Mohon tunggu...
M Ghaida Akbar
M Ghaida Akbar Mohon Tunggu... -

.ARTdicted

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tiket Atau Makanannya yang Disubsidi?

13 September 2013   11:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:57 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapan terkhir Anda bepergian dengan jasa dari PT KAI? Masih ingat tidak berapa harga tiket kereta ekonomi? kereta yang notabene dipakai oleh kaum dengan kasta keuangan menengah kebawah, kereta yang akrab dengan suara suara menarik dan menggelitik dari pedagang asongan yang berharap rejeki dari penumpangnya. Adalah kereta logawa misalnya, pada tahun 2010 harga yang dikenakan PT. KAI sebesar 20.000. Lalu pada tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 40.000 rupiah. Bahkan pernah mencapai kenaikan yang sangat drastis pada 1 Agustus 2013, menjelang arus mudik, 100.000 rupiah! Angka yang sangat fantastis tentunya, mengingat yang menikmati jasa kereta ini adalah saudara saudara kita dari kalangan bawah. Kenaikan yang mencapai tiga kali lipat ini disebabkan subsidi dari pemerintah untuk PSO belum-atau memang sengaja tidak?-diturunkan.Oke, kita tidak akan membahas masalah itu. Sayangnya saya tidak akan membahas tentang hal tersebut. Yang akan saya bahas kali ini adalah apa yang mengiringi dibelakang subsidi tiket kereta ekonomi jarak jauh yang turun hingga 50% pada tanggal 1 September yang lalu. Well,  turunnya tiket kereta api ekonomi kembali disambut dengan antusias. Tren bepergian dengan kereta kembali menunjukkan taringnya. Kemarin(7/9) sayamenjajalkereta ekonomi logawa jurusan Purwokerto-Jember. Begitu masuk, kata yang pertama kali keluar adalah: Ini serius kereta ekonomi? Penumpang duduk dengan tenang ditempat duduk yang memang harus dipesan jauh jauh hari sebelum keberangkatan, tidak ada penumpang yang tidur dilantai kereta, ibu-ibu bisa menenangkan tangisan anaknya tanpa diusik asap rokok, gerbong yang memang khususno smoking area, dan itu betul betul diterapkan oleh petugas kereta. Benar benar pemandangan yang sangat berbeda dari yang saya rasakan beberapa tahun yang lalu. Yang mengherankan bagi saya adalah, hilangnya ciri khas kereta ekonomi, yaitu pedagang asongan yang berlalu lalang di setiap gerbongnya. Hanya beberapa yang berani menampakkan diri dihadapan penumpang, itupun hanya di kota kota besar, madiun misalnya.  Bagaimana kalau kelaparan padahal tidak membawa bekal? Tenang, di kereta juga menyediakan beberapa menu makanan dan minuman, yang tentunya dengan harga yang sangat tidak biasa. Mie rebus misalnya, di pantry kereta dihargai 10.000 rupiah, padahal yang kita tau, harga mie mentah hanya sekitar 1.500-2.000 rupiah. Sedangkan kopi yang ditawarkan seharga 5.000 rupiah, bandingkan dengan produk pedagang asongan yang haya 3.000 rupiah, wadah sama sama dari plastic, air sama sama panas, cumin beda latar belakangnya aja.

Iya, tiket keretanya sih murah, tapi pengeluaran menumpuk di konsumsi, adalah 17 jam perjalan dari Jogja ke Jember. Tiket murah tapi ‘dipaksa’ bayar lebih buat ngisi perut? Bisa setoleran apa kita kalau menyangkut masalah perut?

Oke, ke poin kedua. Pedagang asongan yang  jarang ditemui sedang berjualan didalam kereta. Dengan alasan keamanan, petugas berseragam biru didalam kereta coba menjelaskan kepada saya kenapa jarang ditemui pedagang asongan. Su’uzan saya sih, agar menciptakan pasar monopoli, pasar yang hanya terdapat satu perusahaan saja atau bisa disebut suatu pasar yang penjualnya hanya ada satu dan pembelinya banyak dan menghasilkan barang yang tidak mempunyai pengganti.

Haruskah menyingkirikan saingan dulu biar dagangan laris? Takut kalah saing harga?

Bisa nggak sih kita tarik benang merah dari dua poin-atau bisa juga disebut tiga-poin diatas? Pedagang asongan yang ‘tidak boleh’ berjualan diatas gerbong, kebutuhan wajib yang harganya tidak bisa dinalar, dan jatuhnya tiket kereta sampai 50%? Monggo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun