Istilah migrasi yang akrab dengan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain ternyata berlaku juga pada dunia teknologi.Â
Televisi yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1962 terus tumbuh pesat dan menjelma menjadi media yang memiliki ruang istimewa bagi masyarakat.Â
Lebih dari 16 televisi swasta nasional lahir di Indonesia. Mereka saling berkompetisi dengan membuat berbagai program untuk menyuplai kebutuhan hiburan masyarakat. Akses yang mudah, murah, dan menyenangkan menjadi daya tarik media televisi dalam rangka menggaet penontonnya.Â
Namun era digital di abad 21 secara perlahan memberikan dampak luar biasa pada siaran televisi analog.Â
Memang tidak serta merta meredupkan ruang kemegahan yang selama ini melekat pada televisi tetapi munculnya platform digital beserta kekuasaan user (penonton) secara mutlak menjadi daya saing yang wajib diperhitungkan.Â
Maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah migrasi televisi konvensional menjadi inkonvensional.
Apa hubungan antara daya saing dengan budaya menonton? Ternyata, usut punya usut, migrasi ini terkait erat dengan pengelolaan ulang frekuensi yang ada. Dengan beralihnya ke digital maka akan ada efisiensi yang tercipta sehingga semakin banyak kesempatan untuk konten kreator masuk ke dalam produksi tv digital.
Migrasi Televisi Analog ke Televisi Digital tinggal menghitung hari.Â
Pada prosesnya, migrasi TV Analog akan dilakukan secara bertahap dari April - November 2022. Meski sempat menuai gejolak, mau tidak mau migrasi televisi harus dilaksanakan.Â
Banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh berbagai pihak berkaitan gelombang migrasi ini.Â
Pertama, perihal regulasi dan infrastruktur yang memadai dan harus siap.Â
Dengan beralihnya ke digital maka jumlah kanal siaran akan semakin membludak lantas seperti apa acuan dan standar siarnya?Â
Tentu tidak bisa sekedar mengaplikasikan SOP yang digunakan pada tv analog. Infrastruktur pun harus diperhitungkan secara matang, bukan saja bicara angka tetapi penyelesaian-penyelesaian di balik kendala yang ada di era tv analog.Â
Infrastruktur di sini berarti menyoal jalur distribusi hingga perangkat penerima secara merata di seluruh wilayah, tanpa lagi bersembunyi di balik letak geografis suatu daerah.Â
Kedua, program acara yang kreatif dan berkualitas. Jika berbicara tingkat kreativitas maka masyarakat Indonesia adalah gudangnya.Â
Namun berbicara kualitas, sepertinya perlu dikaji lebih dalam. Jika sekedar laku dengan tolak ukur banyak peminatnya, apa bedanya dengan konten-konten yang tersebar di jagad media. Karena tidak semua yang ditonton dan banyak peminat berkualitas, begitu pula sebaliknya.Â
Ketiga, penontonnya harus lebih bijaksana dan mempunyai literasi yang baik, cukup saja masih kurang.Â
Dunia digital membuat penonton memiliki kuasa penuh akan apa yang ia lihat maka pintu terakhir masuknya akses informasi ada padanya.Â
Tidak bisa kemudian, penonton menuntut agar industri televisi menyajikan seperti apa yang dia inginkan.Â
Pada saat penonton berada di depan TV dengan remote control di tangannya sesungguhnya bukan berarti dia mampu mengendalikan suatu program acara atau layar kaca, justru saat itulah ia membuka akses intervensi luar ke dalam dirinya.Â
Oleh karenanya, migrasi TV Analog ke Televisi Digital bukan sekedar memindah jalur distribusi atau penataan frekuensi melainkan merubah budaya menonton dan mempersiapkan masyarakat untuk benar-benar menempatkan dirinya sebagai subjek bukan lagi objek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H