Jajanan khas daerah memang menjadi salah satu tujuan wisata lidah. Apalagi jika lokasi tempat pembuatan dan prosesnya bisa dilihat langsung, tentu menjadi salah satu destinasti yang patut dicatat jika berkunjung ke suatu daerah.Â
Namun sayangnya tidak semua daerah wisata masih melestarikan jajanan lokal. Peminat yang sedikit hingga minimnya generasi penerus selalu menjadi kendala. Selain pembuatnya yang terkadang tergolong lama, sulit dan bahan baku yang mahal. Namun jika traveler berkunjung ke Yogyakarta mampirlah ke Kotagede, maka anda akan menjumpai jajanan khas yang tak lekang oleh zaman.Â
Kembang Waru atau roti Kembang Waru adalah jajanan khas Kotagede, Yogyakarta. Roti ini merupakan salah satu sajian kuliner khas yang dibuat dan dilestarikan hingga saat ini. Basis Hargito bersama istrinya telah lama menggeluti usaha ini. Tahun 1983, awal mula Basis terjun dan melestarikan roti yang sudah ada sejak zaman Panembahan Senopati. Filosofi di balik kembang waru menarik untuk dikupas.Â
Kembang waru memiliki jumlah delapan ujung kembang yang tersusun menjadi satu kesatuan. Nasihat daripada pendahulu tentang delapan jalan utama atau Hasto Broto. Diibaratkan 8 elemen penting yaitu matahari, bulan, bintang, mega (awan), tirta (air), kismo (tanah), samudra, dan maruto (angin). Oleh karenanya roti kembang waru menjadi simbol akan penguasaan jiwa.
"Dulu bentuk roti ini terinspirasi dari daun waru yang tumbuh subur di daerah pasar hingga keraton Mataram. Selain itu bentuk daun waru juga lebih mudah dibanding bunga lainnya, misal mawar kan lebih sulit"papar Basis sambil tersenyum. Kembang waru berwujud seperti bolu basah. Dulu, kue ini menggunakan bahan tepung ketan dan telur ayam kampung.Â
Dua bahan ini membuat rasa yang istimewa. Kini, dua bahan itu mahal harganya, bahan pun dimodifikasi. Bahan adonan kembang waru kini terdiri dari telur ayam, tepung terigu, gula pasir, soda vanili, dan susu. Penggunaan bahan dasar tepung terigu dan mentega dalam adonan kue menunjukkan pengaruh kuat budaya Eropa yang diperkenalkan Belanda pada zaman kolonial. Kala itu, terigu adalah bahan dasar mewah, tak heran jika pada masanya kembang waru adalah kudapan mewah. Biasanya dijadikan persembahan bagi Raja Mataram, atau hanya dapat ditemui pada perayaan khusus. Pada era sekarang, kue ini biasa dipesan oleh pembeli yang memiliki hajatan atau syukuran. Namun tak jarang kue ini juga sebagai hidangan sajian biasa.
Untuk masalah harga tidak perlu khawatir karena kudapan ini ramah dikocek. Uniknya, roti ini bisa bertahan selama 5 hari. Pembeli pun bisa menyaksikan langsung proses pembuatannya. Bahkan pemilikpun memperbolehkan pembeli untuk ikut membuat dan merasakan aroma arang yang menyelubungi dapur pembuatan roti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H