Mohon tunggu...
Ghaitsa Zahira Shafa
Ghaitsa Zahira Shafa Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPN Veteran Jakarta

Saya adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan, Sebuah Tuntutan Menjadi Sempurna

21 Oktober 2024   22:35 Diperbarui: 21 Oktober 2024   23:15 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi perempuan selalu dihantui oleh berbagai tuntutan hingga ekspektasi yang kian membebani, tentu saja hal ini berasal dari stigma masyarakat yang menganggap bahwa perempuan itu harus tumbuh secara sempurna. Mulai dari penampilan, sikap, dan peran yang harus dijalankan perempuan itu mesti mempertimbangkan kesempurnaan seolah telah menjadi sesuatu yang wajib untuk dicapai. Namun, apakah kesempurnaan ini memang pantas menjadi tuntutan bagi perempuan?

Semua terlihat jelas ketika kita menyadari bahwa tuntutan kesempurnaan sering kali tidak diterapkan dengan cara yang sama pada laki-laki, mereka bisa lebih gamblang untuk mengekspresikan diri tanpa menghadapi tekanan yang sama. Sebagai contoh, laki-laki tidak harus selalu tampil formal atau mengikuti norma estetika tertentu yang memungkinkan mereka untuk bersikap lebih santai dan fleksibel. Mereka dapat dengan bebas menunjukkan emosi atau kerentanan tanpa stigma yang melekat, sedangkan perempuan seringkali dipandang negatif jika tidak mematuhi standar kesempurnaan yang telah ditetapkan. Tuntutan untuk tampil menarik, kompeten, dan sekaligus menjadi sosok yang ideal dalam keluarga membuat perempuan terjebak dalam tekanan yang berlebihan.

Standar kesempurnaan perempuan terasa semakin pelik di ranah media sosial, dimana berbagai platform turut memfasilitasi penyebaran citra ideal yang tidak hanya sulit dicapai tetapi juga sering kali tidak mencerminkan kenyataan dimana penampilan fisik menjadi ukuran utama nilai seorang perempuan. Dalam banyak kasus, unggahan-unggahan yang diposting telah melalui proses penyuntingan yang intensif, menciptakan gambaran yang jauh dari kenyataan sehingga hal ini berkontribusi pada persepsi bahwa perempuan harus memenuhi standar tertentu untuk dianggap "layak" atau "bernilai"

Bayangkan betapa melelahkannya untuk selalu tampil sempurna, baik di depan orang lain maupun di media sosial. Perempuan harus selalu terlihat ideal namun, tuntutan ini mengalihkan fokus mereka dari hal-hal yang lebih bermakna dalam hidup. Alih-alih menikmati momen-momen berharga, seperti mengejar impian, menghabiskan waktu bersama keluarga, atau bahkan merawat kesehatan mental, banyak perempuan merasa terjebak dalam sebuah perlombaan yang tidak ada habisnya. Mereka terpaksa mengorbankan waktu dan energi untuk memastikan bahwa penampilan mereka selalu sesuai ditambah dengan stigma masyarakat yang menuntut kesempurnaan ini juga membuat perempuan sulit merayakan keberhasilan dan keberagaman. Mereka mungkin merasa ragu untuk menunjukkan keunikan dan kelebihan yang mereka miliki, karena khawatir tidak diterima oleh lingkungan sekitar. 

Perasaan ini sering kali menyebabkan kecemasan, hingga depresi. Perempuan yang terjebak dalam perbandingan sosial yang konstan mungkin merasa bahwa mereka tidak cukup baik, meskipun mereka memiliki pencapaian dan kualitas yang luar biasa. Tekanan untuk memenuhi standar kesempurnaan ini menciptakan budaya, dimana perempuan merasa tidak berharga jika mereka tidak memenuhi ekspektasi tertentu. Ini dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk mengeksplorasi bakat, kemampuan, dan minat mereka yang sebenarnya. Dengan berfokus pada penampilan fisik semata, perempuan sering kali mengabaikan potensi luar biasa yang mereka miliki dalam berbagai bidang, seperti karier, pendidikan, dan kontribusi sosial.

Kesempurnaan perempuan itu tidak seharusnya dijadikan bisa diukur, melainkan harus dipahami sebagai sebuah konsep yang fleksibel. Pada lingkungan masyarakat yang menuntut perempuan untuk memenuhi standar tertentu, penting untuk menekankan bahwa kesempurnaan bisa diinterpretasikan dalam berbagai cara. Setiap perempuan memiliki keunikan dan kekuatan masing-masing, yang membuat mereka tampak istimewa satu sama lain. Kesempurnaan ini seharusnya dilihat sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri secara autentik, bukan sekadar mengikuti norma atau harapan yang ditetapkan oleh masyarakat.

Di tengah standar kesempurnaan yang terasa semakin sesak, perempuan perlu berani menantang stigma yang ada. Perempuan harus bisa memahami bahwa kesempurnaan yang hakiki itu tidak hanya soal penampilan fisik, tetapi juga melibatkan kualitas, karakter, dan kontribusi mereka untuk masyarakat. Langkah utama untuk bebas dari tuntutan ini adalah menerima diri sendiri. Ketika perempuan mulai mengapresiasi diri mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan, rasa percaya diri mereka akan semakin tumbuh. Hal ini memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada hal-hal yang bermakna, seperti potensi dan kemampuan yang mereka miliki. 

Keberagaman juga sangat penting dalam merubah cara kita melihat kesempurnaan yang ada pada diri perempuan memiliki latar belakang dan pengalaman yang unik, kita tidak hanya menghapus stigma masyarakat tetapi juga menciptakan ruang di mana semua perempuan merasa diterima dan dihargai. Saat perempuan berani menunjukkan diri mereka yang sebenarnya, mereka bisa jadi inspirasi bagi orang lain hingga bisa membangun komunitas yang saling mendukung bahwa kesempurnaan sejati berasal dari dalam diri menjadi lebih kuat ditambah dengan fokus pada kualitas dan kontribusi, perempuan bisa menemukan nilai diri mereka yang sesungguhnya dan memberikan dampak positif bagi sekitar.

Kesempurnaan bukanlah satu-satunya jalan menuju sukses dan kebahagiaan bagi seorang perempuan, tetapi menerima ketidaksempurnaan merupakan bagian alami dari pengalaman  yang seharusnya dianggap normal.

Referensi: 

Putri, Norma Nabila. (2021). Diakses pada https://kumparan.com/norma-nabila-putri/susahnya-jadi-perempuan-1x1L5G4j15U 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun