Kompas. Sontak, jari-jemariku segera menjamah, membolak-balik halaman demi halaman. Ingatanku mulai bergeliat. Mulai dari P.K Ojong, Jakoeb Oetama hingga Lilik Oetama, ingatanku menelusuri keberadaan Kompas, yang hari ini mafhum media itu mewarnai carut marut, silang-sengkarut bangsa ini.
Pagi hari nan dingin, ditemani secangkir kopi, aku membaca selembar Koran bernamaKompas yang hari ini kita kenal sebagai koran nasional yang memiliki pamor itu memiliki sejarah menarik. Suatu ketika, tinggal seorang Katolik beriman bernama P.K Ojong yang senantiasa menyebarkan kebaikan. Dengan kacamata bulat dan penampilan yang rapi, ia senang sekali untuk membagikan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan.
Maklum, P.K Ojong seorang pembelajar ulung. Ia memiliki cita-cita untuk dapat belajar di Universitas Indonesia Fakultas Hukum. Menahan dulu karena tak mau hasil kekayaan orang tuanya itu, cawe-cawe dalam hidup Ojong. Hollandsch Chineesche Kweekschool (HCK) alhasil jadi tempat Ojong untuk menyelami Ilmu Pengetahuan, untuk mematangkan untuk menjadi seorang guru.
Pengakuan Oei Tjoe Tat, kawan karib Ojong, "Ojong sebagai mahasiswa, tidak bisa dikatakn cemerlang, tetapi ia sangat tekan da terlalu serius sebagai orang muda." Mafhum, ketekunan yang ia lakoni, membuahkan hasil untuk saling menukar kewarasan dan kebermanfaat, termasuk berdirinya Bentara Rakyat hingga Kompas.
Kompas dan Soekarno
Sudah hampir 58 tahun, kompas menamani khalayak pembaca di negeri ini. Kompas terus berbenah untuk menyesuaikan diri dengan realitas. Walaupun menyesuaikan, kompas tak luput mempejuangkan komitmennya dalam menyampaikan guratan tinta nan segar bagi pembaca di negeri ini.
Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat ialah nama yang taka sing dalam derap langkah jurnalisme di Indonesia. Mereka ialah pendiri majalah Star Weekly, yang menjadi tempat menempa P.K Ojong menyelami lebih dalam kalam Jurnalistik. Tepat, 2 Januri 1946, majalah itu lahir di haribaan bumi pertiwi. Dilanjut, satu tahun selanjutnya pada 1947, majalah Keng Po, turut meramaikan media cetak di Indonesia.
P.K Ojong banyak belajar dari Khoe Woen Sioe dan Injo. Mereka semua wartawan pandai dan berani. Ojong mencerap ilmu jurnalitik dan kepribadian yang dimiliki oleh Sioe dan Injo. Tak salah, untuk belajar dengan orang lain, selagi bisa dan mampu menularkan kembali kepada kawan ataupun kerabat.
Di ruang itu, P.K Ojong banyak menempa diri jadi seorang penulis ulung. Ia banyak berkontrubusi dalam menuliskan sejarah Perang Eropa, Cerita bersambung bertopik kriminal hingga tajuk rencana. Kepiawannya yang terus diasah, membawa Ojong terus bergerak disamping nasib kehidupan yang terus mencabik-cabik Ojong, namun ia tetap tegar, tekun seperti sedia kala.
Setelah singgungan pelik antara Ir. Soekarno dan Moh. Hatta terjadi, nampaknya tidak hanya selesai dalam dunia ide saja. Konsep demokrasi terpimpin yang dikutuk Ir. Soekarno, melalang nyasak segala atribut yang tak selaras dengan ide-ide reovlusi ala Orde Lama waktu itu.
Syahdan, majalah mingguan Keng Po dan Star Weekly terkena imbasnya. Mereka dibredel dengan alasan yang kurang begitu relevan. Ojong, tetap tenang menghadapi peristiwa yang terjadi. Ia mencari jalan bijak agar tetap menyuguhkan media cetak yang menjadi piranti check and recheck dari penguasa untuk rakyat Indonesia.
Star Weekly dan Keng po yang awal mulanya dikomandoi oleh Khoe Whon Sioe dan Injo alhasil dipaksa tutup buku pada 11 Oktober 1961, persis semester keempat Orde Lama berhelat. Ojong tetap optimis. Dibalik kabut hitam yang menghadang, ada secercah cahaya yang menggantikannya. Adalah optimisme dalam diri yang membangun untuk hengkang dari keterpurukan.
Dalam buku Syukur Tiada Akhir; Jejak Langkah Jakoeb Oetama (Penerbit Kompas, 2011) menjabarkan dari peristiwa ke peristiwa, proses lahirnya Kompas yang muncul dari komunikasi lugas antara P.K Ojong dan beberapa Menteri Orde Lama waktu itu, antara lain; Soebandrio, Ahmad Yani dan Ir. Soekarno.
Dekrit 5 Juli 1959 ialah titik kunci mengapa Star Weekly dan Keng Po kudu tutup buku. Selanjutnya, Menteri I Subandrio menjelaskan. Bahwasannya pemberedelan itu disebabkan oleh penyeringan secara revolusioner, siapa kawan dan siapa lawan. Tak dinaya, mereka semua menerka, apa maksud siapa kawan dan lawan? Mafhum mereka pun alhasil memahaminya.
Tokoh kunci selanjutnya Frans Seda dimana juga berkecimpung dalam Partai Katolik. Frans Seda duduk sebagai Menteri Perkebunan. Ia berpengaruh ketika menyampaikan keluh kesah Ahmad Yani, untuk dapat dengan segera membentuk media agar menandingi agitasi yang dilakukan oleh Partai Komunis pada waktu itu.
Keluh kesahnya pun, alhasil direkam dan disampaikan ke beberapa kawan, termasuk; P.K Ojong, I.J Kasimo, dan Frans Seda untuk membicarakan pembuatan media cetak. Nama Bentara Rakyat muncul sebagai opsi untuk menjadi nama yang akan ditawarkan sebagai solusi keresahan Ahmad Yani.
Nama Bentara diambil dari tokoh Kanis Pari (tokoh katolik Flores) yang membuat lentera media cetak, di tanah Flores. Sontak, mereka sepakat untuk menggunakan nama "Bentara", ditambahi "Rakyat". Nama rakyat sendiri diambil untuk mengimbangi Harian Rakjat, milik golongan komunis waktu itu.
Frans Seda, dengan beberapa kepiawaiannya untuk komunikasi dengan Soekarno alhasil berlangsung. Soekarno, menyepakati tekad para pemuda untuk membuat sebuah Koran berita. Soekarno nyeletuk untuk mengganti namanya menjadi "Kompas". Alasannya ialah kompas sebagai penunjuk arah rakyat ketika mereka membacanya.
Kompasiana hari ini menjadi ruang blogging ratusan penulis yang terhimpun di dalamnya. Setelah Kompas diresmikan pada 28 Juni 1965, Kompas resmi menyigi pelbagai informasi yang bertebaran di Indonesia.
Kompasiana ialah ruang khusus Petrus Kanisius Ojong untuk menyampaikan gagasannya, seperti halnya Catatan Pinggiran yang ada di Majalah Tempo dari satu sampai dua belas, selalu diisi oleh Goenawan Mohammad.
Hari ini, kompasiana menjadi wadah semua kalangan. Mereka dapat menggungakan untuk menyigi makna pengetahuan. P.K Ojong, Kompas, dan serangkaian keluraga Kompas, masih berkontribusi dan berjasa dalam mencerahkan peradaban. Doa dan harapan baik, untuk Kompas dan tokoh-tokoh di sampingnya yang berjasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H