Mohon tunggu...
Ghassani Zatil Iman
Ghassani Zatil Iman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just a girl who loves to write about everything

Selanjutnya

Tutup

Book

Lord of The Flies, Demokrasi, Diktator dan Sifat Asli Manusia

13 Juni 2023   17:40 Diperbarui: 13 Juni 2023   17:50 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"We did everything adults would do. What went wrong?"

Begitulah sepenggal kalimat dari novel Lord of The Flies karya William Golding yang ditulis pada tahun 1954. Bercerita mengenai sekelompok anak asal Inggris korban perang yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni di area Pasifik akibat jatuhnya pesawat. Tanpa orang dewasa, tanpa sosok autoritas, tanpa sosok pendamping, anak-anak tersebut akhirnya terpaksa harus berperan layaknya orang dewasa demi bertahan hidup. Novel ini sendiri terinspirasi dari penggambaran anak-anak terlantar yang menurut Golding tidak realistis, dalam novel The Coral Island: a Tale of the Pacific Ocean (1857) karya R. M. Ballantyne, yang mencakup tema pembudayaan agama Kristen dan pentingnya hirarki dan kepemimpinan.

Golding ingin menulis buku tentang anak-anak di sebuah pulau yang juga berperilaku seperti anak-anak. Oleh karena itu banyak sekali elemen dalam The Coral Island yang juga dimunculkan di Lord of The Flies, begitu pula dengan ketiga karakter utamanya, Ralph, Jack dan Piggy yang juga terinspirasi dari ketiga karakter utama dalam The Coral Island.

Namun apakah Lord of The Flies seluruhnya hanya fantasi atau novel mengenai anak-anak yang terdampar di pulau ataukah novel tersebut memiliki makna yang lebih mendalam? Sang penulis sendiri berkata "Saya belajar selama Perang Dunia II betapa brutalnya manusia terhadap satu sama lain. Bukan hanya orang Jepang, namun semua orang". Lord of The Flies tidak hanya berusaha untuk menceritakan mengenai bagaimana menurutnya cara anak-anak beradaptasi saat mereka terdampar, namun juga mengenai demokrasi dan kediktatoran.

Seluruh karakter anak pada novel akhirnya terbagi menjadi dua kubu. Kedua kubu memiliki tujuan yang sama, yaitu bertahan hidup. Namun cara yang digunakan mereka berdua sangatlah berbeda. Ralph sebagai pemimpin kubu pertama mengedepankan persamaan dan demokrasi. Dimana apabila seseorang menginginkan menyampaikan pendapat, mereka harus bergiliran berbicara, tidak adanya kekerasan dan berusaha bertahan hidup hingga bala bantuan datang. Sementara Jack sebagai pemimpin kubu kedua mengedepankan kediktatoran, dimana demi bertahan hidup di lingkungan yang kejam, kita juga harus berani dan tidak apa untuk menjadi kejam sedikit.

Kedua kubu yang dipimpin oleh Ralph dan Jack merepresentasi kubu demokrasi dan diktator. Kubu Ralph merepresentasi rasa hormat terhadap sesama, kesetaraan dan perlindungan terhadap yang lemah, sementara kubu Jack merepresentasi kekerasan, kekejaman dan memimpin melalui rasa takut. Seiring berjalannya cerita, kedua kubu tidak pernah sejalan dalam pemikiran dan pada akhirnya kubu Jack pun mendominasi. Dan sama seperti bagaimana jadinya apabila kediktatoran di dunia nyata dibiarkan berkuasa, penderitaan, kematian dan ketidakbahagiaan pun dirasakan oleh para warganya. 

Eksperimen Channel 4 (2007) (https://www.ladbible.com/community/documentary-social-experiment-boys-girls-house-alone-646807-20221214)
Eksperimen Channel 4 (2007) (https://www.ladbible.com/community/documentary-social-experiment-boys-girls-house-alone-646807-20221214)

Selain menjadi representasi akan demokrasi dan kediktatoran, banyak yang berpendapat bahwa Lord of The Flies menjadi penggambaran mengenai perilaku manusia secara umum. Sebuah eksperimen pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Channel 4 ,'Cutting Edge', memperlihatkan 10 anak laki-laki dan 10 anak perempuan yang ditinggal dalam rumah berbeda selama seminggu tanpa pengawasan orang dewasa. Rumah anak laki-laki penuh dengan keributan, sebagian anak tidak dapat makan dengan baik, pembentukan kubu dan kekacauan. Sementara di rumah anak perempuan, mereka berusaha membuat pembagian kerja, terlihat lebih bersih dan rapi. Namun tidak selamanya penuh dengan ketenangan, pada akhirnya beberapa anak perempuan juga saling bertengkar dan beberapa dari mereka memilih untuk meninggalkan acara.

Namun tidak selamanya teori Golding bahwa anak-anak akan selalu membuat kekacauan saat ditinggalkan tanpa pengawasan berlaku. Sebuah kisah nyata dari keenam anak laki-laki dari sekolah asrama di Nuku'alofa, ibu kota Tonga, yang terdampar di sebuah pulau selama 15 bulan setelah berusaha untuk pergi dari sekolah menggunakan kapal nelayan yang kemudian terjebak dalam badai pada tahun 1965 memperlihatkan hasil yang berbeda. Cerita ini kemudian dikenal sebagai 'Tongan Castaways'.

Anak-Anak Tongan Castaways (https://people.com/human-interest/inside-real-life-lord-of-the-flies-survival-of-6-tongan-boys-54-years-ago/)
Anak-Anak Tongan Castaways (https://people.com/human-interest/inside-real-life-lord-of-the-flies-survival-of-6-tongan-boys-54-years-ago/)

Berbeda dari Ralph, Jack, Piggy dan karakter-karakter lainnya dalam Lord of The Flies, anak-anak Nuku'alofa tersebut setuju untuk bekerja dan membagi tugas dalam berkebun, membuat makanan dan berjaga. Kadang-kadang mereka juga bertengkar, tetapi setiap kali itu terjadi mereka menyelesaikannya dengan memberlakukan time-out. Hari-hari mereka dimulai dan diakhiri dengan nyanyian dan do'a. Hal ini membuktikan bahwa hal terbaik dalam memecahkan masalah adalah dengan demokrasi.

Point penting baik dari eksperimen Channel 4 diatas maupun cerita asli anak-anak Nuku'alofa bukanlah bertujuan untuk memperlihatkan adanya perbedaan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun justru untuk memberikan pengertian bahwasanya seluruh anak harus diajarkan bagaimana caranya untuk membuat keputusan yang baik, bagaimana menjaga diri mereka sendiri dan menunjukkan bahwa semua anak memilik potensi untuk menjadi pemimpin. Dan sekali lagi bahwa hal terbaik dalam memecahkan masalah adalah dengan demokrasi, layaknya kelompok Ralph. 

Pada akhir cerita Lord of The Flies sendiri, meskipun bala bantuan datang namun banyak hal mengerikan yang terjadi pada pulau tak bernama tersebut. Hilangnya sifat kepolosan hingga hilangnya nyawa sebagian dari mereka. Merekapun sebagai karakter dan kita sebagai seorang pembaca mempelajari satu hal: bahwasanya seluruh manusia, tak terkecuali dari usia yang sangat muda pun sudah memiliki kemampuan untuk memberikan keputusan. Dan sifat dasar manusia sebagai makhluk demokrasi dan diktator ada pada diri masing-masing sejak awal, dan apabila tidak diarahkan secara baik maka keputusan yang akan mereka ambil pun dapat berdampak buruk bagi mereka sendiri. Serta bahwa diri kita sendirilah satu-satunya yang bisa mengontrol sifat manakah yang lebih baik untuk diri kita maupun untuk lingkungan sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun