Mohon tunggu...
M Ghalih AI 079
M Ghalih AI 079 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Semester 2/BPI/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kontne-konten tugas kampus

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghadapi Era Post-Truth: Mewaspadai Pengkhianatan dan Pembohongan Modern

20 Mei 2024   16:45 Diperbarui: 20 Mei 2024   17:00 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Syamsul Yakin & Muhammad Ghalih Adhinul Ikhsan

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung  Kota Depok & Mahasiswa prodi BPI, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Post-Truth bukan sesuatu yang baru terjadi. Tidak sampai media online seperti media baru, media sosial, dan jejaring sosial menjadi lebih mudah diakses. Post-Truth tidak dimulai dari jari-jari tangan, dunia digital, ruang maya, atau apa pun yang ada di internet. Sebaliknya, itu dimulai dari hati manusia sejak zaman dahulu. Fakta palsu (hoax) telah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, post-truth adalah praktik lama yang dikemas dengan cara baru. Keterangan berikut dari Nabi Muhammad SAW dapat membantu Anda memahami apa itu post-truth.

Bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Pada saat itu para pendusta dibenarkan sementara orang jujur ditolak. Pengkhianat dipercaya sementara orang yang dapat dipercaya dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah akan berbicara."  Seseorang bertanya, "Apa yang dimaksud dengan Ruwaibidhah?" Nabi menjawab, "Orang bodoh yang mencampuri urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Ketika pembohong dibenarkan dan orang yang jujur disangkal, post-truth jelas telah ada sejak lama. Sumber berita yang kredibel tidak lagi dapat mendorong orang. Mereka lebih suka percaya pada hoax yang mengganggu akal sehat dan emosi mereka. Post-truth jelas telah lama mengungguli rasionalitas. Sudah jelas bahwa hal ini akan mengancam kohesivitas sosial, laju kemajuan, keunggulan, dan kemandirian negara jika dibiarkan.

Secara psikologis, post-truth berasal dari ketakutan akan kejujuran orang lain dan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam manajemen kepribadian, ilmu pengetahuan, dan kerja keras. Post-truth menunjukkan orang yang kalah yang tetap unggul meskipun menggunakan taktik, agitasi, dan kampanye kotor. Oleh karena itu, orang yang jujur ditolak, sementara pembohong dibenarkan. Post-truth telah melanda praktik politik kontemporer, tidak dapat dipungkiri.

Selain itu, fakta bahwa pengkhianat dipercaya, sementara orang yang dapat dipercaya dianggap pengkhianat, menunjukkan bahwa sifat media sosial tidak anti-humanisme. Fakta bahwa hoax, berita bohong, dan ujaran kebencian telah marak jauh sebelum berkembangnya konvergensi media adalah fakta yang telah dibuktikan dalam sejarah.  Dengan kata lain, internet memiliki karakteristik humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayangnya, di era disrupsi, banyak orang yang diserang tanpa tahu siapa yang menyerangnya, dan ada yang dikhianati tanpa tahu siapa yang mengkhianatinya.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya Ruwaibidhah, yang merupakan representasi dari masyarakat online yang instan, bodoh, anti sosial, dan bandit. Ruwaibidhah adalah musuh peradaban dan bangsa. Ruwaibidhah, yang sebenarnya marjinal dengan karakter agresornya, menjadi titik sentral. Dia tidak hanya memiliki kemampuan retorika yang luar biasa, tetapi dia juga dapat mengontrol situasi ekonomi dan politik. Ruwaibidhah ini telah mencoreng wajah media sosial yang seharusnya digunakan dengan cerdik.

Dengan prinsip "besok adalah hari ini", kita harus memiliki mentalitas progresif dan berpikir futurologis untuk memenangkan persaingan ini. Bukan sebaliknya, menjadi seorang romantis konvensional yang percaya bahwa "kemarin adalah hari ini". Jika tidak, katalisator perubahan yang liar akan menggilas kita dengan kecepatan nano detik. Ingatlah bahwa kita perlu beradaptasi ketika platform berubah. Kita juga harus melakukan reposisi dari "penumpang" ke "pengendali" era digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun