Mohon tunggu...
M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Orang yang hebat yaitu orang yang mampu untuk mempertahankan prinsip mereka dari beberapa kontradiktif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Feminisme dan Benturan Realitas Sosial

11 Agustus 2020   14:14 Diperbarui: 11 Agustus 2020   15:06 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Greatmind.id

Perempuan dan anak sering dijadikan sebagai homogenitas untuk membedakan dengan golongan yang lebih kuat seperti golongan patriarkal. Mereka distigmakan sebagai objek yang lemah dimana menjadi tulang rusuk lelaki yang selalu dibawah dan dijadikan sebagai objek yang wajib dilindungi. 

Kondisi fisik dan biologis menjadi alasan mengapa perempuan harus dijadikan sebagai objek dan kadang berpengaruh dalam meredam hak-hak esensial perempuan.

Kebudayaan salah satu faktor pencipta stigma yang sangat kental  untuk mengkontruksi perempuan sebagai objek yang disegmentasikan sebagai tokoh sekunder dalam kehidupan. 

Memasak, merawat selalu ditujukan kepada perempuan dan menjadi sebuah ciri yang tidak bisa dilepaskan. Konstruk ini seolah-olah perempuan merupakan pembantu yang dapat diandalkan kapan dan dimana saja dibawah naungan subjek yang berkuasa. 

Konstruk kebudayaan ini menimbulkan sebuah perlawanan untuk eksistensi perempuan agar lebih adil dalam menjalani kehidupan yang kompleks.

Paradigma perempuan sebagai objek sekunder rentan sekali timbulnya kekerasan fisik maupun batin. Perempuan dijadikan sebagai pembantu total yang dimana harus mematuhi apa yang disampaiakan oleh subjek (penguasa) dalam menentukan pilihan. 

Apabila hak bersauar perempuan masih didominasi oleh kaum patriarkal dan sejenisnya, maka perempuan akan selamnya menjadikan dirinya objek tidak bisa menjadi subjek yang bisa memberikan masuka-masukan kehidupan yang egaliter secara fungsionalnya.

Kesetaraan secara biologis memang akan mengalami paradoksal yang memuakan untuk memperjuangkan hak. Pasalnya alam menciptakan konstruk fisik yang sangat berbanding terbalik guna melengkapi satu sama lain. 

Hal ini sering disalah tafsirkan, seolah-olah perempuan menjadi objek sekunder dimana mereka di kontruksikan sebagai insan yang lemah. Perlu kita perhatikan, bahwa dalam memandang realitas sosial harus dilakukan dengan mengamati lapis sudut pandang yang berfariatif. 

Kita tidak bisa melihat dari satu sudut padang yang bisa mengantarkan kepada saklekisme yang tidak bisa menerima dinamikan sosial yang kompleks. Menjadikan perempuan sebagai objek sekunder adalah sebuah budaya jahiliyah yang harus kita tinggalkan. 

Pada masa jahilliyah dalam prepsktif islam, perempuan ditempatkan kepada posisi yang tidak layak. Perempuan menjadi konco wingking dan diartikan sebagai ladang, sebagai gambaran dari penempatan permpuan dimasa jahiliyah. 

Setelah masa jahiliyah kondisi berbanding terbalik dengan penempatan perempuan denga baik yang ditandai dengan mengajak kelilingnya Fatimah --putri Muhammad SAW untuk keliling ka'bah yang jelas sangat berbanding terbalik dengak kondisi kebudayaan yang ada.

Dalam memahami tafsir dalam agama, ada beberapa kunci yang mengatarkan kepada hasil penafsiran yang berfariatif. QS (3:34) yang dimana membahas tentang kepemimpianan, terjadi 2 tafsir yang berbanding terbalik antara pemahaman muffasir klasik dan mawdhui kontekstual. 

Mufasir klasik lebih menekankan kepada peranan kaum pria menjadi pemimpin adalah kodrati yang tidak bisa diganggu gugat sedangkan untuk Mawdhu'i kontekstual lebih mengarah kepada keleluasaan untuk perempuan, masuk, dan berpartisipasi menjadi seorang pemimpin dengan ditandai bahwa pernana laki-laki sebagai pemimpin tidak bersifat kondrati.

Perempuan di era Modern

Perempuan sering mengalami pencekalan terhadap kebebasan dan hak mereka dalam memilih suatu kebutuhan dan kepentingan. 

Mereka sering dijadikan sebagai objek sekunder yang tidak bisa bebas dalam menentukan hak mereka. Konstruk sosial, budaya dan politik sebagai bentuk martir yang selalui menghujam perempuan dalam memperoleh sebuah esensi hak.

Kita sering mengenal feminisme yang ranah gerak mereka meperjuangkan hak-hak perempuan ditengah kehidupan yang kompleks. Feminisme dimulai dari sebuah perjuangan bagi kaum perempuan untuk mendapatkan space berpartisipasi dalam ranah politik. 

Ranah politik sering dihegemoni dengan eksistensi laki-laki. Jelas hal tersebut akan berdampak kepada diskriminasi sosial yang memegang teguh kesetaraan terhadap hak. 

Perempuan dalam bidang politik sangat kurang relevan bagi merekan yang memandang meraka sangat tradisionalis. Perempuan haruslah mempunyai kesamaan hak dalam mengelola realitas sosial tanpa harus memberikan sekat yang kuat sehingga membatasi ranah gerak perempuan itu sendiri. 

Pencerdasan melalui sosialisai terhadap hak perempuan, harus tetap dilaksanakn guna mencerahkan hegemoni hitam terhadap perempuan selama ini.

Ratu Sima yang berasal dari kalingga dan beberapa literasi kuno yang mengagungkan perempuan menjadi sebuah bukti bahwa perempuan mempunyai ranah kekuatan yang sama dalam mengelola relaitas sosial yang ada.  

RA Kartini yang memperjuangkan hak perempuan dalam fase sebelum kemerdekaan harus tetap diteruskan sampai kapanpun untuk membentengi segala bentuk blockade terhadap kebebasan hak perempuan.

Gelombang pertama feminism yang ditandai dengan perjuangan terhadap hak berpartisipasi dalam bidang politik, dilanjutkan dengan gelombang kedua yang ditandai dengan perjuangan perempuan untuk menentukan eksistensi dan esensi mereka tanpa ada perihal yang dapat mengurung dan memenjarakan mereka.

Indutrialisai menjadi salah satu faktor dalam merubah eksistensi perempuan itu sendiri. Peranan modal menciptakan sebuah hegemoni untuk memberikan sekat yang lumayan besar dalam ranah gerak perempuan. 

Pembagian kerja, insentif dsb sering dilanggar oleh pemilik modal demi kepentingan insentif semata. Marx menelaah permasalahan sebagai penghisapan akumulasi primitif yang korup.

Penentuan takaran untuk lulus masuk dunia kerja didasarkan kepada tingkat kecantikan yang dimiliki oleh seorang perempuan, yang jelas mencederai makna tulus apa itu --cantik. 

Perempuan yang mempunyai kriteria fisik berdasarkan kepentingan pasar yang penuh birahi akan mudah diterima dibandingkan mereka yang memahami kecantikan secara makna humanis. 

Problematika ini seolah-olah perempuan hanyalah ladang untuk memuaskan empirisme pasar dan patriarkal yang jelas menindas perempuan. Perjuangan terhadap hak perempuan harus tetap dilakukan untuk mengatasi resiko penindasan yang lebih destruktif karena sistem sosial yang kompleks ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun