Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN untuk jumlah pernikahan dini tertinggi. UNICEF menyatakan bahwa Indonesia memiliki angka absolut kedelapan tertinggi "pernikahan anak" dengan 1.459.000 kasus. Pada tahun 2018, satu dari sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, yang biasa disebut dengan perkawinan anak. Pemerintah telah menetapkan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai aturan terbaru tentang pernikahan. Regulasi tersebut mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia minimal bagi wanita untuk menikah, yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun, sama dengan batas usia minimal bagi pria.
Remaja putri yang menikah di bawah usia 19 tahun, terlebih yang memiliki tingkat pendidikan dan kesejahteraan rendah, dapat dikatakan belum matang secara psikologis dan tidak memiliki wawasan yang cukup tentang kehamilan dan pola asuh yang baik dan benar. Di sisi lain, seorang remaja tetap membutuhkan nutrisi maksimal hingga usia 21 tahun. Artinya, apabila seorang perempuan hamil di usia sebelum itu, tubuh ibu bersaing dengan bayi yang dikandungnya untuk mendapatkan makanan. Apabila pola makan ibu tidak adekuat selama hamil, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat rentan mengalami stunting. Hal ini sejalan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menunjukkan 43,5% kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak di bawah usia tiga tahun yang ibunya berusia 14 hingga 15 tahun. Sementara itu, 22,4% pada kelompok usia 16 sampai 17 tahun. Sebanyak 43,8% di antaranya adalah kehamilan yang tidak diinginkan.
Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai. Seorang anak tergolong stunting apabila memiliki tinggi badan lebih dari dua standar deviasi di bawah median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO.
Stunting dapat teratasi atau terkoreksi selama 1000 hari pertama kehidupan. Artinya, saat bayi lahir hingga usia dua tahun, tetap bisa melakukan perubahan dan intervensi agar tidak tejadi stunting. Periode 1000 hari pertama kehidupan yang dimulai sejak awal pembuahan hingga usia dua tahun merupakan periode krusial kehidupan manusia. Pada periode ini, proses perkembangan otak, pertumbuhan badan, perkembangan sistem metabolisme dan imunitas tubuh berlangsung begitu pesat. Stunting, terutama dalam periode emas ini, memiliki konsekuensi fungsional yang negatif bagi anak. Konsekuensi ini termasuk kinerja kognitif dan akademik yang buruk, penurunan produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit terkait diet kronis di masa dewasa bila dikombinasikan dengan kenaikan berat badan masa kanak-kanak yang berlebihan.
Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan angka stunting di Indonesia terus mengalami penurunan dari 30,8%pada tahun 2018 menjadi 21,6% pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa terkait prevalensi stunting sesuai dengan standard WHO, di angka kurang dari 20%, bukan menjadi hal yang sulit dicapai. Pemerintah Indonesia juga telah memiliki ambisi untuk menekan angka prevalensi stunting di Indonesia. Pada awal tahun 2021, Pemerintah Indonesia menargetkan angka stunting turun menjadi 14% pada 2024. Hal ini tentu saja menjadi "PR" besar pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi sejumlah kurang lebih tujuh persen dalam jangka waktu kurang dari dua tahun.
Stunting yang masih menjadi masalah gizi utama pada bayi dan anak di bawah usia dua tahun di Indonesia harus segera diatasi karena dapat menghambat momentum generasi emas Indonesia pada tahun 2045. Bahkan, data dari Bank Dunia atau World Bank mengatakan angkatan kerja yang pada masa bayinya mengalami stunting mencapai 54%. Artinya, sebanyak 54% angkatan kerja saat ini adalah penyintas stunting. Hal inilah menyebabkan stunting menjadi perhatian khusus pemerintah.
Memang benar, penyebab tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia bukan semata-mata diakibatkan tingginya angka pernikahan dini. Infrastruktur lingkungan, mulai dari air bersih, sanitasi dan perumahan sehat, serta fasilitas pendidikan harus mampu bekerja terpadu dan kuat. Namun demikian, perlu diingat bahwa anak merupakan tanggung jawab orang tua. Termasuk di dalamnya tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Pilihan untuk menikah muda, apalagi masih di bawah batas usia yang ditetapkan pemerintah, tanpa adanya persiapan baik secara fisik, spiritual, maupun material bukanlah suatu pilihan yang bijak. Hal ini justru terlihat menjerumuskan anak ke dalam jurang 'neraka' dunia. Akan tetapi, rendahnya tingkat kesejahteraan yang diiringi dengan rendahnya tingkat pendidikan menjadikan banyak remaja di Indonesia tidak memiliki wawasan mengenai kesiapan pranikah dan pernikahan, baik dari segi faktor kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan.
Tanggung jawab atas prevalensi pernikahan dini dan stunting membutuhkan sinergisitas dari semua lapisan masyarakat. Semua pemangku kepentingan terkait, termasuk tokoh agama, pemerintah, lembaga pendidikan, dan seluruh elemen masyarakat, harus bekerja sama untuk menghapuskan perkawinan anak yang berkontribusi pada tingginya tingkat stunting. Anak berhak mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik melalui pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja yang lebih baik. Hal ini bisa dimulai dengan pencegahan perkawinan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H