Mohon tunggu...
Ghazza Ardiyanto
Ghazza Ardiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia

21 Februari 2024   22:45 Diperbarui: 13 Maret 2024   10:57 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasalnya, meningkatnya nikah siri menimbulkan banyak permasalahan yang akhirnya muncul dan banyak masyarakat yang menganggap remeh keperdataan nikah. Serta aspek hukum yang mengkaji persoalan perlu atau tidaknya pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan. Pembahasan mengenai perspektif sejarah Undang-Undang Pencatatan Perkawinan diperlukan bukan hanya sebagai argumentasi terhadap perlunya pencatatan perkawinan, namun juga untuk memahami Undang-Undang Pencatatan Perkawinan secara komprehensif. Pasal tersebut menyimpulkan bahwa UU Pencatatan Nikah sudah dikenal di Indonesia bahkan sebelum adanya BW dan HOCI sebelum kemerdekaan. Sedangkan setelah kemerdekaan, UU No. 22 Tahun 1946 dan No. 32 Tahun 1954. Dan lebih spesifiknya UU no. 1/1974 tentang Perkawinan. Pembahasan sejarah pencatatan perkawinan di Indonesia tidak lepas dari sejarah perkembangan hukum perkawinan, karena pencatatan perkawinan merupakan bagian dari hukum perkawinan. mengacu pada undang-undang no. 1 tentang perkawinan tahun 1974, karena kelahirannya merupakan salah satu bentuk persatuan hukum dalam bidang perkawinan yang merupakan cita-cita pokok kemerdekaan Indonesia tahun. Dengan demikian, sejarah hukum perkawinan terbagi dalam dua periode, yaitu: (1) sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan (2) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

Salah satu alasan pendapat kedua, dimana pencatatan perkawinan
tidak dianggap sebagai syarat sah perkawinan, adalah dari sudut pandang sejarah undang-undang pencatatan perkawinan. Yakni dengan memperhatikan Aturan
Pencatatan Perkawinan Sebelumnya yaitu ketentuan Undang-undang Nomor
Pasal 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Perkawinan, Perkawinan, Perceraian dan Perdamaian. , Kematian dll. Selain itu, pernikahan berkaitan erat dengan warisan, sehingga pernikahan harus didaftarkan untuk menghindari kekacauan

Mengapa Pencatatan Perkawinan di Perlukan

Pencatatan perkawinan sangat diperlukan karena memberikan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak, serta melindungi hak-hak bagi pihak perempuan seperti hak untuk mendapatkan nafkah, tempat tinggal, warisan, dan harta gono gini bila terjadi perceraian. Pencatatan perkawinan juga diperlukan untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti perkawinan yang sah, dan untuk menentukan kesahan suatu perkawinan. Perkawinan yang tidak dicatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah, sehingga tidak memiliki legalitas di mata hukum sehingga hak-hak suami dan istri serta anak-anak yang dilahirkan tidak memiliki jaminan perlindungan secara hukum. Pencatatan perkawinan juga diperlukan untuk menjaga ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, dan untuk menghindari pernikahan siri yang biasanya berujung perceraian. Oleh karena itu, setiap perkawinan harus dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Analisis Makna Filosofis, Sosiologis, Religius dan Yuridis Dalam Pencatatan Perkawinan

Secara filosofis Perkawinan menurut hukum Islam yang sesuai adalah berdasarkan Pancasila, khususnya sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencatatan perkawinan secara filosofis itu demi mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain. Menurut para ahli dalam analisis keberlakuan hukum, secara filosofis pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan yang berbentuk kepastian, kekuatan dan perlindungan hukum terhadap pelaku perkawinan tersebut (suami-istri). Dengan begitu, ketika tidak terpenuhinya pencatatan perkawinan, maka akibat hukumnya adalah tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mendapatkan jaminan hak-hak keperdataan akibat perkawinannya itu.

Secara sosiologis perkawinan diakui keberadaannya dilihat dari dua perspektif, yaitu pengakuan dari masyarakat dan dari pemerintah. Pertama, pengakuan dari masyarakat itu penting, dikarenakan pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial dimana tidak luput dari interaksi sesamanya. Cemooh dan pengakuan itu juga tidak bisa dipungkiri untuk dihindari. Dan dengan adanya pencatatan perkawinan yang sah ini akan mendapat pengakuan dari masyarakat dan terhindar dari cemoohan yang tidak diinginkan. Kemudian yang kedua yaitu pengakuan dari pemerintah, dimana pengakuan ini demi mendapatkan kepastian hukum ketika suatu hari terjadi persengketaan akibat perkawinan.

Makna religious (agama) dari adanya pencatatan perkawinan ini mungkin tidak sebegitu penting karena dalam agama pernikahan yang sah itu terpenting sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Namun dalam agama Islam juga menghendaki umatnya untuk mematuhi peraturan yang ada demi tegaknya kenyamanan dan jaminan hidup bernegara.

Kemudian secara yuridis, pencatatan perkawinan ini sangat ditekankan sekali. Pencatatan dimaksudkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pasal 281 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, melalui pencatatan perkawinan maka suatu perkawinan akan memiliki kepastian dan kekuatan hukum serta hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik.

Dampak Dari Perkawinan Yang Tidak di Catat, Bagaimana Menurut Kelompok Kami

Dampak negatif jika perkawinan tidak dicatatkan jika dilihat dari segi sosiologis yaitu tidak adanya pengakuan dari masyarakat mengenai suatu perkawinan, mental dari pihak yang bersangkutan mungkin juga akan terganggu karena secara tidak langsung mereka akan mendapatkan cemooh dari masyarakat sekitar. Kemudian jika dilihat dari segi religious, Al -Qur'an menyebutkan akad nikah adalah sebagai perjanjian yang kuat tidak disamakan dengan perjanjian biasa.

Dan yang terakhir dilihat dari segi yuridis, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian hidup atau di tinggal mati, selain itu istri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah menurut hukum, dan hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya saja.

Disusun oleh:

1. Muhammad Ghazza Ardiyanto

2. Riyan Azrul Ananda

3. Rahma Tanti Cahyani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun