Mohon tunggu...
GheaRayya
GheaRayya Mohon Tunggu... pegawai diri sendiri -

only hate the road when i'm missin' home

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bersahutan Puisi antara Stuttgart - Manchester

29 Desember 2014   11:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:15 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sela-sela finishing essay, dan masih sempat-sempatnya ‘nggombal' sama partner in crime itu adalah sebuah kreativitas. Kegilaan kata-kata berantai yang saling bersahutan, menjelma menjadi sebuah cerita tentang rindu pada masa lalu. Karena kami memang pernah dipersatukan oleh dinding waktu terutama di enam tahun yang lalu (2008-2009). Dalam rentang jarak yang tak lagi terukur dengan puluhan kilometer, disinilah kami kembali bersua, dalam kegilaan kata-kata kami. Dan karya ini menjadi satu bukti (+ VWH dan - YAD, sorry simbol ini tidak merujuk pada value positive or negative):

Latar belakang (hahah koyo nulis paper ae iki): kirim-kiriman foto salju dari Stuttgart dan iceing dari MCR.

+: wow, tak terbayang dingin yang mengiris sendi… beku yang menyayat kalbu… apalagi jika hati terserang galau karena rindu masa lalu…

-: pada bisu ranting-ranting pohon yang berselimut dinginnya salju, kusandarkan rinduku padamu, yang tak pernah beku dan tak terlukai oleh waktu

+: segera kau lupakan masa lalu itu, karena ia senyata adalah semu; selaksa bayangan pudar, tersapu roda waktu yang berpendar

-: mungkin benar, aku hanya tertipu oleh aroma sepi bernama masa lalu. karena pada bangku-bangku yang diam dan beku, tak pernah kutemukan bayangan dirimu berselubung kabut rindu. atau ini hanya aku yang terlalu mengingatmu tak tahu waktu…

+: sudahlah… tipuan rindu itu hanya angin yang menderu, tak perlu kau ragu akan kata-kataku, tinggalkan bangku beku itu sekarang, dan melangkahlah jauh hingga kau serasa terbang… dan biarkan rindu itu termangu diam di sudut waktu yang tak lagi memberimu tempat bersemayam… (ilustrasi VWH1)

-: lalu, mengapa tetap saja kutemukan jejak-jejak kenangan tadi pagi kala kusesap aroma kabut yang memenuhi rongga dadaku hingga membuatku kembali tersudut? (ilustrasi YAD1)

+: percayalah, kabut itu akan segera pergi, seiring siraman hangat mentari pagi. tapi memang jejak itu takkan hilang, kecuali tertimbun lagi oleh beku salju yang turun meradang… (ilustrasi VWH2)

-: ach… cerita tentang kabutmu itu sungguh mengusikku. sama tatkala aku terpekur pada pepohonan yang berubah warnanya seiring dengan bergantinya waktu, yang padanya hanya kutemukan sebuah bangunan semu, yang wujudnya pun aku tak tahu, dan bahkan hanya kudengar sendu menderu di sela dedaunan yang semakin renta dan muram tak tentu (ilustrasi YAD2)

+: lagi-lagi tentang sendu di sela dedaunan pada pepohonan yang berubah warna… sudahlah, bangunan semu itu hanyalah difraksi cahaya, kau takkan bisa menyentuhnya. pun masa lalu yang telah berlari menjauh ke belakang, kini saatnya kau beranjak menghadang. seperti aku yang terseok dalam tepisan badai rindu yang membuatku terjengkang (hahaha, mesakne sampai terjengkang ngene iki)

closing statements:

+: mari kita bergandengan tangan, menyeka peluh rindu dalam kediaman, agar tak ada lagi semunya harapan, dan kita berjalan tegap ke depan (Painem, 2014)

-: sesungguhnya akan ada cahaya indah meski mungkin tak selalu terang yang menantimu. cahaya yang mampu mengenyahkan segala resahmu, membunuh ragumu, dan meyakinkanmu untuk meyakini jalanmu (Paijem, 2014)

Acknowledgements: ibu-ibu OBOB (mba Ningche, mba Asche dan Huche)

Salam cinta dan peluk hangat dari Pinche dan Vyche.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun