Tinggal selangkah lagi Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) akan diparipurnakan di DPR yang kemudian disahkan menjadi UU Ormas. Tidak sedikit anggaran yang dihabiskan untuk melakukan studi dan menyiapkan rancangan di lingkungan pemerintah sejak tahun 2000-an. Sehingga tidak mengherankan jika harapan masyarakat begitu besar terhadap hasil RUU Ormas yang komprehensif namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam berkumpul dan berserikat.
Keberadaan Ormas dalam konteks pembangunan bangsa memang dirasa sangat vital. Perannya, baik secara fisik maupun pembangunan sumber daya manusia, sudah terbukti mampu mengawal perjalanan bangsa Indonesia. Namun demikian, sejarah bangsa kita juga mencatat pasang-surutnya peran Ormas seiring dengan dinamika sosial-politik yang muncul dalam sejarah perjalanan bangsa.
Di era reformasi, perkembangan Ormas begitu pesat, setelah lama tidak berdaya di era Orde Baru. Hal paling tidak didorong oleh beberapa kondisi, khususnya tersedia ruang yang lebih terbuka bagi aktualisasi peran Ormas dalam pemberdayaan masyarakat maupun sebagai mitra kritis (kontrol) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Selain itu, era reformasi merubah paradigma dalam memandang Ormas, khususnya di kalangan pemerintah. Kalau dulu Ormas dilihat sebagai “ancaman” atau “lawan”, maka sejak Reformasi Ormas dilihat sebagai mitra yang penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Namun demikian, seiring dengan banyaknya perubahan yang terjadi di era reformasi, semakin disadari bahwa UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakat, tak lagi relevan dengan konteks sosial-politik Indonesia saat ini. Aktivitas Ormas saat ini tak lagi mampu diwadahi oleh UU ini dan karena itu kiprah Ormas saat ini tak lagi memiliki landasan hukum yang legal. Dalam konteks seperti ini, dapat dikatakan, telah terjadi kekosongan hukum terhadap peran Ormas.
Oleh karenanya, urgensi percepatan pengesahan revisi RUU Ormas sangat dibutuhkan, karena beberapa alasan mendasar.
Pertama, RUU Ormas sangat penting demi perlindungan terhadap hak berserikat dan berkumpul yang sesuai dengan hukum negara serta untuk melindungi negara dari berbagai pengaruh asing.
Kedua, dengan tidak relevannya UU No. 8 Tahun 1985 dengan kondisi sekarang. Mengingat era reformasi menuntut pengelolaan negara berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipatif dan transparansi, yang tidak dijamin oleh UU No. 8 Tahun 1985.
Ketiga, Ormas pada masa depan diharapkan berbadan hukum, memiliki kegiatan yang jelas, sesuai dengan konstitusi, Pancasila, serta semangat negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keempat, peran Ormas sebagai social capital dalam pengembangan civil society tidak lagi sekadar sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang terjadi dulu. Tidak lagi hanya sebatas “tukang stempel” kebijakan pemerintah.
Kelima, perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU lain, khususnya UU yang lahir di era reformasi, agar langgam gerak Ormas seirama dengan pembangunan demokrasi secara menyeluruh. Dan, sejalan dengan hal ini, dinamika Ormas saat ini memang memerlukan bentuk hukum baru sebagai landasan untuk menjalankan perannya bagi pembangunan masyarakat.
Dilema LSM dan Pendanaan Asing
Namun yang perlu diperhatikan dalam RUU Ormas adalah terkait keberadaan Ormas atau LSM Asing di negeri ini. Hal ini mengingat akan berimplikasi terhadap pengaruh asing, yang pada gilirannya akan menggangu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan terhadap Ormas asing dalam RUU Ormas harus secara kompleks dan menyeluruh, dalam artian mesti ada pembatasan dan pengawasan yang ketat terhadap LSM Asing yang diatur secara tegas oleh UU.
Hal ini juga sejalan dengan RUU Ormas yang akan disahkan oleh DPR. Terdapat pembatasan-pembatasan terhadap ormas-ormas asing yang berada di Indonesia. Hal ini didasarkan tiga klasifikasi yang diatur dalam RUU Ormas. Pertama, disepakati bahwa salah satu batasan ormas atau lembaga asing untuk bergerak di Indonesia adalah harus sudah berbadan hukum asing. Kedua, pengaturan terhadap WNI yang membuat Ormas dan berafiliasi ke negara lain.Ketiga, pengaturan terhadap warga negara asing (WNA) yang boleh mendirikan yayasan di Indonesia. Untuk point ini merujuk pada UU Yayasan, di mana dalam UU Yayasan membolehkan WNA mendirikan yayasan. Oleh karenanya itu sebaiknya harus dilakukan pula amandemen atas UU Yayasan.
Aturan main yang juga diatur dalam RUU Ormas ini adalah setiap lembaga asing atau lembaga nasional yang berafiliasi asing harus melaporkan dananya. Ia mengutarakan berdasarkan analisis PPATK, jumlah dana untuk ormas-ormas asing itu ternyata cukup fantastis. Model transaksi selama ini ada dua, yakni melalui perbankan dan sistem cash and carry. Ia menjelaskan dalam RUU Ormas ini transaksi harus dilakukan melalui perbankan agar bisa terlacak oleh PPATK. Selain itu, RUU Ormas ini akan memberi kewenangan kepada pemerintah untuk memantau kegiatan dan aktivitas lembaga-lembaga tersebut. Bila ada ormas asing yang ingin beroperasi di Indonesia maka mereka harus mendapat izin operasional. Aktivitas mereka harus sesuai dengan izin yang diberikan.
Dengan mempercepat pengesahan RUU Ormas yang ada, dimaksudkan untuk mendorong terciptanya masyarakat madani yang dapat memberikan control terhadap pemerintah, sekaligus menyelamatkan NKRI dari intervensi asing. Hingga pada gilirannya nanti Ormas dapat memberikan sumbangsih besar bagi proses pembangunan bangsa yang lebih baik.
Oleh: La Ode Ahmadi, Direktur Sosial Politik The Jakarta Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H