Mohon tunggu...
Ghalif Putra Sadewa
Ghalif Putra Sadewa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta

Sehari-hari menjadi staf pengajar di Prodi Fotografi, FSMR, ISI Yogyakarta. Sisanya, bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toleransi Itu Memaksa

23 Desember 2021   21:53 Diperbarui: 23 Desember 2021   22:00 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toleransi sebagai topik diskusi menjadi suatu hal yang menarik dan tidak pernah habis untuk ditinjau, baik dari segi situasi maupun kondisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, to.le.ran.si adalah sifat atau sikap toleran, penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, dan masih dapat diterima. 

Sedangkan to.le.ran sendiri artinya bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan suatu pendapat atau pandangan yang berbeda atau bisa jadi bertentangan dengan pendirian sendiri.

Kalau kita cermati penjelasan kata toleransi di atas sebetulnya kata kuncinya terletak pada sikap menerima sekaligus menghargai perbedaan atau pandangan individu selama hal tersebut dapat diterima secara kolektif. Tentu saja perbedaan yang dilakukan ataupun sikap yang diambil tidak mencederai nilai-nilai kebersamaan demokratis. 

Oleh karenanya, sikap toleransi itu sejatinya tak semudah yang tertulis pun yang diucapkan. Mengapa demikian? Sebagai manusia merdeka, setiap individu sudah barang tentu ingin paling dihargai, didahulukan, dihormati, dan paling-paling lainnya. 

Belum juga jika menggunakan latar belakang tertentu. Di sinilah perlunya menjadi manusia yang "tepo seliro" atas hak orang lain bahkan hak makhluk hidup lainnya. 

Tepo Seliro atau tenggang rasa akan terejawantah dalam kehidupan sehari-hari kalau sikap toleransi itu tertanam dan dipupuk sejak dini sehingga tumbuh secara baik. Ibarat pohon yang rindang daunnya sehingga siapapun yang berteduh di bawahnya merasakan manfaatnya.

Toleransi itu memaksa diri kita sendiri untuk menghargai sikap orang lain, memaksa nalar kita untuk memahami bahwa kebenaran itu jamak. Kita menganggap benar apa yang kita percayai sehingga menihilkan kebenaran orang lain. 

Kita meminta kelompok tertentu menghargai pandangan kita karena kita majemuk dan heterogen tanpa melihat bahwa setiap individu benar atas isi kepalanya masing-masing. 

Maka, toleransi adalah upaya terbaik menaklukan sikap angkuh yang demikian. Satu-satunya kebenaran yang absolut hanya berasal dan berakhir pada sang Pencipta.

Namun sayang, sikap toleransi barangkali semakin terkikis bukan karena isu keagamaan dan politis yang kerap kali digoreng, dijajakan atau pesatnya teknologi serta rendahnya sikap peduli tetapi intoleransi marak akibat setiap individu memproduksi hal demikian. Merasa lebih tahu atas apa yang paling baik dan benar meskipun acap kali tidak pas. 

Minimnya ruang berjumpa, mengasingkan dari dunia nyata, dan lagi-lagi miskin akan literasi. Masih pantaskan kita disebut manusia yang toleran atas hal-hal kecil disekitar kita? Mari kita renungkan sejenak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun