Mohon tunggu...
Ghatfhan  Hanif
Ghatfhan Hanif Mohon Tunggu... Lainnya - Masih Pembelajar dan hanya Seorang Mahasiswa Fakultas Hukum

Gerilya Aksara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Neo-Kolonialisme, HUT RI ke-75, dan Doa

17 Agustus 2020   10:41 Diperbarui: 17 Agustus 2020   11:00 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source image: pngtree.com

Kondisi dunia akhir-akhir ini bergejolak pun akibat dari pengaruh pandemi Covid-19 terhadap aktivitas manusia yang sedang abnormal. Berbagai negara di belahan dunia memiliki ihwal nya masing-masing, terutama Indonesia yang sedang berperang atas nama Covid-19, menstabilkan perekonomian, menstimuluskan keuangan, problematika lainnya dan terlebih lagi sedang sibuk menggadok Omnibus law yang "katanya" pro terhadap rakyat. 

Setelah fenomena reformasi dikorupsi tahun 2019 lalu, yang merupakan suatu momentum bergelora bahwa masih banyak yang peduli dengan kondisi negara, akibat dari perumusan undang-undang yang absurd sehingga  Mahasiswa, buruh, dan rakyat Indonesia (kaum yang tertindas) yang dirugikan mengecam langkah pemerintah dan dewan (mereka) yang katanya terhormat, "katanya lagi".

Namun kenyataan nya apa ?, tuntutan kaum tertindas yang diarahkan kepada mereka justru tidak dihiraukan, didengar dan diresapi. Bahkan mereka mengklaim kebijakan (beleids) yang akan mereka sahkan dan yang mereka lakukan sudah benar, terarah dan mewakili hajat hidup orang banyak. Kemudian saya teringat pada ucapan Bung karno "Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun", Nampaknya kebaikan yang ditonjolkan oleh para pemangku jabatan sarat akan "Nihil" dan hanyalah kebohongan serta kedustaan belaka.

Banyak sekali fakta yang ada jika saudara membaca kilas balik problematika yang telah terjadi, justru saya ingin concern oleh beberapa hal (tidak seluruhnya) dan yang sudah sah menjadi UU agar dapat menjadi pelajaran serta cambuk kedepannya, yakni pada pelemahan KPK terhadap Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 yang baru, RUU minerba yang lagi-lagi lolos menjadi produk legislasi, dan Omnibus Law. 

Pertama, menyoal pada Undang-undang No 19 tahun 2019 perubahan UU No. 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Dalam pasal 3 UU lama mengatur bahwa KPK tidak berada pada rumpun cabang kekuasaan manapun, tetapi di dalam pasal 3 UU terbaru berbunyi, " Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun".

Bahwa KPK berada pada rumpun eksekutif, artinya pegawai KPK berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan kata lain Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sebagai ASN artinya KPK harus berpedoman pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Walaupun pada frase selanjutnya berbunyi  "bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun", namun banyak pengamat yang menilai KPK tetap tidak independen. 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai bahwa peralihan status pegawai ke aparatur sipil negara (ASN) semakin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitupun independensi kelembagaan juga semakin luntur dan juga menyoroti potensi kurangnya independensi penyidik KPK ke depan. Karena peralihan ini membuat status penyidik menjadi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). 

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) KUHAP disebutkan PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi penyidik Polri" [Medcom, 2020], dibentuknya dewan pengawas dan masih banyak pasal lain yang justru melemahkan peran, tugas dan fungsi KPK sebagai Lembaga anti rasuah.

Kedua, Undang-Undang No. 3 tahun 2020 perubahan atas Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang UU Minerba yang baru: Ketika DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU Minerba pada tanggal 12 Mei 2020 lalu bertepatan dengan tragedi Trisakti 22 tahun silam, saat masyarakat mengenang kembali reformasi, mereka justru memberikan suka cita ataupun hadiah disahkannya RUU Minerba. 

Poin yang bermasalah  antara lain, Pemerintah lebih akrab dengan korporasi-oligarki ketimbang pelestarian lingkungan hidup dan Sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan, proses pembahasan cacat formil atau prosedur hukum, mementingkan pelaku usaha industri batubara, mudahnya perizinan tanpa ada regulasi yang jelas.

Bahkan menurut pengamat/akademisi pasal yang bermasalah terdiri daripada pasal 4 ayat 2 yang  mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat sedangkan di UU lama, justru memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah, artinya terjadi sentralisasi pusat yang bertentangan dengan otonomi daerah.

 Pasal 169A yang mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2x10 tahun sedangkan UU Minerba yang lama mengatur Kawasan pertambangan harus dikembalikan lagi pada negara setiap habis masa kontrak dan akan dilelang ulang, artinya pasal dalam UU ini dinilai membuka celah bagi sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya dan masih banyak pasal demi pasal bermasalah lainnya.

Ketiga, Omnibus law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka): Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition, Bryan A Garner menyebutkan "Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes", artinya omnibus law berkaitan atau berhadapan dengan berbagai objek atau sesuatu sekaligus dan memiliki berbagai tujuan. Sejak dimasukannya Omnibus law Cilaka berbagai pasal bahkan banyak pasal yang tidak pro kepada buruh dan rakyat, justru pro terhadap pengusaha dan oligarki bisnis, contohnya antara lain: 

1. pada pasal 43 UU No. 13 tahun 2003 yang lama berbunyi "Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk", sedangkan dalam RUU cilaka dihapus . Hal ini berimplikasi oleh semakin enteng TKA untuk bekerja di Indonesia dengan adanya pemangkasan perizinan. 

2. Dalam pasal 90 ayat 1 UU yang lama berbunyi "Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89", sedangkan dalam RUU Cilaka dihapus, ini artinya ada kemungkinan ataupun indikasi pengusaha dapat tidak memberikan upah kepada pekerja. 

3. Kesimpulan RUU Cilaka adalah menghilangkan upah minimum, mengurangi cuti, meniadakan hak-hak buruh ketika berhalangan kerja, menghilangkan pesangon, menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha, menghilangkan cuti haid dan melahirkan bagi perempuan. 

Setelah RUU KPK dan Minerba goals menjadi produk Undang-Undang, jangan sampai RUU Omnibus Law Cilaka yang tak terhitung kecacatannya mendapat nasib yang sama. Terlebih lagi kita masih dikekang oleh ketamakan, kerakusan, dan adu domba bangsa sendiri . Pada tanggal 16 juli 2020 misalnya, DPR berjanji tidak akan membahas RUU ketika masa reses, namun nyatanya apa ?, dihantam kembali RUU tersebut dengan pembahasan yang tertutup bagaikan tikus yang gelisah dan khawatir disantap oleh tajamnya mata elang. Ucapan dan Tindakan pun tidak pernah sinkron dengan janji-janjinya (khianat).

Sejak proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno pada hari jumat, 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta pusat, menjadi pertanda bahwa Indonesia telah merdeka, Bersatu, berdaulat, adil dan Makmur dan bebas dari belenggu penjajahan (pembukaan UUD 1945). 

Tidak terasa Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menginjak usia yang ke-75 tahun, Negeri nan indah, majemuk, khas, istimewa, dan gemah ripah loh jenawi. Syahdan, 25 tahun lagi akan menuju Indonesia 2045, artinya usia emas yang ke-100 Tahun. Kenikmatan kemerdekaan tidak lepas dari perjuangan para pahlawan, Bung karno berkata "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan". Maka dari itu, jadikan momentum kemerdekaan sebagai harapan, doa, dan refleksi (muhassabah) agar supremasi hukum, kesejahteraan dan keadilan sosial dapat ditegakan  hingga negeri ini dapat menjadi negeri yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur serta Rahmat bagi seluruh alam.

#Manifesto kebangkitan bangsa #JayalahIndonesia #Amerika kita setrika,Inggris kita linggis #HUTRI75

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun