Mohon tunggu...
Ghathfan Zaidaan Iskandar
Ghathfan Zaidaan Iskandar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki hobi bernyanyi selain itu saya juga memiliki kegemaran dalam copywriting

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tarawangsa, Alat Musik Sekaligus Perantara Budaya

13 November 2023   21:06 Diperbarui: 14 November 2023   01:01 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Sri Baduga Bandung. Dokpri

Hai semua, kali ini saya akan menjelaskan bagaiamana bisa sih sebuah alat musik menjadi perantara budaya. Pasti kalian bertanya-tanya dalam hal apa alat musik ini bisa turut andil membantu perantara tersampaikannya kebudayaan. Nah, hal tersebut adalah dalam hal komunikasi. Seperti yang kita ketahui bila kita lihat secara luarnya saja alat music dan komunikasi ini adlaah dua hal yang berbeda. Akan tetapi, bila kita telaah lebih dalam lagi banyak sekali kesinambungan yang dapat kita kaitkan diantara kedua hal ini.


Melihat masalah pemberdayaan atau pelestarian budaya sudah semakin berkurang, jangankan pelestarian bahkan untuk mengenal pun jarang sekali anak muda yang berminat. Hal ini disebabkan karena internet, tidak dapat dipungkiri juga internet salah satu yang memberikan dampak besar dalam pelestarian budaya, baik dalam segi positif ataupun negatif. Dikutip dari sebuah artikel, anak muda zaman sekarang sebanyak 49,52 persen penggunaan internet adalah mereka yang berusia 19-34 tahun (W et al., 2020). Bila kita lihat sisi negatif, dalam internet banyak sekali budaya-budaya luar negeri yang diperkenalkan di Internet, jadi secara tidak sadar mereka akan memahami tentang hal tersebut atau budaya tersebut disbanding budaya kita sendiri selagi memang mereka melihat konten tersebut. Akan tetapi di sisi positifnya kitapun bisa memasukkan budaya-budaya tradisional yang ada untuk di publikasikan pada orang banyak di Internet, akan tetapi hal tersebut masih belum terlalu banyak dilakukan, itulah yang menjadi masalahnya.


Dalam hal ini kita menggunakan media yaitu alat musik sebgai bentuk relevansi bahwa alat musik tradisional masih eksis dan bisa sekali untuk kita lestarikan. Konteks Alat musik atau yang lebih spesifiknya adalah alat musik tradisional Tarawangsa saya pilih supaya kalian semua para pembaca lebih mengenal tentang budaya. Tapi tentu saja tidak hanya itu, bila kita melihat hanya sebagai objek budaya maka Tarawangsa ini tidak lebih hanya sebagai peninggalan bersejarah biasa, yang ingin saya beritahu kepada kalian semua adalah tentang relevansi yang sampai saat ini masih kita bisa lihat walaupun benda tersebut sudah kuno. Relevansinya itu adalah dalam hal alat musik yang bisa menjadi perantara penyampaian atau pertukaran informasi antar budaya.

Berbicara mengenai komunikasi lintas budaya, terdapat inti dari kalimat tersebut yaitu “Budaya”. Bila didefinisikan secara formal, budaya sendiri memiliki sebuah arti yaitu sebagai sebuah tatanan pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, pengalaman, agama, waktu, peranan, hubungan ruang,konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang didapatkan sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Mulyana, 1996).

Edward T Hall mengatakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya (Larry A et al., 2007). Maka dari itu seluruh bahasa, benda, gesture, dan pakaian atau aksesoris bisa menjadi refleksi budaya yang dimiliki seseorang bahkan suatu kelompok tertentu.


Nah dalam artikel yang saya tulis kali ini, saya akan mengajak kalian menjelajahi suatu proses dari mulai pengenalan dasar apa itu arti dari komunikasi yang sebenarnya, apa itu tarawangsa sendiri, dan bagaimana dua hal tersebut memiliki keterkaitan dan masih relevan di masa kita yang sekarang ini.

Sebuah museum di Bandung bernama Museum Sri Baduga menampilkan banyak sekali peninggalan-peninggalan bersejarah, seperti arca, patung, baju adat, alat masak, hingga permainan tradisional. Akan tetapi, tidak hanya itu, salah satu objek yang mereka tawarkan pun ada berupa waditra atau berbagai macam alat musik, salah satunya adalah “Tarawangsa”. Dilihat dari penjelasan yang tertera di museum tersebut, waditra atau alat musik tersebut juga ngekngek (di darah Sumedang) sedangkan raengan (di daerah Lembang), istilah atau julukan tersebut diambil dari bungi alat musik itu sendiri yang cara mainnya digesek (digesek/dilengek). Instrumen ini umumnya digunakan untuk instrument pokok lagu-lagu sunda dan seni pantun serta sebagai pengiring tari pada upacara penghormatan Dewi Sri (Dewi Padi) dari daerah Rancakalong, Cigelap, dan Cileutik Banajaran.


Menurut Mustika Iman yang dikutip dari sebuah jurnal pada tahun 2011, Tarawangsa beberapa fungsi diantaranya adalah, sebagai media perantara untuk menyampaikan rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan YME, karenaNya telah melimpahkan panen hasil bumi yang telah mereka peroleh. Ini mereka lakukan bersamaan saat mereka melakukan upacara adatnya (Satriya Erviyana, 2016). Selain itu, seperti yang telah disinggung sebelumya Tarawangsa ini pun digunakan sebagai penyambutan dan enghormatan terhadap Dewi Sri. Dan kegunaan lainnya adalah sebagai perantara untuk mengucapkan terimakasih atas jasa-jasa para leluhur desa Rancakalong.


Dibalik seluruh fungsi yang terdapat dalam Tarawangsa ini ada banyak nilai-nilai yang terkandung, salah satunya adalah nilai sejarah filosofis dari Tarawangsa itu sendiri. Mengutip dari hasil wawancara Abah Aso pada tahun 2012 yang terdapat dalam sebuah jurnal, beliau mengatakan bahwa Tarawangsa adalah alat musik yang memiliki dua dawai atau senar, dan makna filosofisnya adalah kalua segala sesuatu didunia ini sudah diciptakan oleh tuhan berpasangan layaknya laki-laki dan perempuan, dan juga siang dengan malam (Satriya Erviyana, 2016).


Tidak hanya itu tarawangsa pun memiliki nilai sejarah, menurut Kurnia pada tahun 2003 yang kemudian saya kutip kembali dari sebuah artikel, alat musik rebab muncul di Tanah Jawa setelah zaman Islam yaitu sekitar abad 15-16. Hal tersebut dapat dikaitkan karena Tarawangsa sendiri merupakan perkembangan dari alat musik rebab, yang mana Tarawangsa ini dapat disebut juga sebagai rebab jangkung atau rebab tinggi, karena ukuran Tarawangsa umumnya lebih tinggi dari rebab.


Akan tetapi tidak hanya itu, dalam kesenian Tarawangsa ini juga memiliki nilai kerja keras dan kerja sama. Nilai kerja keras sendiri tercermin dari usaha dalam membunyikan suara khsa yang dihasilkan dari pangeset yang di pada senar atau dawai Tarawangsa. Sedangkan nilai kerjasama dapat dilihat dari para pemain alat musik Tarawangsa  yang bekerjasama menyelaraskan dengan para penari, mereka saling melengkapi serta saat panen padi berlangsung(Satriya Erviyana, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun