasan dari suatu kejadian, dan lain-lain. Membaca juga tidak melulu soal buku, bisa juga koran, majalah, artikel ilmiah, artikel berita, peta, kamus, hingga bibliografi.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Menulis Dialog Untuk Cerita Fiksi (Part 1)

29 November 2023   12:49 Diperbarui: 9 Desember 2023   07:00 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.idntimes.com/hype/entertainment/faidah-rahim/jadi-dokter-10-potret-takeru-satoh-di-koi-wa-tsuzuku-yo-dokomademo-c1c2

Dialog dalam cerita fiksi tidak sama dengan perbincangan sehari-hari kita dalam hubungan antarpribadi. Dialog sebagai fiksi konon katanya harus dibuat "natural" sehingga percakapan yang terjadi antara tokoh dapat lebih masuk akal. Tapi apakah saran tersebut benar-benar membantu dalam penulisan cerita fiksi? Apa yang Anda maksud dengan natural? Apakah harus sama persis dengan percakapan kita sehari-hari?

Dialog bukanlah sebuah percakapan sehari-hari. Dalam konteks cerita fiksi, dialog memiliki peran yang jauh lebih besar daripada kata-kata yang diucapkan seorang tokoh satu ke tokoh yang lain. Dalam sebuah dialog terdapat text dan subtext. Text merupakan pesan yang disampaikan oleh seorang tokoh dalam cerita ke tokoh lainnya. Sementara, subtext memiliki peran yang lebih dalam dan dapat menciptakan kekompleksitasan dalam sebuah dialog.

"Subtext is the implied, unspoken meaning of character's words and actions in a story." - Studiobinder

Subtext dapat diartikan sebagai makna tersirat dan makna yang tak terucapkan dari kata-kata, serta tindakan dalam sebuah cerita. Seorang tokoh protagonis dapat berkomunikasi dengan tokoh lain untuk mendapatkan informasi tambahan dalam mencapai tujuannya. Tetapi, kita sebagai pembaca atau pengamat tahu betul apakah hal itu yang benar-benar dicari oleh si protagonis. Kita yang mengetahui watak si protagonis tentu saja memahami bahwa itu dilakukan oleh protagonis untuk mengecoh tokoh lawan bicaranya untuk menguji kebenaran informasi yang sebelumnya telah diketahui oleh si protagonis kita misalnya.

Makna tersirat tersebut sangat jelas kita ketahui sebagai pembaca. Atau dalam cerita romance, saat seorang heroine yang tertarik dengan protagonis kita, alih-alih mengutarakan perasaannya malahan tokoh tersebut mengucapkan kata yang menyakiti perasaan protagonis kita. Banyak jenis dialog yang dapat dibuat oleh penulis dengan makna tersirat di dalamnya sehingga dapat menciptakan kompleksitas pada tokoh yang dibuatnya.

Tapi, apakah setiap dialog harus mengandung subtext atau makna tersirat yang coba disampaikan oleh tokoh ke tokoh lainnya? Tidak juga, ada sebuah adegan dalam cerita yang tidak memerlukan subtext. Dengan kata lain, tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat mengatakan secara langsung pesan yang ingin disampaikannya.

Hal yang perlu diingat dari membuat dialog bukanlah gaya bicara yang mewah, bijaksana, dan mendayu-dayu. Dialog memiliki sedikit kesamaan dengan halnya komunikasi. Dialog digunakan oleh tokoh utama untuk menyampaikan sesuatu dan dialog tersebut juga harus juga mampu membuat cerita bergerak maju. Bila tidak, mengapa kita membuatnya dari awal? Oleh sebab itulah mengapa penulis harus menghindari percakapan seperti ucapan salam selamat pagi/siang/sore/malam dalam setiap dialog yang dibuatnya. Kecuali, hal itu memiliki sebuah tujuan. Mungkin setelah mengucapkan salam tersebut, protagonis kita tidak akan lagi bertemu dengan tokoh lawan bicaranya lantaran ada sebuah insiden tidak terduga misalnya. Dialog perlu dipikirkan dengan baik. Bila dialog tidak memiliki kemampuan untuk membuat cerita bergerak dari tempatnya, mungkin Anda perlu untuk memotongnya.

Dialog yang baik juga diawali dengan adegan yang baik. Mengapa tidak? Sebuah dialog terdapat di dalam sebuah adegan dan bila adegan tidak diperlukan untuk ditunjukkan (Show), maka adegan tersebut mungkin tidak perlu ada/ dapat diganti dengan penjelasan (Tell) tergantung kasus masing-masing. Melalui masterclass.com, David Mamet berpendapat bahwa di dalam setiap adegan perlu memuat 3 hal. Tiga hal tersebut adalah:

  • Who wants from who?

Seorang tokoh atau beberapa tokoh memiliki sebuah keinginan. Ingat bahwa saya selalu bilang bahwa Want adalah benda yang wajib ada dalam cerita fiksi? Dalam sebuah dialog, beberapa/ seorang tokoh memiliki keinginan tertentu dalam sebuah percakapan. Entah itu untuk mendapatkan informasi, menguji informasi, atau bahkan hanya sekedar untuk menyampaikan keluhan. Jika baik penulis atau kedua tokoh di dalam ceritanya tidak memiliki keinginan untuk sesuatu lantas hal itu hanya akan menjadi basa-basi yang tidak diperlukan dalam cerita fiksi. Yang mana hal itu tidak diperlukan sebenarnya.

  • What happens if they don't get it?

Konflik dapat terjadi bila dua atau lebih tokoh tidak memiliki tujuan yang sama. Hal ini bisa diterapkan dalam sebuah dialog. Tokoh A mungkin berdialog dengan tokoh B, tapi apakah keinginan tokoh A sama dengan tokoh B? Bila tidak, mungkin salah satu dari keduanya tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Lalu kenapa? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dialog yang tidak menghasilkan ketercapaian si tokoh dapat membuat cerita bergerak maju alih-alih diam di tempat. Mungkin seorang ayah sebagai orangtua tunggal ingin mencari anak perempuannya yang hilang di sebuah taman hiburan. Dia sudah lapor kepada pihak yang mampu mengatasi masalah tersebut, namun pihak tersebut tidak bisa melakukannya karena berbagai alasan. Selanjutnya, peristiwa tersebut lantas menghantarkan si ayah untuk menjajaki area baru dalam cerita dan hal itu jugalah yang membuat alurnya bergerak hingga cerita berakhir pada ending.

  • Why now?

Jika bisa dilakukan nanti kenapa sekarang? Dalam dialog, timing atau penempatan waktu cukup krusial. Mengapa dialog harus terjadi sekarang? Hal ini karena waktu di dalam cerita terus berjalan. Sementara itu, penempatan dialog harus tepat.

Dalam novel Real Face karya Chinen Mikito, terdapat protagonis bernama Asagiri Asuka yang akan mengikuti sesi wawancara di sebuah klinik kecantikan. Di awal cerita sebagai pembaca, kita tahu bahwa Asuka sedikit ragu ketika memanggil Hiragi. Tapi meski begitu dia tetap memanggil pria yang memakai jas tersebut. Hiragi lantas bersikap ramah. Kita sebagai pembaca tahu pada halaman berikutnya bagaimana Hiragi akan bersikap setelah dia tahu yang sebenarnya. Hal ini karena Hiragi berpikir bahwa Asuka adalah seorang pasien yang sudah mengatur janji untuk bertemu di klinik. Sementara itu, kita juga sudah tahu bahwa ini adalah momen interview bagi Asuka. Pada beberapa saat Hiragi sangat memperlakukan Asuka dengan ramah seperti seorang profesional hingga pada momen dimana wanita bernama Sanae muncul dan menjelaskan situasi yang sebenarnya.

Adegan ini penting karena adegan ini menjadi titik awal Asuka mengenal tokoh si Hiragi dan Sanae, serta bagaimana mereka memperlakukannya. Dalam konteks tiga elemen dalam dialog, kita diperlihatkan pada awal novel bahwa Asuka ingin mengikuti wawancara untuk bekerja di klinik miliki Hiragi. Kita tahu motivasi dari percakapan yang akan dilakukan oleh Asuka. Sementara, di sisi lain, Hiragi ingin memberikan saran pada "pasiennya" dengan melakukan operasi secara sederhana untuk membuat wajah pasiennya menjadi lebih cantik lagi. Maka dari itu, who wants from who sudah terjawab. Asuka ingin diterima bekerja di klinik tersebut untuk mendapatkan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun