Mohon tunggu...
guntara hari
guntara hari Mohon Tunggu... -

psikiater,hipnoterapis,sedang mendalami seksologi.sedang belajar menulis. sering menjadi nara sumber di radio swasta di jakarta dan tangerang, berbicara di seminar di sekolah,kantor,tempat kumpul komunitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berpikir Positif = Stres Tambahan

26 Januari 2011   07:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah jamak kita dengar orang – orang saling menyapa: ‘apa kabar? luar biasa’. Pengucapan luar biasa-pun harus dilakukan dengan tekanan dan semangat agar lebih mengena, begitu kata yang empunya ucapan. Kita diajarkan untuk mengucapkan salam seperti itu setiap saat pada setiap orang dalam situasi apapun, hal ini dimaksudkan agar kita selalu semangat dan berpikir positif sehingga kita bisa mengatasi sebagian besar kalau tidak semua masalah yang kita hadapi sehari – hari, benarkah demikian???

Kemarin datang berobat ke tempat praktek saya seorang wanita muda yang ‘kecapekan dan patah arang’ karena sudah beberapa tahun terakhir ini bersikap luar biasa terus menerus. Sikap ini dipilih secara sadar penuh dan diusahakan sedisiplin mungkin. Menurut dia, setelah ia ikut seminar dari seorang motivator terkenal, ia sangat terkesan dan percaya bahwa sikap positif dan selalu merasa luar biasa adalah satu – satunya sikap yang pantas dipunyai oleh orang – orang yang ingin sukses. Dalam kesehariannya, apapun kesulitan yang dihadapi dalam usahanya (dia bekerja sebagai sales asuransi), ejekan, pandangan sinis, sampai usaha menipu klaim mesti dihadapi dengan sikap positif = terus berjuang-pantang menyerah. Suami di rumah yang sering mengeluh karena istri lebih banyak menghabiskan waktu dan lebih fokus pada pekerjaan ketimbang perannya sebagai istri dan ibu mesti dihadapi dengan berusaha memenuhi tuntutan karier dan domestik. Keluhan dan teguran suami mesti menjadi ‘cambuk’ bagi dirinya untuk lebih luar biasa dan berusaha mengatasinya dengan sikap positif. Anak mereka yang berusia 7 tahun selain kesibukan di sekolah mesti diikutkan berbagai kursus dengan alasan untuk menunjang pelajaran di sekolah dan sekaligus agar anak dapat tetap berada di lingkungan yang terkendali dan positif (sekolah – kursus = belajar à lingkungan positif). Singkat kata semua mesti positif dan luar biasa.

Tapi yang membingungkan pasien dan membuat ia menjadi kecapekan dan patah arang adalah (#) Kemajuan dalam usaha yang dirasanya minimal; walaupun sudah diusahakan sekuat tenaga dengan etos kerja selalu positif dan merasa luar biasa, selalu semangat dan pantang menyerah, alot, keukeuh. (#) Semakin hari teman teman se kantor dan se profesi makin menjauhi dan menganggap pasien tidak friendly, egois, suka menyikut teman, dan kalau sudah berusaha tidak kenal menyerah. (#) Suami merasa bahwa semangat dan keinginan istri untuk sukses di karier mengalahkan perannya sebagai istri dan ibu. Malangnya menurut pasien predikat istri dan ibu itu tidak luar biasa, malah cenderung dianggap posisi pasrah. Pandangan seperti ini tentu saja membuat pasien tidak setuju dengan suami dan menganggap suami tidak bersikap positif.(#) Anak merasa ibunya tidak memberi kesempatan bermain.

Benar sekali kalau sikap positif dan semangat (yang dalam hal ini disimbolkan dengan salam ‘luar biasa’) memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Sikap positif akan membuat kita tahan banting; segala rintangan dan tantangan akhirnya akan dapat diatasi bila kita cukup lama melawannya, sekecil apapun perlawanan yang kita lakukan. Sikap positif akan membuat kita lebih kuat; bekerja dengan perasaan yang baik, nyaman, dan bersemangat. Sikap positif, akan membuat pekerjaan terasa lebih mudah-encer-gampang…..menyapu rumah dengan senang hati cenderung akan jauh lebih bersih daripada menyapu rumah dengan cemberut / kesal.

Masalahnya: bersikap positif dan luar biasa itu menguras banyak sekali energi mental. Untuk apa saja? pertama, untuk terus menerus melawan kenyataan yang masih belum positif (dengan pilihan kata yang lebih buruk ‘berpura-pura tidak ada hal negatif’). Berat bagi jiwa kita untuk menciptakan sesuatu yang tidak nyata….berusaha makan dengan lahap padahal tidak ada lauk / makan dengan lauk yang tidak kita sukai. Terutama bila harus diulang – ulang terus. Kedua, karena hidup kita beraneka ragam dan dinamis, maka kita perlu mengadakan perlawanan pada banyak sisi (dengan pilihan kata yang lebih buruk ‘harus menciptakan pura-pura baru diatas pura – pura lama) agar sikap positif terpelihara….pagi berangkat kerja naik angkot berdesakan dan zig-zag berpura – pura nyaman (‘ambil positifnya aja: bisa desek2an dengan cewek cantik’) makan pura – pura enak (‘ambil positifnya aja: daripada makan nasi jagung’) pekerjaan numpuk, tak ada yang bantuin terus diomelin bos (‘ambil positifnya aja: daripada dimarahin terus dipecat’) berat kan………….

Menurut pikiran saya, sikap positif seperti diatas hanya bisa kita terapkan setelah kita mau dan mampu menerima kenyataan seperti apa adanya atau dengan kata lain bersikap REALISTIS. Dosen saya di fakultas psikiatri bilang: kenyataan hidup bagi seseorang itu 80 persen persepsi, 20 persen realitas. Jadi sebagian besar persepsi – cara dia memandang kenyataan…….makan nasi putih + sambal terasi pas lapar / bareng teman – teman / pas kemping di gunung terasa nikmat……cuci mata ke mall sama teman / pacar / keluarga baru enak, kalau sendirian BT…..

Sedikit saja persepsi bisa kita turunkan dan realitas berani kita naikkan, maka kita akan bisa melihat menilai dan mengantisipasi keadaan dengan lebih akurat. Karena lebih akurat maka kemungkinan sukses jadi lebih besar.

Dengan berpegang pada realitas kita tak perlu berpura – pura, jadi energi mental tak terkuras…..emang lapar ya makan, makanan tak enak ya cari yang enak, tak ada yang jual ya masak sendiri, tak ada bahan makanan mentah, ya beli di pasar, tak ada uang ya cari…oh jadi saya harus cari uang supaya dapat makan enak…wah berarti harus giat bekerja, harus alot, tahan banting, pantang menyerah, keukeuh, bersemangat…harus bersikap positif….luar biasa.

Karena sejak kecil kita telah dididik oleh ortu, guru dituntun belajar agama, disekolahkan – diajar berpikir rasional…..dan diatas segalanya…..karena kita mahluk ciptaan Tuhan yang diperintahkan untuk menyayangi memelihara diri sendiri dengan baik…..maka dengan otomatis kita pasti akan bersikap positif dan luar biasa.

Jadi menurut pendapat saya. langkah awal dalam menghadapi masalah adalah: sikap realistis, setelah itu pasti sikap positif dan luar biasa akan muncul tanpa efek samping yang bisa mengantarkan seseorang ke ruang praktek saya ;-D………salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun