Kemajuan dari teknologi ataupun kemajuan dari output komoditas tertentu menciptakan suatu kemalasan dalam bernalar untuk menciptakan karya intelektual. Kampus selaku pencetak para pakar, mengalami penurunan kualitas karenan faktor teknologi dan outcomue komoditas yang destruktif bagi nalar.
Mereka lebih interest mengkaji dan mengulas harga PC ataupun Gadget untuk mendukung mereka untuk terjebak dalam simulacra. Dibandingkan dengan mengulas dan membaca kembali Peran Intelektual Edward w. Said untuk kontemplasi dan reproduksi pengetahuan.
Gagasan ataupun kritik akan dijadikan sebagai objek yang tidak berguna. Peranan politik akan dijadikan sebagai retorika semata dibandingkan dengan peranan politik murni. Perubah ini terjadi karena hegemoni pemodal dalam merubah sosial sangatlah kuat dan besar, sehingga gagasan ataupun corak berfikir akan digiring menjadi kepentingan yang pragmatis.
Dalam “Collapse” (2005), Jared Diamond mencatat mengenai destruktivitas peradaban yang disebabkan antara lain oleh kerusakan lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Hal ini tak lain buka tidak di dominasi oleh peranan para elite dalam mengkontrusksi kebijakan ataupun ranah gerak untuk desain sosial.
Kepentingan dari para elite mempunyai karakterisitik yang bervariatif. Hal ini akan mengakibatkan sebuah klasifikasi dan segmentasi dalam desain sosial. Desain sosial membutuhkan beberapa kritik karena aka nada kemungkinan yang tidak selaras dengan kondisi sosial tertentu.
Misal saja kemapanan dari liberalisme dalam prespektif barat akan memiliki banyak celah yang tidak selaras dengan negara-negara berkembang. Apabila subjek dalam negara berkembang tidak mau keluar dari sarang untuk meretas realitsme semu yang dibentuk oleh para elite, maka akan timbul rusaknya kebudayaan dan lingkungan karena ekspolitasi yang berciri Faust.
Proyeksi pembangunan yang berkaitan dengan sosial membangun malapetaka yang berciri Faust. Problematika ini terjadi karena kurangnya masyarakat sebagai subjek untuk aktif dalam membaca dan mengkritis terkait kemungkinan kerusakan ataupun desas-desus penggadaian negeri oleh para investor.
Kewibawaan dari para elite untuk mencuci otak rakyatnya, menambah pekik kondisi nalar hari ini. Pseudorealism yang dinukilkan dari pemikiran Theodre Adorno nampaknya relevan untuk mendedah dan menguliti hypocrite terhadap gambaran sosial yang semu ini. Dibutuhkan nalar dan kemampuan ekstra untuk terjuan bernalar dan menghindarkan anti intelektual yang memiliki efek boomerang.
Membaca buku, membuat opini dan menjadi public speaker untuk menyampaikan gagasan akan dihujani oleh pertanyaan anti nalar dan intelektul sepert; “Guananya Apa?”;”Dapat uang berapa setelah nulis?”; “Hanya teori aje lo!”.
Kondisi seperti itulah pemantik matinya nalar yang mengakibatkan antiintelektual yang lumayan kronis. Bila kaum muda sudah muak dengan buku dan diskusi maka matilah sudah harapan bangsa untuk kemajuan Indonesia.
Problem tersebut akan melahirkan sebuah minimnya interes untuk mendedah realism semu masa yang kadang membuat manusia tertipu. Tidak hanya itu anti intelektual juga bisa mengidap sektor elite teratas dengan menggerakan garda terdepan pertahanan.