Baru-baru ini kita dikagetkan dengan berbagai public figure yang terjerat kasus kode etik karena permasalahan klasik berupa kesalahan parafrase tentang penyampaian pendapat.
Di dalam negeri yang demokratis menyampaikan pendapat merupakan hal yang wajar karena pemerintah menjamin hal ini pasal 28 tentang kebebasan berpendapat. Akan tetapi sering terjadi paradoksal dalam peraturan tersebut, yang sering memakan korban hingga berujung penjeblosan kedalam tahanan.
Berbicara kebebasan berpendapat secara epistemology berarti bebas, dan sesorang berhak untuk menyampaikan segala bentuk unek-unek nya  terhadap suatu kondisi tertentu. Secara filosofis, hal ini akan berbanding terbalik dan lebih menyadarkan kita untuk selalu berfikir seperti yang disampaiakan oleh Descartes --Cogito Ergo Sum.
Kebebasan dalam berkehidupan tidak sesimple yang kita pikirkan. Kita hidup didalam sebuah tatanan structural yang mengekang satu sama lain dan mendiktes individu atau kelompok. Kebebasan secara harfiah tidak akan bisa berlaku secara murni, karena kebebasan individu harus terbentur dengan kebebasan individu kelompok lain.
Didalam structural bernegara kita bisa saja menjadi subjek dan bisa saja menjadi sebuah objek, tinggal dari mana kita akan mengamati. Dari sudut pandang hal privilise sebagai warga negara kita sering digaungkan sebagai posisi tertinggi dalam bernegara karena rakyat adalah komponen tertinggi didalam negara yang demokratis. Akan tetapi perlu kita ulas kembali terkait dengan paradigm Nietsche terkait dengan teori moralitas yang ia sampaikan, bahwa setiap individu tidak ingin untuk dikuasai oleh individu lain, mereka akan mempunyai sebuah pertahanan untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan, jelas disini akan terjadi sebuah pertarungan sengit untuk mendapatkan apa yang sesuai dengan kepentingan individu atau kelompok untuk tujuan yang opurtunis dari beberapa individu atau kelompok yang bersinggungan.
 Kebebasan berpendapat di Indonesia sering mengalami bias, karena oleh faktor oprtunitas kelompok yang mempunyai andil dan kekuasan besar. Alih-alih untuk menyampaikan aspirasi dan eksistensi, malah berujung kepada penjeblosan ke jeruji besi karena tidak selaras dengan individu atau kelompok tertentu. Perlu kita ulas kembali terkait dengan kebebasan dan merasa bebas, sering terjadi kekuarangtepatan dalam menamai dualisme tersebut.
Kebebasan dan merasa bebas
Permasalahan tentang makna bebas sering mengalami perbedaan yang sangat mencolok, hal ini diakibatkan oleh kesalahan dalam mengamati makna dasar tentang sebuah kebebasan. Kebebasan sering diartikan sebagai sebuah makan yang negatif seperti; bebas tugas, bebas makan, bebas berkeliaran dsb. Makna bebas ini bukanlah sebuah kebebasan, akan tetapi sebuah makna merasa bebas.
Di balik bebas tugas dan bebas makan, sebenarnya ada sebuah aturan yang akan membelenggu sebuah --perasaan bebas tersebut. Ketika seseorang mempunyai riwayat penyakit diabetes subjek harus siap menerima efek selanjutnya ketika mengkonsumsi suatu makanan yang beresiko terhadap penyakit diabetes ataupun harus dibenturkan dengan kebudayaan yang membentuk aturan di daerah lain, akan menciptakan nalar berfikir ulang tentang sebuah kebebasan dan merasa bebas. Perasaan bebas yang dimiliki oleh individu harus difikirkan beberapa kali untuk mengatisipas bad effect dari perilaku yang akan mereka lakukan.
Begitu juga tentang keinginan seseorang untuk melakukan perilaku menyimpang seperti seks bebas dan menghujat orang lain. Seseorang  yang terjebak dalam analogi --bebas dan melakukannya, mereka sedang terjebak dan dihegemoni oleh nafsu dalam diri untuk melakukan perilaku yang dapat merusak akal sehat seseorang kepada orang lain. Insan yang mulia ketika mereka mampu untuk memilah perilaku dengan baik hingga tidak terjebak dalam paraphrase merasa bebas. Dampak selanjutnya apabila seseorang terbelenggu oleh nafsu dalam dirinya, mereka akan didikte oleh norma sosial yang berlaku dan dinilai sebagai subjek yang melanggar peraturan --kriminal. Lemahnya dalam memilah dan berfikir secara sehat maka akan menjerumuskan mereka dalam belenggu kesalahan dalam berperilaku.