Mohon tunggu...
Ghazza Ardiyanto
Ghazza Ardiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menganalisa Asas-Asas Perkawinan yang Terdapat pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

22 Februari 2024   10:38 Diperbarui: 22 Februari 2024   10:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Prinsip asas sukarela dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan pentingnya kesepakatan bebas dalam perkawinan sebagai fondasi yang tak tergantikan. Ini menggarisbawahi bahwa perkawinan harus didasarkan pada keinginan dan persetujuan sepenuhnya dari kedua belah pihak yang akan menikah. Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa kesepakatan tersebut tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan eksternal, paksaan, atau ancaman. Hal ini menegaskan hak setiap individu untuk membuat keputusan tentang kehidupan pribadi mereka tanpa campur tangan atau intervensi yang tidak sah.

2. Asas Partisipasi Keluarga

Prinsip ini menekankan pentingnya partisipasi aktif dan kontribusi kedua belah pihak dalam membangun dan menjaga kekompakan keluarga, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memikul tanggung jawab sebagai anggota keluarga. Hal ini mencerminkan prinsip kesetaraan, saling mendukung dan saling menghormati antara laki-laki dan perempuan dalam membangun keluarga yang harmonis.

3. Perceraian Dipersulit

Prinsip perceraian yang dipersulit dalam UU tersebut mencerminkan komitmen untuk mendorong kelangsungan perkawinan dan meminimalkan tingkat perceraian. Dengan menetapkan prosedur yang rumit dan berliku untuk mengajukan perceraian, undang-undang ini mengharuskan pasangan suami istri untuk melakukan refleksi mendalam tentang alasan di balik keputusan mereka untuk bercerai. Proses yang panjang dan kadang-kadang melelahkan ini dapat memberi waktu bagi pasangan untuk menyelesaikan konflik mereka, mencari solusi, dan bahkan memperbaiki hubungan mereka. Dengan demikian, prinsip ini bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga, melindungi kesejahteraan anak-anak, dan mendorong komunikasi serta rekonsiliasi di antara pasangan yang sedang mengalami kesulitan dalam pernikahan mereka.

4. Poligami Dibatasi dengan Ketat

Ketatnya pembatasan terhadap poligami dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 mencerminkan pengakuan akan kompleksitas dan potensi konflik yang terkait dengan praktik ini. Meskipun poligami diizinkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu, undang-undang tersebut menetapkan persyaratan yang ketat dan prosedur yang rumit untuk melaksanakannya. Misalnya, seorang suami yang ingin mengambil istri kedua harus mendapatkan izin resmi dari pengadilan setelah memberikan bukti bahwa ia mampu memenuhi hak-hak dan kesejahteraan kedua istri tersebut. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk melindungi hak-hak perempuan sebagai istri, mencegah penyalahgunaan poligami untuk tujuan yang tidak baik, dan memastikan keadilan dan kesejahteraan dalam hubungan rumah tangga.

5. Kematangan Calon Mempelai

Asas ini menyatakan bahwa calon pengantin telah cukup umur untuk menikah maupun sehat jasmani dan rohaninha untuk mencapai tujuan perkawinan yang baik tanpa berakhir dengan perceraian dan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat. Batasan usia perkawinan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Akan tetapi, UU tersebut telah diubah oleh UU no. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang isinya mengatur batasan minimum seseorang untuk dapat menikah yang tercantum dalam pasal 7 ayat 1 yaitu "perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun."

6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita

Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang selaras didalam hubungan perkawinan. Maksudnya adalah suami istri harus saling memenuhi kewajiban atau kedudukan kedua belah pihak agar hak masing masing pihak terpenuhi. Selain itu, jika sedang ada permasalahan rumah tangga sebaiknya adakah diskusi bersama sebelum diputuskan. Sebagaimana termuat pada pasal 31 ayat 1 yang isinya mengandung pengertian bahwa kedudukan suami istri di posisikan sederajat dengan tidak ada yg lebih berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun