Ada ratusan hingga ribuan pasangan diluar sana yang akan melakukan apapun demi dapat memiliki seorang buah hati. Namun terkadang, justru ada pula ratusan hingga ribuan pasangan diluar sana yang telah memiliki anak justru memilih untuk melakukan kekerasan terhadapnya, termasuk kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, ataupun perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Menurut CDC, child neglect atau penelantaran terhadap anak sendiri adalah suatu kegagalan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dasar seorang anak. Kebutuhan ini meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, pendidikan, akses ke perawatan medis, dan memiliki perasaan yang divalidasi dan ditanggapi dengan tepat. Child neglect bukanlah sesuatu hal yang asing terjadi di berbagai negara.
Setidaknya 1 dari 7 anak telah mengalami pelecehan atau penelantaran anak di Amerika Serikat. Bukanlah tidak mungkin kasus yang sebenarnya jauh lebih banyak dikarenakan rendahnya kasus yang dilaporkan. Pada tahun 2020 saja, ada sekitar 1.750 anak meninggal karena pelecehan dan penelantaran di Amerika Serikat.
Salah satu kasus child neglect yang mungkin paling terkenal adalah kasus keluarga Turpin, yang terungkap pada tahun 2018 lalu. Sepasang suami istri tersebut menyiksa dan menelantarkan ketigabelas anaknya yang berusia dua hingga dua puluh sembilan tahun. Kasus baru terungkap ketika salah satu dari bersaudara Turpin, yaitu Jordan, berhasil kabur dan menelpon polisi, hingga akhirnya polisi pun menggerebek kediaman tersebut dan menemukan kondisi para anak Turpin yang mengenaskan.
Malnutrisi, tidak berpendidikan dan tidak terlihat sesuai dengan usia mereka. Pada Februari 2019, kedua orang tua Turpin mengaku bersalah atas 14 dakwaan kejahatan. Pada bulan April 2019, mereka pun kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan kemungkinan pembebasan bersyarat setelah 25 tahun.
Tidak hanya di Amerika saja, kejadian child neglect juga terjadi di negara kita dan juga di negri bunga sakura, Jepang. Sugamo child abandonment case, begitulah kasus ini banyak dikenal diluar sana. Kasus penelantaran yang terjadi pada tahun 1988 terhadap kelima anak yang memiliki ayah berbeda. Kelima anak ini tidak pernah dirilis nama lengkapnya, namun disebut sebagai anak A (14 tahun), B (7 tahun), C (meninggal segera setelah lahir), D (3 tahun) dan E.
Selain anak A, anak lainnya tidak terdaftar di catatan sipil dan tidak ada anak yang mengikuti sekolah. Pada musim gugur 1987, setelah bertemu pacar baru, sang ibu menempatkan Anak A untuk bertanggung jawab atas adik-adiknya dan meninggalkannya dengan ¥50.000 (sekitar 5 juta rupiah pada saat itu) untuk biaya hidup mereka di apartemen di Tokyo.
Kejadian keluarga Sugamo inilah yang menginspirasi direktor kondang Hirokazu Kore-eda untuk menulis film yang membawa banyak kemenangan dalam Cannes Film Festival dan Blue Ribbon Awards, Nobody Knows, yang dirilis pada tahun 2004. Mirip dengan kisah aslinya, Nobody Knows mengikuti perjalanan Akira, Kyōko, Shigeru dan Yuki, yang berusia antara lima dan dua belas tahun dengan masing-masing ayah yang berbeda, tidak didaftarkan ke catatan sipil selain daripada Akira, tidak bersekolah dan ditinggalkan oleh ibu mereka selama berbulan-bulan lamanya dengan uang yang terbatas. Akira yang masih berusia 12 tahun dipaksa untuk menjadi kakak, orang tua sekaligus pelindung bagi ketiga adiknya.
Untuk bertahan hidup, adik beradik ini terpaksa harus hidup dalam rumah yang gelap akibat dari listrik yang harus dicabut, menumpang untuk mandi dan mencuci pakaian setiap harinya di taman dan kekurangan gizi akibat pola makan yang sebagian besar terdiri dari makanan cepat saji yang dibeli di toko serba ada.
Baik kisah asli dari keluarga Sugamo maupun plot dalam film Nobody Knows pun berakhir mengenaskan dengan meninggalnya salah satu dari saudara mereka. Yuki, sebagai si bungsu meninggal akibat terjatuh dari kursi yang menyebabkan luka internal pada kepalanya. Sementara kisah aslinya, yaitu anak E, meninggal akibat perlakuan kasar yang dilakukan oleh teman-teman anak A (yang hanya dikenal sebagai teman A dan teman B).
Pada kisah aslinya, sang ibu akhirnya menyerahkan diri pada tanggal 23 Juli. Kesaksiannya mengungkapkan bahwa anak-anaknya telah sendirian selama sekitar sembilan bulan. Pada tanggal 25 Juli, kesaksian anak A mengungkapkan bahwa tubuh anak E telah dikuburkan di hutan di Chichibu oleh anak A dan teman A. Teman A dan Teman B dikirim ke reform school atas keterlibatan mereka dalam kematian itu. Kemudian pada Agustus 1988, sang ibu pun didakwa dan menerima hukuman tiga tahun, yang kemudian ditangguhkan selama empat tahun.
Sementara itu, anak A didakwa akibat menguburkan jenazah anak E namun akibat kondisi yang tidak memungkinkan, ia pun diserahkan ke fasilitas perawatan. Setelah sang ibu dihukum tiga tahun, dia mendapatkan kembali hak asuh anak B dan D, yang mana sangatlah tidak adil mengingat betapa besarnya trauma yang akan dialami oleh anak B dan D di kemudian harinya.
Tidak sama dengan kisah aslinya, kita dibawa untuk tidak mengetahui nasib akhir Akira dan saudaranya yang tersisa. Apakah ibu mereka juga kembali dan menyerahkan diri atau justru ia tetap hilang dan tidak pernah bisa diadili hingga akhir? itu semua hanya dapat dijawab sesuai dengan interpretasi masing-masing penonton.
Child neglect masihlah menjadi salah satu permasalahan utama dalam kasus child abuse. Kemiskinan sendiri dinilai sebagai salah satu faktor utama yang paling berpengaruh dalam terjadinya kasus child neglect, dengan kasus tingkat kekerasan dan penelantaran anak 5 kali lebih tinggi untuk anak-anak dalam keluarga status sosial ekonomi rendah ketimbang sosial ekonomi menengah keatas.
Anak-anak yang mengalami kekerasan atau ditelantarkan dapat langsung mengalami luka fisik seperti luka, memar, ataupun patah tulang. Mereka juga dapat memiliki masalah emosional dan psikologis, seperti kecemasan atau stres pascatrauma serta masalah kesehatan seperti malnutrisi. Dalam jangka panjang, mereka juga rentan mengalami penyalahgunaan zat, keterlambatan perkembangan otak, pencapaian pendidikan yang lebih rendah, dan kesempatan kerja yang terbatas.
Tidak ada satupun anak di dunia ini yang pantas terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya, tidak ada satupun anak yang pantas untuk diperlakukan buruk, tidak ada satupun anak yang pantas bekerja dan harus memikirkan bagaimana caranya mereka makan esok hari. Semua orang berhak menikah dan memiliki anak, namun tidak semua orang pantas menjadi orang tua.
Oleh karena itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menghimbau masyarakat untuk secepatnya melapor ke kepolisian setempat jika mengetahui adanya tindak kekerasan termasuk adanya penelantaran pada anak di lingkungan tempat tinggal mereka. Pelapor diminta untuk tidak takut dianggap menuduh atau menuding. Berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, para korban kekerasan dan penelantaran dapat melapor melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak 129 atau melalui WhatsApp di 08111129129.
Pelaku tindak kekerasan pada anak pun dapat dijerat hukuman berdasarkan peraturan yang telah diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang No 23 tahun 2002 Pasal 80 dimana dapat dikenai pidana paling berat penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H