Mungkin banyak dari kita yang sudah tahu tentang arch plot ini di dalam cerita yang kita baca mungkin juga ada di cerita yang kita tonton dalam film. Arch plot sudah menjadi hal yang paling umum kita temui dalam cerita-cerita. Tapi apa arch plot itu sebenarnya?
Shawn Coyn dalam bukunya "The Story Grid" berpendapat bahwa arch plot menampilkan satu protagonis yang aktif, khususnya dalam mengejar objek yang diinginkannya (Want) sambil menghadapi kekuatan antagonis ekternal. Keinginan dari si tokoh protagonis bisa bermacam-macam. Contohnya, mungkin tokoh kita ingin cinta dalam hidupnya, mungkin dia butuh pekerjaan baru, atau pendidikan perguruan tinggi, atau juga ingin menemukan sebuah harta yang dimimpikannya.
Di sisi lain, apa itu kekuatan antagonis eksternal? Kekuatan antagonis eksternal ini di dalam cerita dapat terlihat sebagai penjahat atau dorongan dari "luar diri" sang protagonis yang menghambatnya. Mungkin ada seorang yang jahat (bisa juga lebih dari satu) berusaha menghalangi si protagonis, atau mungkin itu malah sebuah institusi.
Ciri yang paling jelas dari tipe plot ini adalah sang protagonis tidak akan pernah menjadi orang yang sama setelah perjalanannya dimulai. Keren, bukan? Meskipun, itu juga bisa berarti buruk jika perjalanan itu tidak diakhiri dengan sesuatu yang manis di ujungnya. Apapun itu, tokoh protagonis sepenuhnya menjadi orang yang berbeda daripada saat dia masih di awal cerita. Jika kalian pernah menonton film The Hobbit. Gandalf The Grey pernah bilang kepada Bilbo bahwa Bilbo tidak akan menjadi seorang hobbit yang sama setelah dia mulai perjalanannya dalam membantu merebut kerajaan para dwarf. Entah itu gagal atau tidak saat dia kembali ke kampung halamannya, dia sudah mengalami hal yang berbeda dibandingkan saat dia duduk di depan rumahnya. Karena perubahan ini, arc plot memiliki potensi untuk menarik banyak audiens di luar sana. Jadi jangan pernah ragu untuk menulis plot tipe ini.
Kita bisa melihat diri kita dalam arch plot, bagaimana kita berusaha memenuhi keinginan kita dan gagal dalam memenuhinya. Entah itu tentang materi, hubungan romatis, atau hal lain, terkadang kita percaya bahwa terdapat kekuatan yang menghentikan kita untuk mendapatkan keinginan itu. Oleh sebab itu, hanya lewat konfrontasi secara aktif dan kekalahan terhadap kekuatan antagonis eksternal itulah kita dapat memperoleh sesuatu yang bernilai. Tetapi, terlepas kita gagal mencapainya ataupun berhasil, kita tidak akan bisa menjadi orang yang benar-benar mirip dengan diri kita sebelum memulai usaha-usaha untuk mencapainya. Pengalaman terasa seperti sesuatu yang tidak dapat direset.
Pada titik ini, saya rasa keinginan (Want) sudah menjadi awal tokoh protagonis kita memulai perjalananya. Jadi, bagaimana soal kebutuhan (Need)?
Seperti yang selalu saya katakan, Want dan Need adalah hal yang wajib ada dalam setiap cerita, bagaimana pun baik buruknya penulisannya. Semua jenis tokoh protagonis dalam cerita wajib memilikinya terlepas itu tercapai atau tidak sama sekali.
Kebutuhan (Need) menjadi pertimbangan selanjutnya bagi tokoh protagonis untuk dipelajari oleh-nya. Apa yang dia butuhkan sebenarnya? Pertanyaan semacam itu harus terjawab oleh kita sebagai penulis cerita/ pembaca/ penonton ataupun oleh si protagonis dalam cerita itu sendiri. Tapi apakah itu harus dicapai dalam cerita? Itu terserah pada tokoh protagonis Anda. Apa pilihannya sepanjang cerita dan apa jawabannya di beberapa halaman atau beberapa menit sebelum cerita berakhir? Apakah dia pikir dia perlu berubah? Apakah sudah belajar sesuatu sepanjang cerita? Bila keputusan itu membuat salah satu atau keduanya tercapai atau juga sebaliknya (gagal), maka begitulah akhir yang didapatkan. Saya juga pernah menuliskan mengenai pengaruh tercapainya tidaknya Want dan Need pada artikel 4 Macam Cara Mengakhiri Sebuah Cerita Fiksi.
Protagonis yang aktif dalam arch plot tentunya didukung dengan aspek keberanian, kebebasan batin, dan aspek lain yang membuatnya bergerak dari kursi duduknya. Jadi, jika protagonis Anda tidak bergerak di awal cerita, Anda harus segera membuatnya bergerak sesegera mungkin sebelum semuanya terlambat dan cerita itu tidak dapat disebut sebagai Arch Plot. Beberapa waktu lalu, saya pernah membaca tentang seorang tokoh protagonis yang tidak memiliki minat untuk menyelesaikannya masalahnya sendiri hingga hampir seperdelapan halaman buku. Beruntungnya, tokoh protagonis itu akhirnya didorong oleh sang kekasih untuk segera menyelesaikan masalahnya, yang kemudian membuatnya masuk ke dalam cerita yang sesungguhnya. Saya tidak menyarankan Anda untuk menulis dengan cara tersebut atau pembaca Anda akan segera lari, terkecuali Anda penulis terkenal yang memiliki audiens yang loyal.
Jadi, jika Anda ingin menulis dengan arch plot, pastikan untuk memberikan tokoh protagonis keberanian untuk memulai apapun, meskipun itu mungkin diwarnai dengan keragu-raguan/ kecemasan yang tidak begitu dalam atau juga tidak sama sekali. Tapi intinya, tokoh protagonis Anda harus berusaha untuk sesuatu alih-alih diam. Tokoh protagonis yang memiliki empati kita dalam arch plot memberikan kita keberanian untuk memeriksa kehidupan kita sendiri dan mengubahnya. Â
Bila ada pertanyaan, apakah arch plot sama dengan tidak ada konflik internal? Sebenarnya kita bisa menambahkan konflik internal dalam diri si protagonis. Kita mungkin juga bisa menambahkan unsur dorongan antagonis internal melalui prinsip-prinsip yang dipegangnya atau keragu-raguan dalam bertindak. Namun, penting untuk diingat bahwa hal ini bersifat sementara. Si protagonis perlu merasakan keberanian lagi dalam hidupnya untuk bertindak. Saya ingat kembali saat saya menonton The Hobbit terdapat adegan dimana Bilbo yang ingin pulang ke Shire setelah dirinya ragu apakah misi itu akan berhasil. Meskipun begitu setelah dia menemui situasi baru, dia harus mengumpulkan keberanian untuk bertindak daripada kabur dari situasi yang dihadapinya dan pulang ke Shire.
Coyne (2015) mengatakan bahwa tindakan murni protagonis tidak diganggu oleh keraguan atau penyimpangan batin atau kecemasan yang mendalam. Meskipun, arch plot terdengar klise dan sering dipakai, serta mendapat julukan cara paling klasik untuk mengisahkan sebuah fiksi, akan tetapi cara ini memanglah efektif bagi pemula sekalipun untuk menulis cerita fiksi.
Daftar Pustaka
Coyne, Shawn. (2015). The Story Grid. New York: Black Irish Entertainment.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H